Kompleksitas Bunuh Diri
Bunuh diri sebagai puncak persoalan kesehatan mental masyarakat sejatinya bisa dicegah. Namun, kuatnya stigmatisasi kepada orang yang bunuh diri dan keluarganya membuat bunuh diri tabu dibicarakan.
Tulisan berikut tidak dimaksudkan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan serupa. Jika Anda merasa depresi dan mulai berpikir untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke tenaga profesional, seperti psikolog atau psikiater. Meminta pertolongan mereka bukan berarti Anda lemah.
Pandemi Covid-19 memang telah berlalu, tetapi dampaknya pada kehidupan masyarakat masih terasa. Bukan hanya soal ekonomi dan finansial yang belum pulih, berbagai persoalan sosial yang muncul makin menguras emosi warga. Berbagai tekanan itu meningkatkan risiko bunuh diri sebagai puncak masalah kesehatan mental di masyarakat.
Kasus seorang ibu yang hendak bunuh diri di Stasiun Pasar Minggu, Jakarta, Sabtu (2/9/2023) sambil menggendong bayinya atau ditemukannya jasad perwira menengah polisi di rel kereta api jalur Jatinegara, Jakarta, pada 29 April 2023 dengan dugaan bunuh diri setidaknya menunjukkan bahwa kasus-kasus bunuh diri itu ada di sekitar kita.
Kedua kejadian itu hanyalah sebagian kecil dari kasus dugaan bunuh diri yang dilaporkan. Kepolisian RI selama Januari-Juni 2023 mencatat 568 kasus bunuh diri. Karena banyak kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan atau ditutup-tutupi, jumlah riil kasus bunuh diperkirakan bisa mencapai lebih dari tiga kali lipat dari kasus yang dilaporkan.
Bunuh diri tak kenal status sosial dan pangkat. Pria-wanita, tua-muda, masyarakat awam atau orang berpangkat, kelompok terdidik, selebritas, hingga tokoh agama pun bisa melakukannya. Alasannya pun beragam, mulai dari lilitan ekonomi, tekanan kehidupan, diputus pacar, ditinggal orang terkasih, hingga penyakit kronis yang tak kunjung sembuh.
Baca Juga: Belajar dari Kasus Percobaan Bunuh Diri Ibu dan Bayi di Stasiun Pasar Minggu
Karena itu, menyambut Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia yang dirayakan setiap 10 September, penting membangun kesadaran bersama bahwa bunuh diri adalah masalah kita. Stigmatisasi terhadap pelaku dan keluarganya hanya memperburuk masalah. Kepedulian kitalah yang bisa mencegah orang lain yang ingin mengakhiri hidupnya.
Bunuh diri adalah masalah yang sangat kompleks, tidak ada penyebab tunggal untuk setiap kasus. Data Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional (IASP) menunjukkan orang dengan depresi 20 kali lebih mungkin mati karena bunuh diri dibandingkan dengan orang lain yang tidak depresi. Sejak lama, bunuh diri memang dikaitkan dengan sejumlah gangguan mental.
Namun, mengapa orang dengan gangguan mental yang sama tidak melakukan atau memiliki ide bunuh diri? Pertanyaan dasar inilah yang melandasi sejumlah ilmuwan untuk mempelajari biologi bunuh diri guna mencari pemicu seseorang bunuh diri. Dengan mengetahui penyebab bunuh diri, upaya pencegahan bisa dilakukan dengan strategi yang lebih tepat.
Douglas Gray, profesor psikiatri di Sekolah Kedokteran Universitas Utah, Amerika Serikat, kepada majalah The U, edisi musim panas 2021, menyebut, meski berbagai gangguan mental, tekanan finansial, trauma masa kecil, hingga persoalan lingkungan berkontribusi pada bunuh diri, dia memperkirakan 45-55 persen bunuh diri dipicu faktor genetik.
Baca Juga: Bunuh Diri Bisa Dicegah, Jangan Abaikan Stres dan Depresi
Analisis genom menyeluruh yang dilakukan Anna R Docherty dan rekan di The American Journal of Psychiatry, 1 Oktober 2020, mendeteksi lebih dari 20 gen yang berperan dalam bunuh diri. Terlepas dari efek lingkungan bersama, studi ini membuktikan sebagian kematian akibat bunuh diri diturunkan dan bisa dilacak dalam keluarga.
