Jangan Nodai Hari Kemenangan dengan Ceramah Politik Praktis
Oleh
Pradipta Pandu Mustika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penceramah atau khatib shalat Idul Fitri diimbau senantiasa menjaga kesucian hari kemenangan dengan tidak membawakan ceramah yang mengandung pesan-pesan politik praktis.
Hari raya Idul Fitri 1439 Hijriah di Indonesia berdekatan dengan pesta demokrasi, yakni pemilihan kepala daerah serentak pada 27 Juni 2018. Meski demikian, para khatib diminta menghindari pesan-pesan politik dalam khotbahnya.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Muhammadiyah Amin, di Jakarta, Rabu (13/6/2018), menyebutkan, saat memberikan khotbah shalat Idul Fitri, khatib tidak boleh membicarakan politik praktis. Jika sampai terjadi, tindakan itu menodai kesucian Idul Fitri sebagai hari kemenangan.
”Idul Fitri adalah hari kemenangan, kemenangan atas perlawanan hawa nafsu. Mengutip seruan Menteri Agama tentang ceramah di rumah ibadah, seorang khatib juga hendaknya memperhatikan beberapa hal,” ujar Amin.
Ia menjelaskan, berdasarkan seruan dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, khotbah yang disampaikan penceramah hendaknya disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun. Ceramah juga harus bebas dari umpatan, makian, ataupun ujaran kebencian yang dilarang agama mana pun.
Selain itu, materi yang disampaikan juga tidak mempertentangkan unsur suku, agama, ras, antargolongan (SARA); tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif; dan tidak bermuatan kampanye politik praktis atau promosi bisnis.
Semua seruan dan imbauan mengenai ceramah ini bertujuan untuk menjaga persatuan, meningkatkan produktivitas bangsa, merawat kerukunan umat beragama, dan memelihara kesucian tempat ibadah.
Tempat ibadah
Menurut Amin, tempat ibadah semua umat beragama, tak terkecuali masjid, merupakan lambang pemersatu bagi umat beragama tersebut. Berbagai kelompok, aliran, ataupun mazhab politik, semuanya bisa rukun dan damai menunaikan ibadah di masjid.
”Meski di ruang publik perbedaan politik itu sangat tampak, tetapi semuanya harus menyatu dalam spirit tauhid dan ukhuwah saat memasuki masjid,” ucapnya.
Meski di ruang publik perbedaan politik itu sangat tampak, tetapi semuanya harus menyatu dalam spirit tauhid dan ukhuwah saat memasuki masjid.
Oleh karena itu, Amin berharap masyarakat senantiasa menjaga masjid dari politik sektarian atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu kelompok. Jangan sampai masyarakat enggan masuk ke masjid karena masjid tersebut memihak politik tertentu.
”Masjid adalah pertahanan umat untuk meredam segala bentuk perbedaan. Masjid merupakan tempat ibadah milik bersama, bukan kelompok politik tertentu,” lanjutnya.
Jauhi tema politik
Imbauan untuk khatib agar menjauhi tema-tema khotbah yang bernuansa politik praktis juga disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin. Menurut dia, khotbah yang mengandung politik praktis dikhawatirkan dapat memecah belah umat Islam pada tahun politik.
”Jauhi tema khotbah politik praktis dan jangan jadikan khotbah Idul Fitri sebagai ajang kampanye. Khatib perlu menyampaikan khotbah dengan pesan-pesan yang damai,” kata Ma’ruf.
Ma’ruf menyebutkan, perbedaan aspirasi dalam dunia politik hendaknya jangan sampai memicu permusuhan. Perbedaan pandangan politik seharusnya dianggap sebagai hal yang biasa.
Ia berharap, Idul Fitri dapat dijadikan sebagai momentum untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan seluruh Muslim di Tanah Air. Selain itu, masyarakat juga diharapkan dapat memanjatkan doa untuk keselamatan Muslim yang sedang mengalami tragedi kemanusiaan, seperti di Palestina dan Suriah serta Rohingya.