BANDA ACEH, KOMPAS Bunta, seekor gajah jantan jinak berusia 30 tahun, ditemukan mati di lokasi Conservation Response Unit Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh. Gajah itu diduga mati karena memakan makanan yang dicampur racun. Kasus ini memperpanjang daftar kematian gajah dalam enam tahun terakhir menjadi 56 ekor.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat, kematian gajah itu sebagian besar akibat ulah manusia, seperti diracun, ditembak, atau dikenai perangkap listrik.
Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo, Minggu (10/6/2018), mengatakan, Conservation Response Unit (CRU) yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi gajah jinak justru masih terjadi perburuan. CRU merupakan pusat mitigasi konflik satwa. Di CRU Serbajadi terdapat empat gajah jinak yang bertugas menghalau gajah liar masuk ke wilayah permukiman. Kematian Bunta menunjukkan satwa dilindungi itu belum benar-benar terlindungi.
Bunta ditemukan mati pada Sabtu (9/6) sekitar pukul 08.00. Luka menganga ditemukan di bagian pipi kiri, dan satu gading sebelah kiri hilang. Gading diduga dibawa pelaku. ”Kemungkinan setelah mati diracun, pelaku mengambil gading dengan cara membelah pipi gajah. Darah masih basah saat gajah itu ditemukan mati,” ujar Sapto.
Para pelaku diduga melancarkan aksinya pada malam hari. ”Pelaku sudah tahu bagaimana kondisi CRU, tapi saya tak bisa menduga siapa pelakunya,” kata Sapto.
Kematian Bunta pertama kali diketahui oleh Saifuddin, mahout atau pawang gajah yang selama ini bertugas menjaga dan merawat Bunta. Malam itu Bunta ditambatkan di tempat biasa, sekitar 400 meter dari tempat penginapan pawang. Keesokan harinya Saifuddin menemukan Bunta mati terkapar.
Menurut Sapto, tidak ada suara lenguhan gajah pada malam itu. Gajah yang mati karena racun tidak bersuara. ”Hanya menggelepar-gelepar atau kalau bisa jalan dia akan mencari air,” kata Sapto. Artinya, selain mengetahui keadaan CRU, pelaku juga memahami perilaku gajah.
Sebelumnya, Bunta gajah liar yang ditangkap warga Bungong Ta, Desa Alue Rambe, Kecamatan Nisam, Aceh Utara, pada 2007. Warga menabalkan nama gajah itu Bunta, akronim dari Bungong Ta. Bunta dilatih di Pusat Latihan Gajah Saree, Aceh Besar. Baru pada tahun 2016 gajah itu diberi tugas menjadi penengah konflik gajah liar dengan manusia di kawasan Aceh Timur.
Belum terlindungi
Kematian gajah jinak di lokasi pusat mitigasi konflik gajah menunjukkan satwa itu belum terlindungi. Jika dulu yang diburu gajah liar, kini gajah jinak pun menjadi sasaran. Keselamatan gajah semakin terancam. ”Pelakunya sangat biadab. Pelaku harus dihukum berat,” kata Sapto.
Manajer Forum Konservasi Leuser (FKL) Rudi Putra mengaku kaget mengetahui gajak jinak mati karena diracun di CRU. CRU yang semestinya tempat paling aman justru tidak luput dari ancaman. Ini menjadi preseden buruk terhadap upaya perlindungan satwa liar.
Rudi dan Sapto mendesak penegak hukum mengusut tuntas dan menyeret otak pelaku dan siapa pun yang terlibat kasus itu. ”Ini kejahatan luar biasa. Gajah jinak saja berani dibunuh, apalagi gajah liar,” kata Rudi.
Gajah adalah salah satu satwa dilindungi yang paling terancam akibat perburuan. Selama Januari hingga April 2018, FKL menemukan 393 jerat hewan di dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Sebanyak 136 di antaranya menggunakan seling ukuran besar dengan target gajah dan harimau.
Kapolres Aceh Timur Ajun Komisaris Besar Wahyu Kuncoro menyatakan, penyidik telah melakukan olah tempat kejadian. Otopsi dilakukan bersama dokter hewan BKSDA Aceh. Organ-organ dalam gajah telah diambil untuk diperiksa di laboratorium. ”Kami belum bisa menyimpulkan gajah ini dibunuh atau bukan. Kami menunggu hasil laboratorium,” kata Wahyu yang berjanji mengusut tuntas kasus ini.