Gus Yahya ke Israel demi Perdamaian Palestina
JAKARTA, KOMPAS — Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Kiai Haji Yahya Cholil Staquf mengunjungi Israel karena didorong oleh kegelisahan dan kesedihannya akan penderitaan rakyat Palestina. Penderitaan itu adalah kekalutan bangsa-bangsa Arab dan kegalauan dunia Islam.
Sikap Yahya dinyatakan jelas dalam sambutannya bertajuk ”Let Us Choice” (Mari Memilih) di Forum Global Komite Yahudi Amerika (AJC), Minggu (10/6/2018) di Jerusalem. Salinan sambutan Yahya dikirim kepada Kompas pada Rabu (13/6/2018).
Di pojok kanan atas naskah sambutannya tertulis ”Humanitarian Islam” dan di kiri tulisan itu juga ada tulisan ”Bayt Ar Rahmah”.
Meski menjabat Katib Aam PBNU dan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Yahya di depan forum itu mengatakan, ”Saya datang ke sini bukan atas nama Indonesia… bukan pula atas nama NU.... Saya datang atas nama kegelisahan dan kesedihan saya pribadi”.
Juru bicara presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, itu hadir pada forum tersebut atas undangan Dewan Hubungan Luar Negeri Israel (ICFR).
”Di tengah atmosfer yang diwarnai ketegangan, bahkan permusuhan, kebencian, dan dendam, Anda mengundang saya, meminta saya berbicara, dan Anda siap mendengarkan saya,” kata Gus Yahya, sapaan akrabnya.
Menurut Gus Yahya, dirinya memenuhi undangan ICFR itu karena melihat adanya niat baik dan tulus Israel yang menginginkan jalan keluar dari kemelutnya dengan Palestina. Niat yang baik itu perlu direspons dengan cara yang bijak pula dan itu dilakukan olehnya.
”Anda percaya atau sekurang-kurangnya ingin menguji kepercayaan Anda pada harapan akan perdamaian dan masa depan yang lebih baik,” ujar Gus Yahya dalam sambutannya itu.
Di depan forum AJC, Gus Yahya menjelaskan motivasinya menghadiri meski sejatinya dirinya juga tidak suka akan cara-cara Israel terhadap rakyat Palestina. ”Kegelisahan dan kesedihan yang tumbuh di atas kesaksian saya akan penderitaan orang-orang Palestina”, itulah yang mendorong Gus Yahya.
Penderitaan rakyat Palestina adalah juga kekalutan bangsa-bangsa Arab dan kegalauan dunia Islam.
”Karena penderitaan mereka bukanlah milik mereka (rakyat Palestina) sendiri saja. Penderitaan mereka adalah juga kekalutan bangsa-bangsa Arab dan kegalauan dunia Islam,” ujarnya di hadapan forum tersebut.
Pada saat yang sama, ”Laksana gambaran di seberang cermin, penderitaan Palestina adalah juga keresahan Israel dan kegamangan dunia Barat. Dan kini, setelah berpuluh-puluh tahun, semua itu hampir-hampir mengarah pada keputusasaan umat manusia.”
”Saya tidak tahu, apakah masih ada di antara kita yang menyaksikan sendiri, bagaimana semua ini dimulai. Yang jelas, kita semua adalah anak-anak dari sejarah yang penuh masalah (troubles). Sejarah yang diwarnai curiga, kebencian, rasa sakit dan amarah.”
”Sejarah yang bergulir di luar kendali kita. Rangkaian sebab-akibat dari tindakan-tindakan di luar keputusan kita. Sejarah yang mewariskan kepada kita permusuhan dan ikatan saling menyakiti seolah perjanjian takdir.”
”Izinkan saya bertanya, apakah kita ingin meneruskan warisan yang sangat tidak nyaman ini kepada generasi mendatang? Apakah kita senang anak-cucu kita merasakan ketidakberuntungan dan sakit seperti yang kita hidupi sekarang?”
”Sudah berapa lama kita menanggung sakit ini? Sejak puluhan tahun yang lalu? Ratusan tahun? Ribuan tahun? Kini Anda memperingati 70 tahun berdirinya negara Israel. Baiklah. Sudah berapa banyak, sejak 70 tahun lalu itu, orang mencoba menghentikan kemelut ini? Kakek-nenek kita? Bapak-ibu kita?”
Sudah berapa juta orang pula yang tewas sia-sia? ”Orang-orang besar datang dan pergi. Melakukan tindakan-tindakan paling berani. Berjuang untuk saling mengalahkan atau mendamaikan. Dan hari ini, kita masih seperti ini.”
”Guru saya, Kiai Haji Abdurrahman Wahid, 16 tahun yang lalu menceritakan pandangan seseorang tentang upaya penyelesaian masalah Israel-Palestina, yang menurut guru saya sangat menarik (compelling),” tegasnya.
Menurut pandangan orang itu, upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini hanya mempertimbangkan aspek-aspek politik dan militer, melibatkan hanya pemimpin-pemimpin politik dan militer, dan terbukti gagal.
”Maka, patut dicoba untuk menambahkan unsur baru dalam upaya-upaya itu, yaitu unsur agama, dengan memberdayakan inspirasi-inspirasi agama dan melibatkan pemimpin-pemimpin agama.”
Gus Dur melihat gagasan itu sangat menarik. ”Tetapi guru saya itu juga melihat masalah besar, bahwa di dalam setiap agama itu sendiri terdapat pertentangan-pertentangan pandangan, interpretasi, dan mazhab, bahkan pertentangan-pertentangan pula di antara para pemimpinnya. Maka, gagasan itu kelihatan menarik sekali saat diucapkan, tetapi pasti sulit sekali untuk diwujudkan.”