Selain genetika, kondisi otak turut memengaruhi terjadinya bunuh diri. Area otak yang terlibat dalam pikiran dan tindakan bunuh diri adalah bagian otak yang terkait dengan regulasi emosi dan impuls. Ed Ergenzinger di The Psychology Today, 11 Februari 2022, menyebut, gangguan di daerah tengah dan samping pada korteks prefrontal ventral (VPFC), bagian otak di atas pangkal hidung yang terlibat dalam penilaian, penghambatan, dan penggunaan aturan, bisa menstimulasi keinginan bunuh diri.
Di atas VPFC ada korteks prefrontal dorsal (DPFC). Gangguan di bagian ini dan koneksinya dikaitkan dengan tindakan percobaan bunuh diri. VPFC dan DPFC terhubung ke bagian korteks singulat anterior dorsal (dACC) dan insula, bagian yang bisa memediasi transisi dari pikiran untuk bunuh diri menjadi tindakan bunuh diri.
Meski hampir semua gangguan mental dikaitkan dengan peningkatan risiko bunuh diri, lanjut Ergenzinger, risiko bunuh diri terbesar ada pada mereka yang mengalami gangguan bipolar, depresi, dan gangguan spektrum skizofrenia. Gangguan-gangguan tersebut berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada VPFC, DPFC, dACC, dan insula.
Faktor umum yang muncul dalam banyak kasus bunuh diri adalah kurangnya hubungan sosial yang membuat mereka merasa tidak diinginkan atau menjadi beban bagi orang lain.
Bunuh diri juga dikaitkan dengan kemampuan berpikir atau kognitif seseorang. Kim Armstrong dalam Observer, 28 Februari 2022, majalah milik Asosiasi Ilmu Psikologi (APS), AS, menyebut, keputusan bunuh diri bisa terjadi dalam waktu singkat. Seseorang bisa saja memiliki pikiran untuk bunuh diri hingga bertahun-tahun. Namun, untuk melakukan bunuh diri, 25-40 persen tindakan bunuh diri terjadi kurang dari 5 menit sejak keputusan mengakhiri hidup diambil.
Orang yang memiliki keinginan bunuh diri rentan mengalami bias kognitif yang membuat keputusan yang diambil tidak rasional. Bias kognitif ini menurut Brian W Bauer dan Daniel Capron di Perspective on Psychological Science, Januari 2020, salah satu jurnal terbitan APS, membuat orang yang ingin bunuh diri bertindak melawan kepentingan mereka.
Bias kognitif membuat orang yang ingin bunuh diri memiliki prediksi buruk tentang kondisi kesehatan mental mereka di masa depan. Mereka juga lebih menyukai kelegaan atau kesenangan jangka pendek dibandingkan dengan kondisi mental jangka panjang. Pola pikir seperti itu membuat mereka cenderung ingin mengakhiri rasa sakit psikologis yang dideritanya dengan bunuh diri. Padahal, ada kemungkinan perasaan itu akan berubah seiring berjalannya waktu.
Faktor umum yang muncul dalam banyak kasus bunuh diri adalah kurangnya hubungan sosial yang membuat mereka merasa tidak diinginkan atau menjadi beban bagi orang lain. Karena masyarakat modern semakin terputus satu sama lain, wajar jika bunuh diri cenderung meningkat akhir-akhir ini.
Seseorang bunuh diri karena memiliki keinginan untuk mati dan kemampuan membunuh dirinya sendiri. Mengutip teori interpersonal bunuh diri dari ahli bunuh diri Thomas Joiner, keinginan untuk bunuh diri biasanya dikaitkan dengan hadirnya secara simultan rasa memiliki yang digagalkan alias tidak menjadi bagian dari kelompok sosial yang dihargai dan beban yang dirasakan.
Orang yang memiliki keinginan bunuh diri belum tentu akan mati dengan bunuh diri. Bagaimanapun, bunuh diri adalah sesuatu yang menakutkan dan menyakitkan bagi manusia. Belum lagi kekhawatiran pada kondisi orang-orang yang ditinggalkan.
