JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan ekosistem Batangtoru di Sumatera Utara harus hati-hati, mengingat di kawasan ini terdapat orangutan tapanuli yang kini diambang punah. Risiko kepunahan orangutan tapanuli bukan hanya dari pembangunan pembangkit listrik tenaga air di kawasan ini, namun juga dampak ekonomi ikutannya.
Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia (UI) Jatna Supriyatna menyampaikan hal ini, di Jakarta, Minggu (10/6). "Orangutan Tapanuli merupakan spesies kera besar yang paling terancam di dunia karena populasinya tinggal 800 ekor di Batangtoru. Siapa pun yang hendak melakukan pembangunan di sana harus hati-hati," kata dia.
Orangutan Tapanuli merupakan spesies kera besar yang paling terancam di dunia karena populasinya tinggal 800 ekor di Batangtoru. Siapa pun yang hendak melakukan pembangunan di sana harus hati-hati.
Jatna menyampaikan hal ini saat dimintai pendapatnya terkait tanggapan PT North Sumatera Hydro Energy (PT NSHE) terhadap pemberitaan Kompas edisi 4 Mei 2018. Pemberitaan tersebut merujuk hasil penelitian dan pernyataan Jatna bahwa ancaman terdekat kepunahan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) dari rencana pembangunan dam untuk pembangkit listrik di kawasan Batang Toru oleh PT NSHE.
Senior Advisor Bidang Lingkungan PT NSHE Agus Djoko Ismanto, dalam penjelasan tertulisnya tertanggal 4 Juni 2018 menyatakan, pembangkit listrik tenaga air Batangtoru dirancang irit lahan. Proyek ini hanya akan memanfaatkan badan sungai seluas 24 hektar (ha), dan tambahan lahan seluas 66 ha untuk membuat kolam harian di wilayah yang sangat curam.
"Kami tidak perlu membangun dam berukuran besar, seperti pada pembangkit listrik pada umumnya," katanya.
Kami tidak perlu membangun dam berukuran besar, seperti pada pembangkit listrik pada umumnya
Total kolam harian seluas 90 ha ini akan mengalirkan air melalui lubang bawah tanah untuk menggerakkan turbin yang akan menghasilkan listrik 510 Mega Watt (MW). Agus mengatakan, pihaknya berkomitmen menjaga kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati di wilayah Batangtoru, termasuk menjaga kelestarian orangutan.
Saat ini, katanya, PT NSHE baru memulai pekerjaan pembuatan jalan dengan akses terbatas menuju lokasi proyek. "Pada tahap ini, kami bahkan sudah menerapkan program terpadu, agar saat pembukaan lahan untuk jalan proyek berlangsung, flora dan fauna yang dilindungi dan keseluruhan ekosistem yang ada di wilayah tersebut tetap dapat dijaga kelestariannya," katanya.
Dampak Ikutan
Menurut Jatna, penelitiannya terkait kerentanan orangutan tapanuli dilakukan bersama tim gabungan internasional dan dipublikasikan di jurnal bereputasi dan melalui review ahli, Current Biology. Siaran pers yang dibuat berdasarkan kajian ini.
"Jika mereka keberatan bisa membuat kajian pembanding atau menyampaikan keberatan di jurnal tersebut," kata dia.
Kerentanan habitat orangutan tapanuli ini tidak hanya dari pembangunan damnya, namun juga dampak ikutan. "Dari komunikasi email dengan mereka, memang tapak mereka bisa saja kecil, tetapi pasti akan ada dampak ikutannya, terutama dari pembukaan jalan," kata Jatna.
Kerentanan habitat orangutan tapanuli ini tidak hanya dari pembangunan damnya, namun juga dampak ikutan.
Dia mencontohkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Kamojang di Jawa Barat. "Dulu juga katanya kecil tapaknya untuk panas bumi, namun karena ada jalan kemudian berkembang ramai. Akhirnya, kawasan konservasinya habis," kata dia.
Menurut Jatna, ekosistem Batang Toru harus diperlakukan sangat hati-hati karena di sana ada spesies mamalia kera besar yang paling rentan punah di dunia karena populasinya hanya tinggal 800 ekor dan hanya ada di kawasan ini. "Keberadaan orangutan ini menjadi perhatian dunia. Perusahaan harus bisa memastikan dampak ikutannya diperhitungkan. Untuk itu tugas kami sebagai ilmuwan mengingatkan risikonya," kata dia.
Keberadaan orangutan ini menjadi perhatian dunia. Perusahaan harus bisa memastikan dampak ikutannya diperhitungkan. Untuk itu tugas kami sebagai ilmuwan mengingatkan risikonya
Keberadaan orangutan tapanuli sebagai spesies yang berbeda dengan dua orangutan lain, yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), baru diakui pada 2017 setelah publikasi ilmiah Alexander Nater dari Universitas Zurich dan tim di jurnal Current Biology. Secara fisik, orangutan dari Batang Toru memiliki bulu lebih tebal dan keriting ketimbang dua orangutan lainnya. Tengkorak dan tulang rahangnya juga lebih halus.
Pertemukan pihak-pihak
Secara terpisah, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno mengatakan akan mempertemukan pihak-pihak terkait pro-kontra pembangunan PLTA Batangtoru di Tapanuli, Sumatera Utara.
“Nanti setelah lebaran (kami pertemukan),” kata dia, Sabtu (9/6/2018) di Jakarta.
Ia yakin pro-kontra saat ini bisa diatasi dengan komunikasi intensif pihak-pihak yang berseberangan. Ia mendorong masing-masing membuka data dan informasi yang dimiliki.
Ekosistem Batangtoru dalam Rencana Strategis KSDAE KLHK 2015-2019, merupakan bagian dari 13 kawasan konservasi prioritas TFCA Sumatera bersama Taman Nasional Batang Gadis.
TFCA Sumatera atau disebut juga Aksi Pelestarian Hutan Tropis Sumatera, mengelola dana yang bersumber dari pengalihan pembayaran utang Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Amerika Serikat (debt for nature swap/DNS). Dana hibah untuk hutan Sumatera ini dirancang untuk meningkatkan upaya konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam sekaligus membangun sumber mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal sekitar hutan.
Antung Deddy Radiansyah, Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial KLHK pun menyatakan sedang memproses ekosistem Batangtoru sebagai kawasan ekosistem esensial (KEE). KEE merupakan kawasan bernilai/berfungsi tinggi, namun berada di luar kawasan hutan.
KLHK sedang memproses ekosistem Batangtoru sebagai kawasan ekosistem esensial (KEE). KEE merupakan kawasan bernilai/berfungsi tinggi, namun berada di luar kawasan hutan.
Batangtoru – meski kondisinya telah terfragmentasi - dinilai layak menjadi KEE karena menjadi tempat hidup orangutan tapanuli yang baru diumumkan klasifikasinya November 2017. Orangutan yang ditaksir berjumlah kurang dari 800 ekor dan hanya hidup di sekitar Batangtoru ini diduga merupakan leluhur dari orangutan Sumatera dan orangutan Borneo.