JAKARTA, KOMPAS - Awal pekan lalu pemerintah mewacanakan uji coba penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Qatar. Selain adanya permintaan jasa tenaga kerja, tiga negara itu dipilih karena pemerintahnya dinilai berkomitmen menelurkan kebijakan perlindungan yang tepat.
Akan tetapi, uji coba ditempuh tanpa mencabut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang P enghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah. Ada 19 negara Timur Tengah masuk dalam daftar moratorium itu.
Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani di Jakarta, Jumat pekan lalu berpendapat, dilakukan penghentian atau tidak, pengiriman pekerja migran sektor domestik dengan tanpa dokumen sah tetap terjadi. Pemerintah Indonesia seharusnya mengevaluasi tata cara penempatan yang ada.
Pengawasan tata cara penempatan baru selama ini dinilai masih sebatas mencabut izin perusahaan pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS). Tahun 2014 ada 25 PPTKIS dicabut izinnya, lalu 19 PPTKIS tahun 2015, dan 45 PPTKIS tahun 2016.
"Izin PPTKIS dicabut, tetapi tata kelola migrasi masih sama, yakni memberi ruang besar bagi PPTKIS dalam melakukan perekrutan tidak sah. Di desa-desa, sponsor jadi andalan untuk mendapatkan informasi bekerja di luar negeri," kata Savitri.
Moratorium penempatan pekerja di Timur Tengah dinilai berjalan tanpa pembenahan maksimal. Pemerintah uji coba Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Qatar.
Perbaikan tata kelola migrasi pekerja migran sesuai amanat Undang-undang (UU) 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia jadi solusi. Setelah itu, kata Savitri, pemerintah bersikap jelas terhadap keberadaan status Keputusan Menteri Ketenagakerjaan 260/2015.
"Jangan cuma mengandalkan nota kesepahaman dengan negara tujuan. Permasalahan terbesar terjadi sebelum keberangkatan," imbuh dia.
Nota kesepahaman
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo berpendapat, moratorium berjalan tanpa pembenahan maksimal. Dengan demikian, situasinya bisa dikatakan tidak ada perbaikan tata migrasi sehat yang berarti.
Menurut Wahyu, keberadaan UU 18/2017 seharusnya menjadi acuan pemerintah untuk menata ulang penempatan. Kementerian Ketenagakerjaan, misalnya, serius mengelola Desa Migran Produktif sebagai pijakan dasar mensosialisasikan migrasi sehat kepada calon pekerja.
Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Soes Hindharno yang dikonfirmasi Minggu (10/6/2018), membenarkan rencana uji coba itu. Uji coba akan menggunakan peraturan baru sebagai landasan hukum.
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan 260/2015 tidak dicabut. Dengan demikian, penghentian dan pelarangan penempatan pekerja migran kepada pengguna perseorangan tetap berjalan.
Menurut Soes, uji coba pengiriman tidak serta merta begitu saja. Pemerintah Indonesia mempertimbangkan ada tidaknya regulasi perlindungan tenaga kerja migran dan komitmen pemerintah melindungi pekerja dalam jangka panjang melalui nota kesepahaman. Faktor lainnya adalah ada tidaknya majikan negara tujuan yang bersedia diseleksi.