Mari Belajar Menghormati Gajah Nusantara
Gajah sudah hidup sejak zaman prasejarah. Nenek moyang gajah modern, yaitu gajah purba (Stegodon sp), pernah hidup di sejumlah pulau Nusantara.
Buktinya, harian Kompas, 17 September 1970, memberitakan, fosil gajah kerdil (Archidiskodon celebensis dan Stegodon sompoensis) ditemukan tahun 1950-an di Singkang, Sulawesi Selatan; di Flores, Nusa Tenggara Timur (Stegodon trigonochepalus floriensis), dan di Timor, NTT (Stegodon trigonochepalus timorensis).
Fosil gajah purba (Elephas namadicus dan Stegodon sp) juga ditemukan di Sangiran, Karanganyar, Jawa Tengah, tahun 1971 (Kompas, 20 Juli 1972). Fosil Stegodon sp kembali ditemukan di sekitar Watumbaka, 14 kilometer sebelah timur Waingapu, NTT, tahun 1978 (Kompas, 15 September 1978); di Bojonegoro, Jawa Timur, tahun 1985 (Kompas, 14 November 1985), dan di Tuban, Jatim, tahun 1992 (Kompas, 23 Desember 1992).
Hingga tahun 2017, masih ditemukan fosil gajah purba. Harian Kompas, 28 Agustus, memberitakan, pada Jumat, 25 Agustus 2017, penggarap lahan bernama Samin (65) menemukan fosil rahang bawah dan pinggul gajah purba di Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar. Enam spesimen ditemukan di bantaran Sungai Bengawan Solo yang surut pada musim kemarau ini, sekitar 60 meter di selatan Museum Trinil.
”Yang diserahkan kepada kami lima fosil bagian rahang bawah dan satu fosil bagian pinggul dari gajah purba,” kata juru pelihara Museum Trinil, Catur Gumono, Minggu, 27 Agustus 2017. Penyerahan fosil oleh Samin itu merupakan yang pertama tahun ini.
Dewasa ini ada dua subspesies gajah yang hidup di Indonesia, yaitu gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis). Spesies Elephas maximus masuk dalam Apendiks I Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar Terancam Punah (Convention on International Trades on Endangered Species of Wild Fauna and Flora/Cites). Apendiks I mencakup spesies yang terancam punah oleh perdagangan. Perdagangan spesies dalam Apendiks I diatur secara sangat ketat untuk keperluan khusus. Ekspor, impor, dan re-ekspor spesies dalam Apendiks I mengikuti regulasi yang sangat ketat.
Koordinator Biologi WWF Tim Heart of Borneo Stephan Wulffraat menjelaskan, gajah kalimantan adalah subspesies gajah Asia yang berbeda dengan gajah sumatera. Gajah kalimantan endemik pulau tersebut. Perbedaan antara gajah kalimantan dan gajah sumatera dibuktikan lewat penelitian asam deoksiribonukleat (DNA) oleh Columbia University, Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan, gajah kalimantan terisolasi sekitar 300.000 tahun lalu dari gajah Asia dan sumatera. Gajah kalimantan berevolusi menjadi lebih kecil, kuping membesar, belalai dan gadingnya memanjang (Kompas, 18 Mei 2006).
Kemungkinan tentang masih adanya gajah kalimantan dibuktikan dengan penemuan jejak kaki dan kotoran gajah di Daerah Aliran Sungai Sebuku, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur, oleh peneliti WWF Indonesia. Para peneliti WWF Indonesia mengonfirmasikan laporan masyarakat setempat dan BKSDA Kaltim tentang adanya gajah. Sebelumnya, diyakini gajah hanya ada di Sabah, Malaysia, sekitar 5.000 ekor, dan para peneliti tidak yakin populasi ini menyebar ke Indonesia (Kompas, 25 Agustus 1998).
Para peneliti dari WWF Indonesia Sundaland Bioregion menemukan jejak dan kotoran belasan gajah di pedalaman Kalimantan Timur. WWF Indonesia Sundaland Bioregion memperkirakan, populasi gajah di hutan Nunukan yang berbatasan dengan Sabah, Malaysia, itu sebanyak 15-28 ekor. Sejumlah penduduk setempat sering melihat gajah-gajah itu melintas di hutan seluas 67.558 hektar antara Sungai Tempilon, Sungai Agison, dan Sungai Tulid. Gajah-gajah itu biasa terlihat antara bulan Juli dan Agustus. Namun, ketika para peneliti mendatangi lokasi tersebut pada Agustus 2000, mereka tidak melihat fisik gajahnya. Mereka hanya menemukan jejak dan kotorannya (Kompas, 15 Desember 2000).
Pertemuan fisik sebuah tim gabungan dengan gajah kalimantan terjadi pada 8 Oktober 2006 di hutan Sebuku, Nunukan, Kalimantan Timur. Tim terdiri dari penduduk Sebuku, wartawan koran dan televisi, anggota organisasi konservasi lingkungan WWF-Indonesia, petugas BKSDA Kaltim, dan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Lampung (Kompas, 16 Oktober 2006).
Populasi gajah sumatera juga terus-menerus tertekan, bahkan punah di beberapa habitat alaminya. Seperti diberitakan Kompas, 16 September 1999, populasi gajah di Sikinjang daerah Solok Selatan, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, dinyatakan punah sejak tahun 1982.
Berdasarkan data Forum Konservasi Gajah Indonesia tahun 2016, seperti dikutip Kompas, 1 Maret 2016, populasi gajah sumatera saat ini diperkirakan 1.300 ekor. Jumlah itu menyusut separuhnya dibandingkan 10 tahun sebelumnya. Berdasarkan data Wildlife Conservation Society, tahun 2006 gajah sumatera berjumlah 2.400 ekor, tahun 2016 tinggal separuhnya.
