Ingatkan Dunia Selamatkan Warisan Pustaka
Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang tentang literasi yang menuturkan beragam pengetahuan. Pencapaian bangsa di Nusantara ini jauh sebelum negeri barat mencapai peradaban modernnya. Memory of the World menjadi bukti.
Tiga setengah abad dalam kungkungan kolonial Belanda tak terhitung besarnya kerugian yang ditanggung bangsa ini, baik jiwa penduduknya maupun kekayaan alamnya. Meski begitu masih ada keuntungan yang dapat diraih kembali pascakemerdekaan yaitu dokumentasi warisan pustaka bangsa kita yang disimpan di perpustakaan milik Belanda.
Di Perpustakaan Nasional yang sebelumnya merupakan perpustakaan peninggalan kolonial ini, ada 11.642 naskah kuno - sebagai warisan nenek moyang yang terkumpul sejak 8 abad silam. Kekayaan literatur itu terus dipreservasi dengan berbagai teknik untuk generasi mendatang.
Jumlah dokumen yang menjadi jejak-jejak pengembangan peradaban manusia di negeri ini tak seberapa bila dibandingkan dengan naskah yang diboyong Belanda. Di Perpustakaan Universitas Leiden naskah dokumenter tentang Indonesia dan negara-negara di Karibia merupakan yang terbanyak di dunia. Jumlah manuskrip dunia barat dan timur yang tersimpan disana antara lain mencapai sekitar 60.000.
Di Perpusnas, naskah leluhur bangsa kita ditulis dalam bermacam aksara kuno dan bahasa daerah. Media yang digunakan pun beragam mulai dari daun lontar, kulit kayu, dan bambu hingga kertas. Pustaha Laklak (kitab kulit kayu) di antaranya ditulis dalam bahasa dan aksara batak pada kulit kayu alim (Aquilaria malaccensis). Itu adalah naskah prosa yang menjelaskan tentang obat-obatan dan pencegahan pengaruh ilmu hitam, serta ramalan dan makna mimpi.
Dari Sumatera juga ada Cerita Ulu berbahasa Rejang menggunakan aksara KaGaNga ditulis pada media bambu. Naskah ini menceritakan ritual masyarakat Rejang yang hidup pada abad 12 di bagian selatan Sumatera. Selain itu juga ditemukan naskah tentang ajaran agama, ilmu kedokteran, petuah dan kearifan lokal lainnya.
Ada pula literatur kuno pun ditemukan di Jawa dan Bali. Salah satu yang penting adalah Pararaton berarti Kitab Raja-raja. Naskah berbahasa jawa kuno dan aksara bali ini ditulis pada daun lontar. Isinya menceritakan tentang asal usul Ken Angrok - raja pertama Singosari, pergantian raja-raja hingga kerajaan Majapahit. Didalamnya ada sumpah Amukti Palapa yang diucapkan Mahapatih Gajah Mada. Sumpah ini merupakan cikal bakal NKRI yang pada waktu itu bernama Nusantara.
Masyarakat Bugis kuno di Sulawesi Selatan, juga menggunakan daun lontar untuk berliterasi. Bahkan daun lontar ini dikemas dalam bentuk gulungan menyerupai kaset. Pada gulungan daun lontar ini tertulis naskah Surek Baweng (Surat Nuri) menggunakan bahasa dan aksara Bugis berisi petuah dan nasehat perkawinan.
Ingatan dunia
Dari belasan ribu naskah kuno itu, Perpustakaan Nasional setiap tahun memilih dan mengajukan kepada United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) beberapa naskah untuk ditetapkan sebagai warisan dokumenter asal Indonesia sebagai Ingatam Kolektif Dunia atau Memory of the World (MOW).
Dokumen atau arsip yang masuk dalam daftar MOW dinilai berperan penting dalam sejarah umat manusia, sebagai pengingat akan keberadaannya pada peristiwa besar kala itu. Warisan dokumen ini juga menjadi bahan pembelajaran manusia masa kini dan masa mendatang.
Sejak 1997 hingga 2017 di UNESCO telah terdaftar 427 dokumen dari berbagai negara sebagai MOW. Di antara naskah asal Indonesia yang terdaftar adalah La Galigo yang ditetapkan sebagai MOW tahun 2011. Ini merupakan epik mitos peradaban atau kehidupan sosial bangsa Bugis masa lalu di Sulawesi Selatan. Naskah kuno tersebut ditulis sekitar abad ke-13 – ke-15 dalam bahasa bugis dan huruf Lontara kuno.
Tertulis dalam 6.000 halaman, La Galigo merupakan yang terpanjang di dunia. Kisah ini kemudian dikenal dunia setelah diadaptasi dalam pertunjukan drama oleh sutradara asal Amerika Serikat Robert Wilson.
Naskah lainnya adalah Nagarakretagama karya Empu Prapanca pada yang menceritakan tentang kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350 – 1389). Selain itu ada Babad Diponegoro yang ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro (1785 – 1855). Buku autobiografi ditulis dalam aksara arab sebanyak 1151 halaman. Karya yang menjadi pelopor sastra Jawa modern ini juga menceritakan kondisi masyarakat yang memprihatinkan kala itu. Dua naskah yang ditulis pada abad 14 dan 18 itu ditetapkan sebagai MOW tahun 2013.
