DEPOK, KOMPAS — Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyoroti tentang lemahnya sistem perekrutan guru, terutama mereka yang berstatus honorer. Melihat banyaknya kasus kekerasan dilakukan di sekolah, KPAI meminta perekrutan guru dievaluasi ulang.
”Kita sesegera mungkin membahas dengan pak wali kota, terutama dengan sistem perekrutan guru. Benar-benar ini harus seketat mungkin, baik honorer maupun PNS. Ini penting karena adanya ruang celah dalam proses rekrutmen bisa menjadi masalah baru di kemudian hari,” ujar Ketua KPAI Susanto di Polresta Depok, Senin (11/6/2018).
KPAI bertandang ke Polresta Depok, Senin siang, untuk mengawasi kasus kekerasan seksual terhadap 13 siswa di SDN Tugu 10, Cimanggis, Depok. Selain mengawal kasus hukum, KPAI juga bertemu pelaku untuk mendalami profil guru sebelum dan selama menjadi pendidik. Susanto berharap evaluasi perekrutan guru dapat dilakukan secara menyeluruh. Ia berharap, tidak ada lagi kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru di kemudian hari.
Susanto melihat, ada kelemahan kemampuan deteksi dini, terutama dari manajemen sekolah dalam kasus ini. Mengapa? Karena kasus sudah terjadi sejak 2016. Namun, pihak sekolah justru tidak mengetahui atau bahkan mengendus keanehan kelakuan si guru. Fasilitas keamanan dalam pembelajaran seperti kamera pengintai (CCTV) di sudut-sudut ruangan pun belum ada. Di sejumlah sekolah, misalnya di SMA Negeri 1 Jakarta, terdapat ruang kendali pengamatan untuk memantau aktivitas siswa di sudut-sudut sekolah.
”Kemampuan untuk mendeteksi dini keanehan yang terjadi di sekolah itu harus dimiliki oleh kepala sekolah. Dia harus rajin memantau sehingga ketika terjadi keanehan langsung terdeteksi,” ujar Susanto.
Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti, menambahkan, ketidakcakapan kepala sekolah di bidang deteksi dini terlihat saat tidak mencurigai gelagat aneh guru yang kerap memisahkan siswa laki-laki dan perempuan di kelas berbeda saat jam pelajaran Bahasa Inggris. Kebijakan ini saja menurut Retno sudah mencurigakan. Apalagi, pengakuan dari siswa, terkadang guru memutar film porno di tengah jam pelajaran. Ketidakcakapan deteksi dini itu akhirnya membuat pelaku kejahatan leluasa beraksi.
Apalagi, menurut pengakuan orangtua korban, Wa mendapatkan banyak keistimewaan di sekolah. Selain mengajar Bahasa Inggris, ia juga dipercaya sebagai pengelola perpustakaan, wakil pembina pramuka, dan wali kelas II. Otomatis, waktu dia bersama siswa semakin tinggi. Wa juga dikenal ramah dan dekat dengan anak-anak. Wa kerap mengajak anak jalan-jalan, menonton film di bioskop, dan berenang di luar jam sekolah.
Orangtua korban, TM (38), mengungkapkan, awalnya Wa direkrut sebagai guru tari karena latar belakangnya sebagai sarjana humaniora. Namun, tak lama kemudian, tiba-tiba Wa berubah menjadi guru Bahasa Inggris. Padahal, latar belakang pendidikannya tidak berkaitan dengan itu.
”Setelah kejadian ini, kami baru bertanya-tanya, dia, kan, sebenarnya guru tari, kenapa tiba-tiba menjadi guru Bahasa Inggris. Kenapa semudah itu?” ujar TM.
Deteksi dini
Retno menambahkan, 354 sekolah di Depok saat ini sudah mengadopsi program sekolah ramah anak. Seharusnya, masing-masing sekolah dapat melakukan deteksi dini karena sudah ada indikator-indikator upaya pencegahan, baik kekerasan fisik, visual, maupun seksual. Sekolah juga seharusnya memiliki tempat pengaduan yang mudah diakses korban ataupun orangtua.
”Ini tampaknya yang belum ada karena sekolah ramah anak di Depok masih dalam tahap persiapan,” kata Retno.
Oleh karena itu, sistem sekolah ramah anak harus lebih dibangun dengan baik. Selama ini, program yang ditonjolkan dalam sekolah ramah anak baru sebatas pada pembelajaran etika, seperti budaya senyum, sapa, dan salam. Penyuluhan stop kekerasan pada anak (SKPA) sudah ada, tetapi belum dilaksanakan secara konsiten dan berkelanjutan.
Kepala Bidang Tumbuh Kembang dan Pengembangan Kota Layak Anak DPAPMK Yulia Oktavia mengklaim penyuluhan SKPA sudah dilaksanakan sejak 2016 akhir. Salah satunya adalah program dongeng dengan konten mencegah kekerasan terhadap anak. Namun, pelaksanaannya bergantian di masing-masing sekolah dasar karena keterbatasan sumber daya manusia.
KPAI akan menemui wali kota dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait untuk mengevaluasi seluruh program tersebut. Bagaimanapun sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak.
Adapun penanganan terhadap korban, KPAI akan bekerja sama dengan Fakultas Psikologi UI untuk mendampingi korban mengatasi trauma. Selain korban, orangtua juga akan diterapi karena mereka juga terpukul dengan kejadian yang menimpa anaknya. Ia berharap Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok dapat membantu pemulihan korban dengan maksimal.
Kapolresta Depok Komisaris Besar Didik Sugiarto menambahkan, akan ada kerja sama antara KPAI, P2TP2A, dan Universitas Indonesia untuk menangani trauma korban. Selain itu, tim Polresta Depok juga terus mendalami kasus tersebut untuk mendapatkan data akurat, di antaranya jumlah korban dan peristiwa yang terjadi. Hingga Senin (11/6/2018) masih tercatat 13 korban kekerasan seksual berdasarkan pengakuan pelaku. Adapun jumlah keluarga korban yang melapor ke Polresta Depok masih empat orang.
”Sementara laporan yang diterima pihak kepolisian baru empat itu, tapi tentunya tim tidak menunggu laporan. Tim penyidik akan mendalami keterangan saksi-saksi dan semua keterangan dari tersangka,” ujar Kombes Didik.