Tanpa Pamrih demi Ibadah yang Nyaman
Di beberapa masjid yang berada di tempat umum dan pusat keramaian tak jarang ditemui beberapa mukena, sarung, dan sajadah yang tampak dekil, lusuh, dan berbau tak sedap. Oleh kelompok Gerakan Mukena Bersih (Genasih), sarana ibadah itu dicuci dan dirawat agar siapa saja yang menggunakannya dapat merasa lebih nyaman beribadah.
Belasan ibu-ibu memilih berada di dalam Masjid Agung Baiturahman, Banyuwangi, ketika matahari pada bulan puasa sedang terik-teriknya. Kedatangan mereka ke masjid tentunya untuk beribadah. Namun, mereka punya cara lain dalam menjalani ibadahnya kali ini.
Sudut-sudut tempat penyimpanan sarung dan mukena menjadi sasaran mereka siang itu. Mereka mencari mukena dan sarung yang rusak atau kotor. Perlengkapan ibadah tersebut mudah kotor dan rusak karena hanya digunakan begitu saja oleh orang banyak.
”Masih mending kalau setelah dipakai, sajadah atau sarung ini dikembalikan ke tempatnya. Kadang hanya diuntel-untel lalu di-bruk-kan begitu saja,” ujar Titis Ainurrahman ketika memulai aktivitasnya.
Mukena, sarung, bahkan sajadah yang kotor dan tak terawat menjadi perhatian Titis dan teman-temannya di kelompok Genasih. Mereka hadir di sejumlah masjid di Banyuwangi untuk mewujudkan kenyamanan siapa saja yang ingin beribadah.
Titis merupakan penggagas Genasih yang berdiri pada 27 Januari 2017. Ia menuturkan, komunitas tersebut berawal dari gerakan tujuh orang ibu-ibu yang prihatin terhadap kondisi sejumlah mukena di mushala-mushala yang ada di pusat-pusat keramaian.
”Keprihatinan saya bermula ketika shalat di sebuah mushala di SPBU di Banyuwangi. Mukena yang ada di sana sangat kotor dan bau. Mau shalat, tapi tidak nyaman. Saya tidak bisa tuma’ninah (tenang, khusyuk) karena bau mukena yang menyengat,” ujarnya.
Dari pengalaman itu, Titis tergerak untuk membuat gerakan membersihkan mukena, sarung, dan sajadah. Ia mulai mencari teman agar gerakan ini bisa menjangkau banyak masjid.
Jam menunggu anak pulang sekolah menjadi sarana untuk mempromosikan gerakan mukena bersih. Rekan-rekan arisan hingga promosi dari mulut ke mulut membuat anggota Genasih terus bertambah.
Kini anggota aktif Genasih mencapai 60 orang. Mereka berasal dari beragam latar belakang, mulai ibu rumah tangga, pengusaha, bankir, hingga istri pejabat.
Kendati berasal dari beragam latar belakang, mereka memiliki misi yang sama, yaitu membantu orang lain agar nyaman saat beribadah. Sedikitnya ada 26 masjid di Banyuwangi yang menjadi sasaran kegiatan mereka.
Setiap seminggu sekali, anggota Genasih akan mendatangi masjid yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka akan mengganti mukena dan sarung kotor dengan mukena dan sarung yang baru saja dicuci.
”Setiap masjid biasanya memiliki 25 mukena. Itu artinya kami harus menyediakan mukena baru dengan jumlah yang sama. Pasalnya, saat 25 mukena kotor itu kami ambil untuk dicuci, maka harus ada mukena dengan jumlah yang sama di sana. Namun, khusus di Masjid Agung Baiturrahman, Genasih harus menyediakan lebih dari 40 mukena,” ujar Titis.
Mukena dan sarung yang diambil dari masjid-masjid lantas diperiksa kondisinya. Apabila ada yang rusak atau sobek, ada anggota Genasih yang sukarela menjahitnya.
Semua mukena dan sarung yang kotor pasti diganti dan dicuci setiap minggu. Titis mengatakan, setiap masjid memiliki langganan binatu. Setiap mukena atau sarung yang dicuci di binatu tersebut tidak akan dikenai biaya.
Sejumlah pemilik usaha binatu, lanjut Titis, memilih cara tersebut sebagai bentuk amalan mereka. Sementara sebagian mukena atau sarung lainnya dicuci oleh anggota Genasih.
Salah satu anggota Genasih yang setiap minggu rutin mencuci mukena ialah Rahayu. Setiap bulan ia mencuci 37 mukena, 10 sarung, dan 15 sajadah. Jumlah tersebut merupakan kewajiban yang ia tetapkan sendiri sesuai kemampuannya.
”Saya biasa keliling masjid untuk mengambil mukena, sarung, dan sajadah hari Kamis. Hari Minggu, saya harus mencuci semuanya agar Senin bisa disetrika dan dikembalikan lagi ke masjid pada hari Kamis sekaligus mengambil yang kotor,” ujarnya.
Rahayu mengatakan, kegiatan tersebut ia lakukan dengan sukarela tanpa pamrih. Kendati menghabiskan biaya untuk berkeliling ke sejumlah masjid dan menghabiskan biaya untuk membeli detergen serta membuang tenaga untuk mencuci, ia tak sedikit pun mengharapkan untung dari kegiatan yang ia lakukan.
Bagi Rahayu, dirinya sudah merasa cukup puas dapat membantu orang lain nyaman saat beribadah. Baginya, hal itu sudah lebih dari cukup untuk dapat berada lebih dekat dengan Tuhan.
Rahayu, Titis, dan anggota Genasih lainnya memang melakukan kegiatan ini dengan sukarela. Bagi mereka, kebutuhan hidup sehari-hari sudah dapat dicukupi dari penghasilan suami masing-masing atau usaha mereka pribadi.
”Kami di sini niatnya cuma nyari pahala, tidak cari keuntungan,” ujar Titis.
Pahala ternyata tidak hanya dirasakan oleh anggota Genasih. Mereka yang beribadah menggunakan mukena, sarung, dan sajadah yang bersih juga mendapat pahala karena dapat menunaikan shalat dengan khusyuk.
Ahmad Suudi, salah satu anggota jemaah yang shalat di Masjid Baiturrahman, mengaku bersyukur atas adanya Genasih. Beberapa kali dalam perjalanan, yang mengharuskan dirinya shalat di tempat umum, misalnya di pusat perbelanjaan, terminal atau SPBU, Suudi kerap menemukan sajadah yang hitam dan kotor.
”Shalat dengan sarung dan sajadah yang kotor tentu membuat shalat tidak nyaman. Syukur ada ibu-ibu yang perhatian terhadap hal-hal yang mungkin sepele, tapi imbalannya surga,” katanya.
Ia berharap gerakan seperti ini menjalar di Banyuwangi bahkan di seluruh Indonesia sehingga sarana ibadah di tempat-tempat umum bisa terawat dan membuat orang nyaman dalam beribadah.