Evaluasi Total Sistem Pendidikan di Depok
DEPOK, KOMPAS — Kasus kekerasan seksual yang menimpa siswa SD Negeri Tugu 10, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, mengungkap sejumlah kekeliruan dalam sistem pendidikan. Seluruh sekolah pun dinilai belum ramah anak.
Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Depok Tinte Rosmiyati, dihubungi dari Depok, Senin (11/6/2018), mengakui, terdapat sejumlah kesalahan dalam sistem pendidikan yang mengakibatkan munculnya kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual dilakukan oleh guru Bahasa Inggris SD Negeri Tugu 10, Wa (24), kepada sejumlah murid.
Tinte mengatakan, Wa merupakan guru honorer yang direkrut langsung oleh sekolah pada 2015. Oleh sebab itu, ihwal perekrutan yang harusnya memuat informasi mengenai kualifikasi, kompetensi, ataupun latar belakang guru tidak diketahui oleh dinas pendidikan. Pihaknya siap menerima teguran dari Wali Kota Depok ataupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
”Kami memang bersalah walaupun kesalahannya secara tidak langsung,” kata Tinte.
Dia menambahkan, setelah kasus kekerasan seksual terjadi, dinas pendidikan berkomitmen untuk mengevaluasi sistem perekrutan guru honorer. Sistem perekrutan akan diselenggarakan oleh dinas pendidikan dengan prosedur yang sesuai dengan ketentuan Kemdikbud. Salah satunya mengenai latar belakang pendidikan calon guru honorer.
”Calon guru honorer harus memiliki latar belakang pendidikan keguruan,” ujar Tinte. Adapun Wa tidak memenuhi ketentuan tersebut. Bidang studi yang diajarkan Wa pun tidak linier dengan latar belakang pendidikannya.
Pengawasan kegiatan belajar-mengajar juga membutuhkan evaluasi. Selama ini, pengawasan yang dilakukan sebatas perihal administrasi, yaitu melihat perkembangan pembelajaran melalui jurnal harian yang dibuat guru dan diserahkan ke sekolah.
Fasilitas pendukung untuk pengawasan, seperti kamera CCTV, tidak ada di setiap kelas. Menurut Tinte, hal tersebut belum menjadi prioritas dalam anggaran pendidikan kota. Apalagi, di seluruh Kota Depok terdapat 273 SD negeri dengan sejumlah ruangan di setiap sekolah.
Tinte mengatakan akan mengoptimalkan fungsi pengawas pembina karena mereka yang berkewajiban untuk memonitor sekolah. Saat ini terdapat 45 pengawas pembina yang bertanggung jawab pada SD Negeri.
Sanksi untuk sekolah
Tinte menjelaskan, kekerasan seksual yang terjadi di sekolah memperllihatkan kelalaian kepala sekolah dan jajarannya. Sejak kasus ini mengemuka, dinas pendidikan memeriksa kepala sekolah dan seluruh guru untuk menentukan seberapa besar kelalaian yang mereka lakukan. Namun, hingga saat ini pemeriksaan itu belum tuntas, terhenti karena libur sekolah.
”Hasil pemeriksaan itu digunakan untuk menentukan sanksi, baik bagi sekolah maupun kepala sekolah. Keputusan sanksi apa yang dijatuhkan akan ditentukan seminggu setelah libur Lebaran,” katanya.
Sanksi yang akan diberikan mengacu pada Pasal 11 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa untuk pendidik dan tenaga kependidikan, dinas kabupaten/kota, provinsi, dapat menjatuhkan teguran lisan, teguran tertulis, penundaan atau pengurangan hak, pembebasan tugas, dan pemberhentian sementara atau tetap dari jabatan sebagai pendidik atau tenaga kependidikan.
Kemudian dinas kabupaten/kota, provinsi, juga dapat memberikan sanksi kepada satuan pendidikan, antara lain pemberhentian bantuan dari pemerintah daerah dan penggabungan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Depok Sahat Farida Berlian mengatakan, selain evaluasi perekrutan guru dan pengawasan sekolah, Pemerintah Kota Depok juga perlu memastikan korban kekerasan seksual tetap diterima di lingkungan sekolah, baik di sekolah tempat kejadian maupun sekolah lain ketika korban memutuskan untuk berpindah. Meski memiliki pengalaman sebagai korban kekerasan seksual, korban harus tetap memiliki kesempatan untuk meraih masa depan seperti anak-anak yang lain.
”Pemerintah Kota wajib memastikan semua guru dan kepala sekolah memiliki perspektif bahwa korban kekerasan seksual bukan orang yang tidak berguna di masyarakat,” ujar Sahat.
Belum ramah anak
Berdasarkan data Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat, dan Keluarga (DPAPMK) Kota Depok, hingga saat ini terdapat 354 sekolah di Kota Depok yang telah mendeklarasikan diri sebagai kota ramah anak. Salah satu prinsip sekolah ramah anak adalah mampu menjamin, memenuhi, dan menghargai hak-hak anak serta melindungi anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya. Di samping itu, sekolah ramah anak juga harus mampu mendukung partisipasi anak dalam perencanaan, kebijakan, pebelajaran, pengawasan, dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hal dan perlindungan anak di lingkup pendidikan.
Namun, menurut Kepala DPAPMK Eka Bachtiar, penerapan sekolah ramah anak di Kota Depok menekankan pembudayaan perilaku ramah, antara lain dengan membiasakan senyum, sapa, dan salam.
Menurut Tinte, sekolah-sekolah di Depok belum mampu memenuhi indikator sekolah ramah anak. Mereka masih membutuhkan waktu lima hingga 10 tahun lagi menuju sekolah ramah anak. ”Saat ini belum ada sekolah ramah anak di Kota Depok,” ujarnya.
Menurut pengajar Magister Bimbingan Konseling Universitas Negeri Jakarta, Susi Fitri, untuk menjamin perlindungan anak, setidaknya sekolah perlu membuat alur pelaporan resmi bagi siswa korban kekerasan seksual. Selama ini tidak ada prosedur operasi standar bagi siswa untuk melaporkan kekerasan yang menimpanya. Oleh karena itu, korban kesulitan untuk memahami siapa yang dapat menindaklanjuti kekerasan tersebut.