Pembangunan Sangihe, ”Terserah Bapak…”
JOHN Harimisa (63), warga Kecamatan Tabukan Selatan, memanfaatkan kesempatan bertanya kepada Bupati Sangihe Jabes Gaghana di sebuah warung makan tradisional sagu di Pasar Towo Tahuna, pertengahan April. John bertanya mengenai jatuhnya harga kopra dan peran pemerintah. Pertanyaan itu kemudian diakhiri kalimat walae i papa sambil membuka kedua tangannya.
Istilah Walae i papa cukup populis di kalangan warga perbatasan di Kepulauan Sangihe untuk merefleksikan ketidakberdayaan. Walae i papa artinya ’terserah bapak’ bermakna luas dalam konteks pembangunan kabupaten kepulauan Sangihe.
Menurut Iverdixon Tinungki, budayawan Sangihe, walae i papa mengartikan masyarakat menggantung hidup sepenuhnya kepada pemerintah untuk membangun daerah sekaligus menyejahterakan warganya. Sesungguhnya sikap walae i papa warisan hidup moyang Sangihe, menghargai pemimpin atau orang lebih tua hingga leluhurnya.
”Siapa pun pemerintah adalah orangtua bagi masyarakat. Sesungguhnya sikap itu menjadi modal kuat bagi setiap pemimpin daerah. Masyarakat percaya jika pemerintah buruk, dia akan jatuh sendirinya tanpa harus ditendang. Sebaliknya apabila pemerintah baik akan diberkati Tuhan,” katanya.
John menyatakan kegalauannya kepada bupati dengan harga kopra yang terus turun hingga titik nadir Rp 5.000 kilogram. Sebagai petani kopra, John mengaku tidak berdaya apabila harga kopra tidak beranjak naik.
Harga kopra akhir tahun 2017 masih sekitar Rp 11.000 per kilogram, kemudian berangsur turun menjadi Rp 10.000 pada awal tahun, kemudian pertengahan Februari menjadi Rp 8.500. Memasuki Maret, harga kopra terus turun menjadi Rp 6.800 dan kini menjadi Rp 6.000 per kilogram.
Akan tetapi, ujar John, harga pembelian kopra oleh pedagang di daerahnya Rp 5.000. Pedagang membebankan biaya angkutan ke petani dengan menekan harga kopra. Nilai jual kopra tersebut terendah sepanjang sejarah perdagangan kopra di wilayahnya.
”Artinya, harga kopra hanya sepertiga dari harga satu kilogram beras. Kopra sekarang nyaris tak bernilai,” katanya. Dikatakan dekade tahun 1970-an harga kopra sekitar Rp 1.000, tetapi harga beras Rp 350 hingga Rp 500 per kilogram.
Penurunan harga kopra berbanding terbalik dengan kenaikan harga beras di wilayah kepulauan ini. Harga beras kini naik menjadi Rp 12.000 hingga Rp 15.000 per kilogram.
Bupati Sangihe Jabes Gaghana mengatakan, kultur walae i papa masyarakat Sangir (sebutan Sangihe) membuat dirinya berutang kepada masyarakat. ”Saya harus membalas utang dengan kerja sebagai pemerintah,” katanya.
Dia menyebut sebagian besar masyarakat Sangihe hidup sebagai petani kopra, pala cengkeh, dan nelayan. Akan tetapi, naik turunnya harga komoditas tergantung permintaan pasar berdasarkan hukum ekonomi, permintaan dan penawaran. Pemerintah kabupaten tidak cukup modal untuk melakukan intervensi harga sekalipun menerapkan resi gudang.
Akan tetapi, ujar Jabes, pihaknya membuat sabuk pengaman pangan masyarakat dengan menerapkan pola makan sagu dan umbi-umbian pengganti beras. Inovasi makan sagu itu terus digelindingkan.
Jabes berkampanye kembali ke sagu di mana-mana. Menurut dia, sagu sesungguhnya makanan pokok warga Sangihe sejak dulu. Pola makan sagu berubah ketika pemerintah meluncurkan beras murah alias raskin kepada masyarakat miskin, termasuk masyarakat Sangihe, dalam dua dekade terakhir.
Tak sekadar berkampanye, dia menerapkan aturan pola makan sagu di seluruh kawasan Sangihe seminggu dua kali, Selasa dan Jumat, dimulai dari pegawai hingga pejabat di jajaran pemerintah kabupaten. Gayung bersambut, warung-warung penjual sagu bermunculan. Sagu pun bergairah, harga jual juga naik.
Menurut Jabes, makan sagu dua kali seminggu membuat masyarakat dapat berhemat beras yang nilainya setara Rp 6 miliar sebulan. Setiap hari masyarakat membeli beras sekitar Rp 750 juta. Dengan memotong seminggu dua kali, berarti Rp 1,5 miliar dihemat, sebulan Rp 6 miliar. Dana ini bisa kami gunakan untuk membeli makanan yang diproduksi masyarakat setempat dari umbi-umbian, sagu, dan pisang, sedangkan uangnya masuk ke masyarakat lagi.
”Dari dulu orang Sangir tidak mengenal nasi. Dengan dasar itu, saya coba mengimplementasikan sesuai kondisi riil karena banyak sekali pangan lokal tak termanfaatkan. Itulah sebabnya saya berada di warung ini agar rakyat tahu bahwa bupatinya juga makan sagu,” katanya.