Kemudian, Gus Yahya menceritakan, di Kedutaan Besar Israel di Washington DC, beberapa minggu lalu, seseorang meminta konfirmasinya mengenai adanya ajaran-ajaran Islam yang mendorong permusuhan terhadap Yahudi.
Jika suatu interpretasi agama tidak membantu kita memecahkan masalah, mari kita jelajahi interpretasi-interpretasi lain.
”Saya tidak menjawab secara langsung pertanyaan itu. Saya mengatakan, saya ingin mencari jalan keluar. Kalau agama menghalangi jalan keluar, mari kita tinggalkan saja,” katanya.
”Namun, bukan maksud saya menyarankan agar orang melepaskan diri dan membuang agama. Saya sendiri beriman kepada Tuhan dan rasul-rasul-Nya. Iman itu yang saya pilih ketimbang nyawa saya. Tetapi, dogma-dogma adalah interpretasi. Jika suatu interpretasi agama tidak membantu kita memecahkan masalah, mari kita jelajahi interpretasi-interpretasi lain.”
Gus Yahya lalu menggugat forum dengan pertanyaan-pertanyaan. ”Jika di tengah perseteruan ini kita terus ngotot memandang pihak lain sebagai musuh, bagaimana mungkin kita mampu melihat peluang bagi perdamaian? Apa gunanya berbagi ini dan itu, menyepakati ini dan itu, mengatakan ini dan itu, jika kita tak pernah bersedia melepaskan cita-cita untuk membasmi lawan? Apakah kita akan terus bertarung sampai salah satu pihak musnah walaupun harus selama-lamanya hidup dalam kesengsaraan?”
Menurut Yahya, jika dunia ingin menghentikan konflik, dunia harus menghilangkan sebabnya. Begitu juga dengan Israel. Kini, setiap orang mengklaim bahwa sebab konflik ini adalah ketidakadilan. Tiap pihak lalu menuntut keadilan. Namun, masing-masing mempunyai perhitungannya sendiri-sendiri tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil. Konflik pun terus berlangsung tanpa ada ujungnya.
Soal memberi
”Izinkanlah saya mengatakan sesuatu yang semua orang sudah tahu, tapi entah mengapa enggan mengingatnya, apalagi melaksanakannya. Bahwa keadilan bukan hanya soal menuntut, tapi juga soal memberi. Maka, keadilan tak mungkin terwujud tanpa kasih sayang. Orang yang tidak bersedia memberikan kasih sayang tidak mungkin mau mempersembahkan keadilan. Ini adalah roh agama. Inilah roh iman.”
”Tidakkah Anda melihat kini bahwa akar konflik ini bukan lagi ketidakadilan, tapi permusuhan. Kebencian kepada pihak lain akan senantiasa mendorong Anda untuk berbuat tidak adil kepada mereka dan menyakiti mereka.”
”Apakah hilangnya permusuhan tergantung pada kepuasan semua pihak akan keadilan? Bagaimana mungkin? Sedangkan masing-masing mempunyai perhitungan yang berbeda tentang keadilan dan berkukuh dengan keinginan untuk saling menghancurkan?”
”Tidak. Hilangnya permusuhan adalah soal pilihan. Apakah kita memilih dendam atau memaafkan? Apakah kita memilih kebencian atau kasih sayang? Apakah kita memilih bertarung hingga musnah atau berdamai dan bekerja sama?”
Kaum Muslimin dan Yahudi agar meletakkan rasa saling curiga dan membangun masa depan bersama dengan roh iman.
Menurut Gus Yahya, jelas bahwa pilihan-pilihan yang menjadi syarat bagi perdamaian bukanlah pilihan-pilihan yang mudah. ”Tetapi, selama kita tidak mengubah pilihan dari yang selama ini kita jalani, tidak akan ada jalan keluar sama sekali.”
Dalam pesan akhirnya, Gus Yahya menyerukan agar Palestina menghentikan dendam dan kemarahan. Israel agar menghentikan kekerasan atas keresahan karena merasa tak aman. Bangsa-bangsa Arab agar rela berbagi kebaikan, kasih sayang, dan perhatian yang tulus bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Gus Yahya juga meminta kaum Muslimin dan Yahudi meletakkan rasa saling curiga dan membangun masa depan bersama dengan roh iman. Dunia agar bergerak menghentikan perebutan kuasa dan sumber daya-sumber daya dan lebih peduli pada manusia dan kemanusiaan.
Menurut informasi yang dirilis pada Minggu (10/6/2018), sesaat menjelang pembukaan Forum Global AJC di Jerusalem, terungkap perbedaan antara Yahudi Amerika dan Israel mengenai sejumlah isu.
Lebih dari 2/3 Yahudi Israel (68 persen) mengatakan, tidaklah pantas bagi Yahudi Amerika memengaruhi kebijakan Israel mengenai masalah-masalah seperti keamanan nasional dan perundingan perdamaian dengan Palestina. Mayoritas Yahudi Amerika (53 persen) mengatakan wajar bagi Yahudi Amerika memengaruhi kebijakan Israel.
Mereka juga memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa yang harus dilakukan terhadap permukiman Yahudi di Tepi Barat terkait persetujuan perdamaian dengan Palestina.
Sekitar 15 persen Yahudi Amerika dan 4 persen Yahudi Israel mengatakan, Israel agar membongkar semua permukiman tersebut. Juga 44 persen Yahudi Amerika dan 35 persen Yahudi Israel mengatakan, Israel sebaiknya bersedia membongkar sebagian dari permukiman itu.