DEPOK, KOMPAS – Kekerasan seksual yang terjadi pada siswa SD Negeri Tugu 10, Cimanggis, Depok, Jawa Barat menambah keprihatinan bahwa kekerasan terjadi di tempat yang semestinya aman untuk anak. Para korban terkungkung beragam persoalan mulai dari budaya hingga sistem pendidikan yang belum memungkinkan mereka terbebas dari kekerasan seksual. Pendidikan seksual butuh diberikan baik untuk orang dewasa maupun anak-anak. Orang dewasa butuh bekal untuk menuntun anak menentukan sikap ketika menghadapi kekerasan seksual.
Berdasarkan data Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat, dan Keluarga (DPAPMK) Kota Depok, sejak Januari – April 2018 terjadi 20 kasus kekerasan terhadap anak. Mulai dari kekerasan fisik, seksual, hingga perundungan. Kepala Bidang Tumbuh Kembang dan Pengembangan Kota Layak Anak DPAPMK Kota Depok Yulia Oktavia di Depok, Jumat (8/6/2018), mengatakan, sebagian besar dari kasus-kasus tersebut terjadi di rumah dan di sekolah.
Kekerasan di sekolah kian menjadi-jadi dengan adanya kekerasan seksual pada siswa SD Negeri Tugu 10, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Dalam kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru Bahasa Inggris, Wa (24), itu, 13 anak menjadi korban.
Meski baru mengemuka pada beberapa hari terakhir, kekerasan seksual yang dilakukan Wa sudah berlangsung sejak 2016 dan terus berulang hingga pertengahan 2018. Selama itu pula, tidak ada siswa yang mengadukan kejadian tersebut kepada orangtua maupun pihak sekolah.
Pengajar Magister Bimbingan Konseling Universitas Negeri Jakarta Susi Fitri mengatakan, rumah dan sekolah merupakan dua institusi yang paling berpengaruh pada anak. Oleh karena itu, jika kekerasan seksual terjadi pada keduanya, anak akan mengalami masalah yang amat kompleks untuk mengungkapkannya.
Pelaku merupakan sosok yang memiliki otoritas lebih tinggi dari korban, sehingga ia cenderung menggunakan kekuasaannya untuk memaksa melakukan kekerasan seksual. TM (38), orang tua salah satu korban mengatakan, Wa mengancam jika siswa menolak ajakannya, ia akan memberikan nilai jelek. “Selain itu, Wa juga mengancam akan menghasut teman-teman lain agar mengucilkan anak yang tidak bersedia mengikuti ajakannya melakukan perbuatan tidak senonoh,” kata TM.
Bungkamnya para korban juga disebabkan oleh hambatan budaya, perbincangan mengenai seksualitas baik kepada orangtua maupun guru masih dianggap tabu. Para korban yang merupakan anak laki-laki, semakin sulit untuk menyatakan diri sebagai korban. Laki-laki dilekatkan dengan sikap tegar dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Tantangan kian berat karena korban masih anak-anak. Dalam budaya masyarakat, anak merupakan pihak yang aspirasinya tidak pernah menjadi pertimbangan bagi orang dewasa. “Ditambah lagi di sekolah tidak ada prosedur operasi standar untuk melaporkan kekerasan seksual, jadi anak tidak akan tahu kemana ia bisa memberitahukan hal tersebut di sekolah,” kata Susi.
Padahal, kemudahan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual merupakan salah satu cara untuk menyembuhkan trauma korban setelah menjadi korban. Sebab, pelaporan resmi adalah bentuk pengakuan atas kekerasan seksual sebagai salah satu kejahatan. Pengakuan tersebut membantu korban untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri.
Trauma berlipat
Menurut Susi, beragam hambatan tersebut menyebabkan trauma berlipat bagi anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. Tekanan budaya yang mengharuskan anak laki-laki menjadi sosok yang tegar berakibat pada sikap agresif untuk menyalurkan trauma. Agresivitas itu ditunjukkan dengan memerkosa anak-anak lainnya ketika ia menjadi dewasa.
Hal itu terjadi pada Wa. Dalam keterangannya kepada Kepolisian Resor Kota Depok, ia mengaku pernah menjadi korban kekerasan seksual ketika masih duduk di kelas V SD. Sepanjang usia sekolah, Wa pun kerap mengalami perundungan karena sikapnya yang lembut.
“Untuk anak-anak, saya harap ketika menjadi korban segera sampaikan ke orangtua kalian. Jangan sampai kalian tidak menyampaikan karena malu atau takut, suatu saat kalian akan menjadi pelaku seperti saya,” kata Wa kepada polisi.
Susi mengatakan, transformasi korban menjadi pelaku kekerasan seksual disebabkan oleh perasaan berdaya yang muncul ketika memerkosa. Oleh karena itu, pelaku juga cenderung mencari korban yang memiliki posisi sosial yang lebih rendah dari dia.
“Memerkosa seseorang merupakan cara bagi pelaku untuk mengambil kembali keberdayaannya, kemudian mereka ketagihan atas perasaaan berkuasa tersebut sehingga melakukannya berulang-ulang,” ujar dia.
Untuk menggapainya, beragam cara dilakukan Wa. Mulai dari mengajak siswa menonton film porno, hingga mengirimkan panduan melalui media sosial.
Pendidikan seks
Dalam situasi demikian, menurut Susi, masyarakat terutama orang dewasa dan para guru membutuhkan pendidikan mengenai seksualitas. Orang dewasa perlu lebih dulu memahami kebutuhan pendidikan seks untuk diajarkan kepada anak, mulai dari rumah hingga di sekolah.
“Harus ada langkah untuk mendidik orang dewasa dan guru-guru mengenai pendidikan seksual,” kata Susi. Untuk guru, menurut dia muatan ini bisa disisipkan di dalam kurikulum pendidikan di perguruan tinggi penghasil tenaga kependidikan.
Orangtua dan guru yang mampu memahami seksualitas sebagai hal yang tidak tabu, diharapkan mampu membangun komunikasi dengan anak. Mereka dapat memenuhi keingintahuan anak mengenai seksualitas sesuai porsi usia. Sehingga, diharapkan anak tidak perlu mencari sumber pengetahuan mengenai seksualitas dari sumber-sumber yang justru membawa kepada pornografi.
Pendidikan seksual bisa dimulai dengan pemahaman mengenai hubungan di dalam keluarga. Anak perlu diajarkan perbedaan hubungan antara ayah dan ibu dengan hubungan antara kakak dan adik. Setelah itu, nilai-nilai yang ingin dibangun dalam sebuah hubungan harus ditentukan.
“Salah satunya nilai saling menghormati atau respect terhadap pasangan. Jika anak belajar konsep menghormati pasangan, maka ia akan menolak hubungan seksual yang dilakukan dengan cara melanggar kehormatan tersebut,” ujar Susi.
Selain itu, anak juga perlu diberikan pemahaman bahwa mereka memiliki otonomi atas tubuh mereka.
Selain itu, anak juga perlu diberikan pemahaman bahwa mereka memiliki otonomi atas tubuh mereka. Secara perlahan, anak dibimbing untuk menentukan bagian tubuh mana saja yang dia perbolehkan untuk disentuh orang lain. Izin untuk menyentuh tubuh harus ditentukan sendiri oleh anak, bukan berdasarkan hubungan kekerabatan.