JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto terus merosot. Memasuki era Revolusi Industri Keempat, pemerintah mendorong 10 inisiatif nasional guna mempercepat perkembangan industri manufaktur. Salah satu langkahnya adalah mendesain ulang zona industri. Zona industri yang ada dioptimalkan dengan tujuan meningkatkan konektivitas.
Badan Pusat Statistik mencatat, kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus merosot. Pada 2014, kontribusinya mencapai 21,01 persen. Setahun berselang, persentase kontribusi industri manufaktur turun menjadi 20,99 persen. Kemudian, pada 2016 sebesar 20,51 persen dan menjadi 20,16 persen pada 2017.
Untuk mengakselerasi pengembangan industri nasional, pemerintah menyusun peta jalan Making Indonesia 4.0 sebagai strategi mengimplementasikan revolusi industri generasi keempat. Di dalamnya, terdapat 10 inisiatif nasional bersifat lintas sektoral untuk mempercepat perkembangan industri manufaktur di Indonesia. Salah satu prioritas adalah mendesain ulang zona industri.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulis mengatakan, pemerintah telah membangun beberapa zona industri di penjuru negeri. Dengan mendesain ulang zona industri, pemerintah akan mengoptimalkan kebijakan zona industri, termasuk menyelaraskan peta jalan sektor-sektor yang menjadi prioritas.
Kelima sektor prioritas dalam Making Indonesia 4.0 adalah industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, serta elektronik.
Integrasi antarkawasan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara, Selasa (12/6/2018), menjelaskan, maksud desain ulang zona industri adalah mengoptimalkan desain yang sudah ada. Penekanannya lebih pada integrasi antarkawasan industri. Integrasi secara ekonomi akan menciptakan efisiensi sehingga bakal meningkatkan daya saing.
Indonesia memiliki sejumlah kawasan ekonomi khusus. Beberapa kawasan ekonomi khusus di Indonesia antara lain industri pariwisata di Tanjung Lesung di Jakarta; industri kelapa sawit di Sei Mangke, Sumatera Utara; industri pertambangan di Palu, Sulawesi Tengah; industri perikanan di Bitung, Sulawesi Utara; dan pengolahan ikan di Morotai, Maluku Utara.
Ngakan mengatakan, Kementerian Perindustrian berupaya meningkatkan integrasi dari kawasan ekonomi khusus tersebut. Contohnya, membangun pelabuhan bagi kawasan yang belum memiliki pelabuhan. Di Sei Mangke, misalnya, pemerintah telah membangun infrastruktur pelabuhan, rel kereta api, dan bandara. Namun, yang perlu ditingkatkan adalah pembangunan infrastruktur jalan raya menuju bandara agar konektivitasnya terjalin.
”Maksud optimalisasi itu adalah meningkatkan konektivitas di kawasan,” kata Ngakan, dihubungi dari Jakarta.
Dalam rangka meningkatkan konektivitas, Kementerian Perindustrian akan berkolaborasi dengan kementerian dan lembaga terkait, pemerintah daerah, serta pelaku industri untuk melaksanakan bersama program tersebut sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
Ngakan menambahkan, hingga saat ini integrasi antarkawasan industri sedang berjalan. Evaluasi dan pembangunan terus dilakukan setidaknya hingga 2021. Adapun tantangan untuk pembangunan kawasan industri biasanya terkait dengan penguasaan dan kejelasan status lahan. Kemudian, ada persoalan regulasi yang terkait dengan pengelolaan lahan antara pusat dan daerah.
”Kadang tidak sinkron. Maka dari itu, di poin ke-10 inisiatif nasional ada seruan untuk sinkronisasi regulasi,” ucap Ngakan.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional Arif Budimanta berpendapat, langkah pemerintah untuk mengoptimalkan kawasan industri yang ada sudah tepat. Menurut dia, hal tersebut menandakan konsistensi kebijakan dari pemerintah dibandingkan mendesain ulang kawasan industri yang ada.
Arif mengakui, integrasi antarkawasan industri masih belum sepenuhnya tuntas. Ia mengatakan, ada ketersendatan di beberapa kawasan ekonomi khusus karena terkendala infrastruktur.
”Seperti di Kalimantan Timur itu tersendat karena infrastruktur. Padahal, di sana rencananya dikembangkan untuk industri petrokimia,” lanjut Arif.
Konsistensi pemerintah mengoptimalkan kawasan industri yang telah ada, menurut Arif, akan menumbuhkan tingkat kepercayaan investor. Dengan begitu, potensi Indonesia untuk mengatasi ketertinggalan dari negara-negara Asia Tenggara, termasuk Thailand, dalam hal pengembangan kawasan ekonomi khusus bisa semakin ditingkatkan.