Apresiasi UNESCO juga diberikan untuk karya dokumenter pascakemerdekaan dan yang dihasilkan pada abad ini. Pada tahun 2017 dokumen yang masuk daftar MOW antara lain adalah Rekonstruksi Candi Borobudur (1973 – 1983), serta arsip Tsunami yang merupakan dokumen peristiwa gempa dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004.
Lembaga terkait di Indonesia terutama Perpustakaan Nasional seruis mengumpulkan, menyimpan, mendokumentasikan dan mengamankan dokumen berharga.
Preservasi naskah
Mempertahankan naskah kuno peninggalan nenek moyang berabad silam itu tentu memerlukan upaya khusus dengan menerapkan teknologi preservasi, sehingga naskah kuno masih dapat ditampilkan secara utuh pada generasi masa kini dan masa depan.
Pelestarian naskah kuno diatur dalam Undang Undang Perpustakaan Nomer 43 Tahun 2007 tentang penyimpanan, perawatan, dan pelestarian naskah kuno. Selain itu juga ada UU Nomor 8 Tahun 1997 yang mengatur tentang alih media dokumen khususnya dalam mengelola koleksi dokumen langka dan kuno. Sementara itu UU Cagar Budaya Nomer 5 Tahun 1992 mendefinisikan naskah kuno atau manuskrip adalah yang ditulis tangan, diketik atau dijadikan buku tercetak yang berumur 50 tahun lebih.
Naskah-naskah kuno disimpan di lantai 9 Gedung Perpustakaan Nasional, di Jalan Merdeka Selatan. Koleksi naskah kuno dan buku langka ditempatkan dalam ruangan bermesin pendingin yang bekerja selama 24 jam setiap hari. Suhu ruangannya antara 18 hingga 22 derajat Celsius dan kelembaban 40 hingga 60 persen.
"Koleksi buku juga harus terlindung dari paparan sinar matahari langsung agar buku tidak berubah warna dan cepat rapuh," kata Kepala Bidang Konservasi Perpustakaan Nasional Mulatsih Susilorini.
Selain itu ruangan harus memiliki sirkulasi udara yang baik agar tidak lembab. Ruangan yang lembab memudahkan jamur tumbuh pada kertas sehingga merusak koleksi. Di dekat naskah itu perlu diberikan naftalen atau kamper atau kapur barus untuk mengusir serangga seperti kecoa, rayap, ngengat, dan kutu.
Perbaikan naskah atau buku yang rusak dilakukan oleh petugas konservasi atau preservasi. Naskah akan dibongkar dan dilakukan paginasi atau pemberian halaman baru. Konservasi dilakukan pada tiap lembar naskah.
Tahapannya meliputi deasidifikasi yakni proses untuk menghilangkan keasaman pada kertas dengan cara disemprot larutan barium dan methanol. Pakar konservasi yaitu William Barrow ( 1904-1967) yang memperkenalkan tentang deasidifikasi kertas melalui alkalisasi (alkalization) pada tahun 1933.
Tahap preservasi selanjutnya adalah manding yaitu menambal atau menyambung. Proses berikutnya laminasi atau melapisi koleksi dengan tisu jepang dan diberikan lem. Tisu jepang berupa kertas tipis namun sangat kuat terbuat dari pohon kozo atau mulberi (Broussonetia papyrifera).
Lembaran yang telah diperbaiki kemudian disusun kembali untuk dijilid ulang. Prosesnya meliputi trimming yaitu memotong atan menghilangkan bagian yang tidak dikehendaki pada tepi lembaran naskah. Setelah itu pengepresan, di jilid kembali dengan sampul dari karton keras dan dilapis buckram atau kain kasar dari bahan linen atau rami kemudian dilem agar sampul buku menjadi kaku dan kuat .
“Proses perbaikan naskah kuno itu biaya perlembarnya Rp 25.000 hingga Rp 30.000,” ujar Susilorini.
Apabila kertas dari koleksi tersebut sudah rapuh, cara lain naskah akan difotokopi untuk kemudian dicatat dalam administrasi sebagai data buku yang masuk skala prioritas preservasi.
Digitalisasi
Selain penyelamatan fisik naskah kuno, upaya konservasi konten atau manuskrip pada bahan pustaka dilakukan dengan digitalisasi yaitu perekaman foto menggunakan kamera digital. Koleksi digital ini kemudian diunduh di situs web agar pengguna dapat mengaksesnya di mana pun tanpa harus ke perpustakaan.
Penyimpanan naskah dalam dalam bentuk digital juga dilakukan dengan memindai setiap halamannya, lalu dimasukkan dalam basis data. Dalam bentuk format digital sebagai buku elektronik (e-book), materi buku ini kemudian diunggah pada situs daring.
Digitalisasi juga dilakukan Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali yaitu pada naskah daun lontar, kemudian ditampilkan dalam situs web. Total ada 2747 naskah lontar yang di digitalisasi melalui kerja sama dengan Archieve Foundation, yayasan dari Amerika Serikat.
"Sementara itu, sebagai materi yang dipamerkan atau dipajang, Perpustakaan Nasional memilih naskah kuno terutama yang masuk dalam MOW untuk dibuat duplikatnya yang mirip aslinya," kata Kepala Bidang Layanan Koleksi Khususs Perpustakaan Nasional, Teguh Puwanto. Naskah itu antara lain La Galigo, Nagarakretagama, dan Babad Diponegoro.