Kekerasan Seksual Itu Terjadi di Sekolah Ramah Anak
DEPOK, KOMPAS — Kasus kekerasan seksual kembali terjadi di sekolah, tempat yang seharusnya aman bagi anak. Pelaku kekerasan seksual pun berstatus guru yang bertugas mengayomi dan mendidik anak. Ironisnya, kasus ini justru terjadi di sekolah berpredikat ramah anak di Kota Depok, yang mendapatkan penghargaan Kota Layak Anak Tingkat Nindya tahun 2017.
Kasus kekerasan seksual di SDN Tugu 10 dilakukan oleh guru Bahasa Inggris, Wa (24). Berdasarkan penyelidikan sementara oleh Polresta Depok, setidaknya 13 siswa laki-laki menjadi korban. Korban rata-rata adalah anak didik Wa yang duduk di kelas VI A dan VI B.
Polisi masih mendalami apakah ada potensi korban lain. Pasalnya, Wa tercatat bekerja di sekolah tersebut sejak 27 Juli 2015. Kepada polisi, Wa mengaku sudah melakukan tindak kekerasan seksual pada anak didiknya dalam kurun waktu dua tahun terakhir sejak 2016.
”Sementara ini, yang sudah teridentifikasi setidaknya 13 orang korban. Wa mampu menyebutkan nama-nama korbannya,” ujar Kapolresta Depok Komisaris Besar Didik Sugiarto, Jumat (8/6/2018).
Kasus ini awalnya terungkap dari pengakuan MF (12), anak LY (35). MF mengaku gelisah dan tidak tahan untuk menceritakan perlakuan gurunya kepada ibunya. Hal itu lantaran MF sudah dua kali mengalami pelecehan seksual dari Wa. Pelecehan pertama dilakukan Wa saat MF masih duduk di kelas V semester I. Lalu, saat MF naik ke kelas VI, peristiwa itu berulang.
”Saat jam pulang sekolah, saya sering dipanggil lagi untuk naik ke atas (ruangan kelas VI). Di situ saya disuruh membuka celana dan melakukan perbuatan tidak senonoh,” ujar MF.
LY, ibu kandung MF, awalnya pun tidak mendapatkan pengakuan jujur dari anaknya. MF hanya menceritakan bahwa dirinya melihat temannya diminta membuka celana dan melakukan perbuatan tidak senonoh di depan kelas.
Kepada ibunya, MF tidak mengakui bahwa dirinya adalah korban. Namun, LY curiga. Ia melihat perilaku anaknya berubah setelah pengakuan itu. Anaknya menjadi lebih temperamental dan suka menyendiri. Akhirnya, ia mendesak anaknya untuk bercerita.
”Pengakuan anak saya muncul sesaat sebelum ujian nasional. Saya bingung, bagaimana melaporkan ini semua? Akhirnya saya sempat menunda dan melaporkan hal itu ke Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat dan Keluaraga (DPAPMK) Depok,” kata LY.
Namun, ternyata laporan itu lambat ditindaklanjuti karena DPAPMK harus berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Depok. LY menilai penanganan lamban dan berbelit-belit. Meskipun orangtua sudah melapor setidaknya ada empat orang korban, sekolah tetap mempekerjakan Wa sebagai guru. Wa hanya dipanggil dan diinterogasi.
”Kepala sekolah hanya mengatakan bahwa Wa sudah diterapi di Bandung. Dia malah meminta kami mendoakan supaya pelaku cepat sembuh,” ujar LY.
TM (38), orangtua korban lain, menceritakan, sekolah bahkan meminta penyelesaian kasus secara kekeluargaan. Alasannya, Wa berasal dari keluarga terpandang di lingkungan sekolah, yaitu Kompleks Pondok Duta I. Hingga 4 Juni 2018, Wa pun diduga masih aktif mengajar di SDN Tugu 10.
Kepala Sekolah SDN Tugu 10 Ade Siti Rohimah mengatakan dirinya sudah memberhentikan Wa per 31 Mei 2018. Sekolah berwenang memberhentikan Wa karena statusnya sebagai guru honorer.
”Ada keterangan kepala sekolah yang tidak sinkron. Saat kami bertanya pada tanggal 4 Juni lalu, Wa masih mengajar, sedangkan kepada media, dia mengatakan Wa sudah dipecat pada 31 Mei,” ujar TM.
