JAKARTA, KOMPAS - Konsumsi rumah tangga sebagai basis pertumbuhan ekonomi hanya akan tumbuh tipis tahun ini. Depresiasi rupiah dan kenaikan harga minyak menjadi faktor yang akan menggerus potensi pertumbuhannya.
”Memang akan ada dorongan misalnya, dari gaji ke-13 dan Tunjangan Hari Raya, even besar Asian Games, dan pertemuan tahunan IMF—WB. Namun masalah besar kita saat ini adalah depresiasi rupiah dan kenaikan harga minyak dunia,” kata Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, A Tony Prasetiantono di Yogyakarta, Senin (11/06/2018).
Depresiasi rupiah, menurut Tony, berpotensi menurunkan daya beli dan gairah belanja. Depresiasi rupiah dalam persentase yang tinggi akan menyebabkan kenaikan harga barang-barang yang mengandung komponen impor.
Sementara kenaikan harga minyak dunia, Tony melanjutkan, menyulitkan pemerintah dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Jika subsidi BBM ditambah, belanja pemerintah akan terganggu. ”Kalau harga BBM yang dinaikkan, daya beli masyarakat akan turun. Ini dilematis,” kata Tony.
Harga minyak jenis Brent sudah di atas 80 dollar Amerika Serikat (AS) per barrel. Sementara asumsi di APBN adalah 48 dollar AS per barrel. Adapun nilai tukar rupiah sempat mencapai kisaran Rp 14.000 per dollar AS dari asumsi Rp 13.400 per dollar AS.
Antara lain dengan asumsi tersebut, pemerintah dan DPR menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,4 persen. Ini mengandaikan konsumsi rumah tangga tumbuh 5,3-5,4 persen sebagaimana Rencana Kerja Pemerintah 2018 yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Tony berharap, konsumsi rumah tangga masih bisa tumbuh 5 persen pada tahun ini. Tahun lalu, pertumbuhannya adalah 4,96 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi tahun ini diproyeksikan sebesar 5,2 persen.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5,2 persen. Sementara Kementerian Keuangan belakangan memproyeksikan pertumbuhannya adalah 5,17-5,4 persen.
Secara terpisah, peneliti ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, berpendapat, ada banyak faktor pendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun ini. Kuncinya adalah bagaimanamembuat iklim konsumsi kondusif agar masyarakat nyaman berbelanja.
"Potensi pertumbuhan konsumsi rumah tangga itu sekitar 5 persen. Tahun ini realisasinya mestinya bisa diatas potensi tersebut," kata Heri.
Konsumsi rumah tangga adalah basis pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara tradisional, sumbangannya terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 55-56 persen alias yang terbesar.
Pada triwulan I-2018, pertumbuhannya hanya 4,95 persen alias sangat tipis ketimbang periode yang sama di tahun lalu, yakni 4,94 persen. Dengan demikian untuk mencapai asumsi pertumbuhan 5,3-5,4 persen sepanjang tahun, diperlukan percepatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga di tiga triwulan berikutnya.
Ada beberapa faktor pendorong yang sifatnya khas pada tahun ini. Di antaranya adalah pemilihan umum kepala daerah serentak di 119 daerah, Asian Games ke-18 pada Agustus di Jakarta dan Palembang, dan pertemuan tahunan IMF-World Bank pada Oktober di Bali.
Faktor lainnya adalah program padat karya tunai. Ini adalah kebijakan pemerintah yang mewajibkan 30 persen dari dana desa sebesar Rp 60 triliun dialokasikan untuk upah pekerja.
Di samping itu, pemerintah juga menggelontorkan dana Rp 35,76 triliun untuk Tunjangan Hari Raya dan gaji atau pensiun ke-13 kepada aparatur negara, pejabat negara, dan pensiunan. Tak ketinggalan pegawai honorer pemerintah pusat juga diberikan THR. Total anggarannya mencapai Rp 440,38 miliar.
Pada saat yang sama, konsumsi rumah tangga juga mendapatkan tekanan dari beberapa faktor. Pertama adalah kenaikan suku bunga acuan sebagai keniscayaan respon moneter terhadap depresiasi rupiah. Kenaikan suku bunga acuan akan merembet ke suku bunga kredit komersial dan berbagai instrumen keuangan pada 1-2 bulan paska pengumuman kenaikan per 30 Mei.
Kedua adalah preferensi masyarakat yang masih ingin lebih banyak menabung ketimbang belanja. Hal ini sudah terjadi di tahun lalu. Ketiga adalah depresiasi rupiah dan kenaikan harga minyak dunia.