Menurut Gaghana, sejak 2014 Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal mencabut status daerah tertinggal Kabupaten Sangihe. Pencapaian kesejahteraan masyarakat Sangihe terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,2 persen.
Seiring kemajuan tersebut, pemerintah pusat tidak lagi mengalokasikan dana alokasi khusus pembangunan daerah tertinggal sejak 2015. Peningkatan kesejahteraan masyarakat Sangihe dapat diukur dari peningkatan daya beli masyarakat, terutama di ibu kota Tahuna.
Pendidikan
Kehidupan Kota Tahuna sebagai ibu kota tampak semarak siang dan malam hari. Pusat belanja tampak ramai hingga pukul 21.00. Pembangunan jalan pantai sepanjang 4 kilometer membelah Kota Tahuna menghela roda ekonomi masyarakat dengan berdirinya sejumlah hotel dan rumah makan. Pemerintah setempat bertekad menjadikan Tahuna sebagai kota penting di utara Indonesia.
Jika dulu toko-toko di Tahuna tutup pukul 18.00, kini toko tutup menjadi pukul 21.00. Jumlah pasar swalayan bertambah banyak. Di wilayah terpencil jalan jembatan terbangun secara baik. Kota Tahuna malah telah diusulkan jadi daerah otonomi baru.
Kepala Bappeda Sulut Ricky Tumanduk menilai, kemajuan Sangihe cukup signifikan dan banyak ditopang pembangunan proyek infrastruktur pemerintah pusat dan provinsi. Pada 2017, dana pembangunan di Kepulauan Sangihe mencapai Rp 500 miliar.
Kabupaten Sangihe yang berpenduduk 135.000 jiwa memiliki 105 pulau dengan 26 pulau tak berpenghuni. Luas wilayah Sangihe 736 kilometer persegi yang 94 persen di antaranya adalah laut.
Potensi lestari sumber daya kelautan dan perikanan rata-rata sekitar 34.000 ton per tahun dan yang dimanfaatkan baru 14,4 persen. Berbagai jenis ikan hasil tangkapan, antara lain tuna, cakalang, ikan terbang, layang, kakap, kerapu, dan hiu.
Selain bidang perikanan tangkap, luasnya laut Sangihe berpotensi meningkatkan budidaya laut, seperti rumput laut seluas sekitar 250 hektar dan ikan laut seluas 346 hektar untuk komoditas ikan kerapu, kakap, kuwe, lobster, dan budidaya teripang.
Data Bappeda Sulut menyebutkan, kemajuan ekonomi ditopang dengan kemajuan pendidikan sehingga membuat nilai indeks pembangunan manusia Sangihe pun terdongkrak. Angka melek huruf di Sangihe mencapai 98,7 persen.
Meski demikian, rata-rata lama sekolah di Sangihe masih berkisar 7,7 tahun, berada di bawah angka lama sekolah nasional 7,95 dan Sulut mencapai rata-rata 8,96 tahun. Oleh karena itu, Jabes membuat inovasi penting di bidang pendidikan.
Inovasi dimaksud ialah setiap kepala sekolah diwajibkan mengantar anak-anak lulusan sekolah dasar ke jenjang SMP, demikian selanjutnya hingga SMA. Keberhasilan kepala sekolah mengantar anak lulusannya menjadi penilaian penting untuk jabatan dia.
”Saya beri target kepala sekolah mengantar seluruh lulusan ke jenjang sekolah lebih tinggi. Kalau tidak, saya ganti. Kami telah mengadakan kontrak dengan para kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan kecematan hingga kabupaten,” katanya.
Kemajuan suatu daerah sangat tergantung dari kemajuan dan prestasi pendidikan anak didik.
Di samping pendidikan, Jabes juga menerobos aturan bidang catatan sipil dan kependudukan dengan memberi legitimasi kepala kecamatan di pulau terpencil menandatangani akta lahir, akta pernikahan, hingga pembuatan KTP.
Artinya, dengan memperoleh akses catatan sipil lebih mudah, masyarakat juga mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan dari pemerintah secara gratis. ”Kalau tidak ada akta, bagaimana anak itu memperoleh bantuan dari pemerintah,” katanya.
Masyarakat Sangihe yang hidup terpencil di pulau dengan segala keterbatasan selalu dalam kondisi tidak berdaya. Problem sosial serta kondisi alam dan ekonomi setiap saat menghadang gerak masyarakat. Meski pemerintahan Jokowi berusaha membangun wilayah perbatasan melalui sejumlah program kesejahteraan, hal tersebut tidak membuat masyarakat menikmati secara utuh kemajuan pembangunan.
Program tol laut dengan tujuan menekan harga barang dan bahan pokok nyaris tidak dirasakan masyarakat pulau. Demikian halnya kebijakan satu harga bahan bakar minyak juga hingga kini tidak terwujud. Masyarakat miskin Sangihe membeli bensin, solar, dan minyak tanah dua kali lipat dari harga yang dibeli orang kaya di kota.
Kalau harga BBM terus melonjak dan tol laut menjadi program lips service, wajar jika warga Sangihe pun berucap, ”Walae i papa”, terserah bapak.