Selain itu, manusia memiliki naluri mempertahankan diri untuk menjaga hidupnya. Karena itu, seseorang yang sampai mengambil tindakan bunuh diri berarti telah mampu mengatasi hambatan normal untuk melukai diri sendiri atau telah menjadikan hambatan tersebut menjadi pembiasaan. Pada kondisi ini, mereka umumnya telah terbiasa dengan rasa sakit dan penderitaan atau kehilangan rasa takut akan kematian.
Tingginya kompleksitas bunuh diri itu membuat stigma tentang pelaku bunuh diri dan keluarganya harus diakhiri. Bunuh diri bukan soal mental yang lemah atau kurang iman karena, nyatanya, ada beberapa faktor risiko ataupun peristiwa kehidupan yang dialami yang membuat seseorang lebih rentan terhadap bunuh diri.
Orang yang ingin bunuh diri mungkin terjebak dalam perasaan yang membuat merasa menjadi beban bagi teman, keluarga, atau orang di sekitarnya. Rasa itu membuat mereka merasa sendirian, tidak memiliki pilihan, hingga akhirnya menganggap mati sebagai satu-satunya pilihan.
Karena itu, dukungan orang terdekat terhadap mereka yang memiliki keinginan bunuh diri sangat diperlukan. Tunjukkan bahwa masih banyak orang yang peduli dan mendukung sehingga mereka akhirnya kembali memiliki harapan atau pilihan lain untuk tetap menjalani hidup.
Stigmatisasi
Upaya pencegahan bunuh diri di Indonesia menghadapi tantangan berbeda dibandingkan dengan di negara-negara maju. Meski pengurangan kasus bunuh diri menjadi salah satu target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Kuatnya stigmatisasi pelaku dan keluarganya membuat masyarakat tertutup untuk membicarakan bunuh diri.
Sandersan Onie dan rekan di The Lancet Regional Health Southeast Asia, 4 Juli 2023, menyebut, keluarga Indonesia bisa melakukan apa pun untuk mencegah pencatatan kasus bunuh diri anggota keluarganya karena malu dan khawatir terhadap stigma masyarakat. Di kalangan profesional kesehatan pun ada aturan tidak tertulis untuk tidak mencatat kasus bunuh diri. Bahkan, rumah sakit pun tidak memiliki mandat untuk melaporkan kasus bunuh diri.
Menyebut bunuh diri umumnya juga menghasilkan reaksi perasaan yang mendalam hingga pembahasan soal bunuh diri sering kali dihindari. Moralisasi bunuh diri berbasis agama yang memandang bunuh diri sebagai hal tercela, bertentangan dengan ajaran agama, dan dosa besar membuat bunuh diri tabu untuk dibicarakan.
Baca Juga: Maraknya Kasus Bunuh Diri dan Risiko Kesepian di Jakarta
Keluarga dan agama juga menjadi faktor kunci terkait bunuh diri di Indonesia. Sebagian orang bunuh diri karena masalah keluarga, tetapi banyak pula orang tidak jadi bunuh diri karena mengingat keluarga. Agama juga bisa menjadi penahan agar seseorang tidak bunuh diri, tetapi agama pula yang mencegah sebagian orang dengan pikiran bunuh diri mencari bantuan ke profesional kesehatan mental.
Onie dan tim mengusulkan perlunya keterlibatan organisasi keagamaan dalam diskusi terbuka kesehatan mental, pencegahan bunuh diri, promosi untuk pencarian bantuan profesional, ataupun destigmatisasi bunuh diri. Upaya pencegahan bunuh diri untuk tenaga kesehatan dan awam juga perlu pendekatan berbasis keluarga dan komunitas.
Oleh karena itu, sesuai tema Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia 2023, yaitu ”Membangun Harapan Melalui Aksi Nyata”, dukungan keluarga, komunitas, masyarakat, dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menghapus stigmatisasi terhadap orang yang bunuh diri dan keluarganya. Kini saatnya mulai bertindak nyata dengan pesan utama bahwa bunuh diri itu bisa dicegah.