Menyusutnya jumlah gajah itu adalah kematian akibat konflik dengan manusia. Sampai Februari 2016, ada sejumlah laporan pertemuan gajah liar dengan manusia di Sumatera yang sering berakhir dengan konflik. Konflik tersebut lebih sering berakhir dengan kematian gajah. Dari data WWF, sejak 2012 hingga 2016, 152 gajah ditemukan mati di 13 kantong di Sumatera. Ke-13 kantong dari 56 habitat gajah sumatera itu berada di Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Barat.
Terhadap pembantaian gajah tersebut, polisi semakin meningkatkan metode pengungkapan kasus untuk menyelamatkan gajah. Seperti dikutip Kompas, 16 Juni 2016, Polda Lampung mengirim sampel gading gajah sitaan hasil perdagangan ilegal ke Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Sampel itu akan diuji DNA atau sekuens genetikanya guna memetakan asal dan jaringan peredarannya. Hal itu karena mereka juga menyimpan sejumlah contoh DNA dari beberapa gajah mati beberapa tahun terakhir.
Meskipun berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan pembantaian gajah, kasus kematian gajah masih terus terjadi. Harian Kompas, 20 April 2017, memuat foto seekor gajah liar betina yang ditemukan mati di kebun sawit milik sebuah perusahaan perkebunan di Desa Mekar Makmur, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sekitar 1 kilometer dari Taman Nasional Gunung Leuser, 19 April 2017. Penyebab kematian belum diketahui.
Harian Kompas, 1 Juli 2017, memberitakan, lima gajah sumatera ditemukan tewas tanpa gading di Kabupaten Tebo, Jambi, dalam empat bulan terakhir. Kematian empat gajah di antaranya, ironisnya, berlokasi dalam area hutan restorasi ekosistem di penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Koordinator Unit Mitigasi Konflik Gajah Frankfurt Zoological Society Alber Tetanus mengatakan, semua gajah yang tewas adalah jantan dan sudah hilang gadingnya. Satu ekor ditemukan di tepi Sungai Sumay, berjarak 500 meter dari konsesi hutan tanaman industri PT Lestari Asri Jaya, awal Juni. Empat ekor lagi ditemukan di tepi Sungai Sumay dalam area konsesi PT ABT, Maret 2017. Dari temuan itu, ditemukan bekas luka tembakan di bagian depan tengkorak wajah gajah dan bekas luka akibat senjata tajam. ”Kami perkirakan semua gajah itu tewas karena ditembak. Lalu, gadingnya diambil sehingga menyisakan luka pada muka,” ujar Alber, 30 Juni 2017.
Kematian gajah sumatera terus bertambah. Harian Kompas, 20 Juli 2017, memberitakan, seekor gajah jantan ditemukan mati di kebun warga di Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, Aceh, dengan dua gadingnya raib. Gajah itu diduga korban perburuan satwa.
Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo, Rabu, 19 Juli 2018, mengatakan, bangkai gajah berusia sekitar 40 tahun itu ditemukan warga pada Senin, 17 Juli 2018. Saat ditemukan, bangkai membusuk, kepala gajah terbelah, dan ada lubang di tengkorak seperti bekas peluru. ”Diperkirakan dibelah untuk mengambil gadingnya,” kata Sapto. Gajah itu diduga jadi target perburuan dengan cara ditembak. Setelah gajah tewas pelaku dengan mudah menggondol gadingnya. BKSDA Aceh menurunkan tim untuk melakukan otopsi dan investigasi. BKSDA Aceh mencatat, sejak 2012 hingga Juli 2017 ada 46 gajah mati, kebanyakan akibat diracun.
Harian Kompas, 16 Oktober 2017, memberitakan, dua gajah sumatera ditemukan mati di areal perkebunan warga di Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Pereulak, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, Minggu, 15 Oktober 2017. Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo di Banda Aceh mengatakan, induk gajah yang mati berkelamin betina dan anaknya berkelamin jantan. Sapto menambahkan, dugaan sementara gajah itu mati karena terkena setrum dari kabel listrik di area perkebunan warga. Di samping bangkai gajah ditemukan kabel listrik yang sengaja dipasang di lokasi itu untuk menghalau babi.
Harian Kompas, 8 Mei 2018, memberitakan kekejaman atas gajah. Pada Minggu, 6 Mei 2018, tim gabungan dari BKSDA dan Polres Tebo, Jambi, mendapati seekor gajah jantan tewas di dalam areal hutan restorasi yang dikelola sebuah perusahaan restorasi ekosistem di Bukit Tigapuluh. Dari hasil pemeriksaan, gajah yang mulai membusuk itu dipenuhi bekas luka akibat benda tajam. Kedua gading dan gigi-giginya juga hilang.
Terakhir, 11 Juni 2018, Kompas memberitakan, seekor gajah jantan jinak bernama Bunta (30 tahun) ditemukan mati pada Sabtu, 9 Juni 2018, sekitar pukul 08.00. Luka menganga ditemukan di bagian pipi kiri, dan satu gading sebelah kiri hilang. Gading diduga dibawa pelaku. ”Kemungkinan setelah mati diracun, pelaku mengambil gading dengan cara membelah pipi gajah. Darah masih basah saat gajah itu ditemukan mati,” ujar Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo.
Daftar pembantaian gajah tersebut akan makin panjang jika tidak ada upaya radikal untuk menghentikannya. Pembantaian gajah di bumi Indonesia ini seperti menginjak-injak warisan keanekaragaman fauna Nusantara yang sudah ada sejak zaman prasejarah.