Selain itu, kepala sekolah juga meminta para orangtua untuk tidak membeberkan peristiwa ini ke media massa. Alasannya, karena sebentar lagi sekolah akan menerima siswa baru. Pihak sekolah khawatir kasus ini akan mencoreng nama baik sekolah. Apalagi, sejak 2018, sekolah ini juga menyandang predikat sekolah ramah anak.
Para orangtua yang kecewa pun segera melaporkan kasus ke Polresta Depok. Mereka berjuang mencari keadilan dari kasus ini. Selain berharap pelaku diproses secara hukum, orangtua juga ingin kasus ini terungkap secara terang benderang.
Kenapa? Karena mereka ingin semua korban mendapatkan penanganan trauma secara tepat. Mereka ingin memutus mata rantai supaya korban tidak menjadi pelaku di kemudian hari. Mereka juga ingin anak-anaknya tumbuh dengan mental kuat sebagai penyintas kekerasan seksual.
Lamban
Kepala DPAPMK Kota Depok Eka Bachtiar mengatakan, pihaknya sudah memperoleh informasi awal soal kekerasan seksual ini sejak 22 April 2018. Namun, saat itu tim Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok baru sekadar melakukan konseling karena posisi korban sedang menghadapi ujian nasional. Dua bulan setelahnya, kasus ini baru diproses secara hukum.
”Karena ini terjadi di lingkungan sekolah, kami harus berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Kota Depok,” ujar Eka.
Setelah kasus terungkap pun, baru empat orang dari total 13 korban yang disebutkan pelaku mendapatkan terapi trauma healing. Sisanya justru diharapkan aktif datang ke DPAPMK. Eka berdalih, timnya tidak langsung mendatangi keluarga korban karena takut mereka malu. Korban kekerasan seksual terkadang dianggap sebagai aib keluarga.
”Jadi, kami harapkan mereka yang datang sendiri ke sini, supaya tidak malu kepada tetangga apabila ada tim kami tiba-tiba datang ke rumah,” ujar Eka.
Masih sebatas predikat
Data DPAPMK menyebutkan, total 354 sekolah di Depok sudah ditetapkan sebagai sekolah ramah anak. Namun, program yang dilakukan ternyata masih sebatas pendidikan etika, seperti budaya senyum, sapa, dan salam. Program itu belum sepenuhnya melakukan sistem preemtif kekerasan, terutama kekerasan seksual terhadap anak, misalnya dengan memberikan pendidikan seksual sejak dini.
Padahal, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait yang mewawancarai pelaku menuturkan, anak-anak yang menjadi korban Wa sudah terbiasa menonton film porno. Mereka menyimpan film porno di gawainya ataupun diminta menonton oleh pelaku. Fakta inilah yang membuat para korban tidak melawan saat terjadi kekerasan seksual. Mereka juga rapat menyimpan rahasia itu selama dua tahun sebelum akhirnya berterus terang kepada orangtuanya.
”Film porno ini menjadi pemicu kekerasan seksual. Awalnya, Wa berlagak melayani pertanyaan korban yang tidak mendapatkan pendidikan seksual sejak dini. Wa mengondisikan situasi itu untuk melakukan perbuatan jahatnya,” ujar Arist.
Arist menambahkan, selama ini predikat Depok sebagai Kota Layak Anak tingkat Nindya masih sebatas slogan. Sebagai warga Kecamatan Tapos, Arist merasa tidak pernah merasakan upaya konkret Depok sebagai kota layak anak.
Sebelumnya, Depok mendapatkan penghargaan kota layak anak dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Penghargaan itu diterima pada puncak peringatan Hari Anak Nasional 2017. Depok mendapatkan kategori peringkat kedua dari lima tingkatan kriteria, yaitu Kota Layak Anak (KLA) Pratama, KLA Muda, KLA Madya, KLA Nindya, dan KLA Utama.
Depok berhasil mendapatkan penghargaan di antaranya karena meningkatkan RW layak anak, menurunkan angka pernikahan dini, dan membuat akta anak terbanyak. Tahun ini, verifikasi lapangan penilaian KLA dilaksanakan pada 16 April-30 Juni 2018.
”Lokasi rumah korban belum menjadi RW ramah anak. Dari total 908 RW di Depok, baru 236 RW ditetapkan sebagai RW ramah anak,” ujar Yulia Oktavia, Kepala Bidang Tumbuh Kembang dan Pengembangan Kota Layak Anak DPAPMK Depok.