Kelurahan Pekojan Dirintis Jadi ”Laboratorium Kasih Sayang”
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberagaman suku, agama, dan etnis di Kelurahan Pekojan di DKI Jakarta yang terbentuk selama ratusan tahun kini masih terawat dengan baik. Dengan modal itu, kelurahan dengan jumlah penduduk 27.506 jiwa itu sedang dirintis menjadi sebuah laboratorium kasih sayang di Indonesia.
Potret keberagaman itu terlihat saat Kompas mendatangi kelurahan seluas 77,8 hektar di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, itu pada Selasa (12/6/2018). Di Jalan Bandengan Selatan, misalnya, bangunan gereja, masjid, dan wihara berjejer dengan jarak tidak lebih dari 100 meter.
Lurah Pekojan Tri Prasetyo Utomo mengatakan, wajah Pekojan yang beragam itu terbentuk selama ratusan tahun. Selain Betawi, etnis lain yang ada di sana adalah Jawa, Madura, Arab, India, dan China. Mereka pun berlatar belakang keyakinan yang beragam, seperti Islam, Kristen, dan Buddha.
”Kampung ini awalnya dibentuk oleh orang India. Sekarang etnis Tionghoa, misalnya, mendominasi di RW (rukun warga) 6, 7, dan 10, sedangkan Arab ada di RW 1. Ada juga yang dari Madura, Betawi,” katanya. Di kelurahan itu terdapat 12 RW yang terdiri atas 144 RT (rukun tentangga).
Menurut dia, selama ini warga hidup berdampingan secara damai. Kawin campur antaretnis ataupun antaragama semakin mengeratkan hubungan mereka. Tidak ada riwayat konflik bernuansa etnis atau agama di sana.
Keberagaman yang kuat itu, menurut Tri, kini menjadi modal untuk meningkatkan lagi kepedulian terhadap sesama, terutama mereka yang membutuhkan bantuan. Dari sisi ekonomi, misalnya, masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Itu terpantau dari banyaknya bangunan kumuh di pinggir rel kereta tepat di depan kantor kelurahan. Selain itu, juga berderet permukian padat dengan satu rumah diisi lebih dari dua kepala keluarga. ”Ada rumah yang berukuran kecil sehingga mereka tiduran secara bergantian,” ujarnya.
Pada Maret 2018 diluncurkan program Pekojan sebagai kampung welas asih (kasih sayang) atas dukungan dari Compassion Action International Network. Sejumlah program yang mulai digulirkan seperti kelas terapi bagi anak berkebutuhan khusus dan pojok baca serta taman beramain. Kegiatan ini melibatkan masyarakat luas.
Margono, warga RW IX yang juga pemeluk Kristen, menuturkan, kelompok minoritas seperti dirinya oleh umat Muslim yang mayoritas diperlakukan sebagai sahabat. ”Bahkan, pada saat Natal, misalnya, tempat parkir jemaat diatur oleh mereka (yang beragam Islam),” katanya.
Kesan serupa disampaikan Clauw Diana Citrani (54), warga keturunan Tionghoa. Clauw bahkan dipilih menjadi Ketua RW VI. Selain memeluk Kristen, ada juga keturunan Tionghoa yang memeluk agama lain, seperti Islam dan Buddha.
Efek politik indentitas
Bagi Tri yang memimpin kelurahan itu sejak 2015, cara untuk menguatkan kohesi sosial antarwarga adalah memperbanyak perjumpaan lewat sejumlah kegiatan. Di kelurahan itu sering digelar Festival Pekojan dan Festival Kampung Arab. Sebagai simbol perekat telah dibangun Tugu Menara Pekojan yang diresmikan pada 12 Desember 2015.
Lalu bagaimana dengan efek politik identitas di Jakarta belakang ini? ”Di sini efeknya tidak terlalu terasa. Pilihan politik berbeda, tapi tidak terbawa sampai pada kehidupan keseharian warga. Kami di sini biasa saja,” kata Clauw.