"Taring" UU Konservasi Tak Tajam
Pembahasan revisi UU Nomor 5/1990 harus dilanjutkan. Masih maraknya perburuan satwa yang dilindungi diduga akibat ketiadaan efek jera dari UU itu.
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan populasi satwa payung serta berulangnya kejadian perburuan seharusnya menyadarkan Presiden akan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang yang telah berusia 28 tahun ini telah ketinggalan zaman sehingga tak menjamin perlindungan biodiversitas spesies, termasuk genetika dan habitatnya.
Presiden diminta agar meninjau ulang keputusan rapat terbatas kabinet yang menghasilkan keputusan pemerintah tak melanjutkan pembahasan inisiatif DPR untuk merevisi UU 5/1990. "Presiden perlu mendapatkan masukan dari pihak yang berkecimpung langsung dengan konservasi di lapangan," kata Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Selasa (12/6/2018), di Jakarta.
Ia mengatakan, kematian gajah Bunta di areal Conservation Response Unit di Aceh yang diduga kuat akibat perburuan, membuktikan pelaku nekat. Ini juga menunjukkan penegakan hukum terkesan belum menimbulkan efek jera meski saat ini penanganannya telah membaik.
Kematian Bunta dengan kondisi satu gading hilang menunjukkan kelemahan kemampuan institusi aparat konservasi untuk mendeteksi dini. "Melalui revisi mari kita perkuat kapasitas aparat penegakan hukum baik di kehutanan maupun sektor lain," kata Henri.
Selain itu, UU 5/1990 tak mengenal kejahatan korporasi. Pernyataan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengutip penelusuran Pusat Penelusuran dan Analisa Transaksi Keuangan, menyebutkan kejahatan satwa liar mencapai lebih dari Rp 13 triliun per tahun dan nilainya terus meningkat. Ini di urutan ketiga setelah kejahatan narkoba dan perdagangan manusia.
"Kejahatan TSL (Tumbuhan Satwa Liar) tak bisa lagi didekati dengan UU yang dibuat 28 tahun lalu yang belum mengenal kejahatan korporasi," kata Henri yang juga anggota Kelompok Kerja Konservasi.
Ia mengakui saat ini penegakan hukum atas kejahatan terhadap satwa liar semakin membaik. Ini terbukti dari putusan pengadilan yang telah mengganjar pelaku dengan penjara 1-3 tahun.
Namun pegiat konservasi belum puas karena diduga kuat, hukuman ini baru menyentuh pelaku lapangan. Pemodal maupun penadah sulit tersentuh. Dari sisi denda pidana senilai maksimal Rp 50 juta - Rp 100 juta pada UU 5/1990 untuk pelaku pembunuhan satwa liar, tak lagi tinggi pada konteks saat ini.
Penegakan hukum atas kejahatan terhadap satwa liar semakin membaik. Namun hukuman yang dijatuhkan baru menyentuh pelaku lapangan. Pemodal maupun penadah sulit tersentuh.
Kerugian negara
Selain itu, Henri pun mencatat UU 5/1990 belum menyentuh kerugian negara yang diakibatkan dari kejahatan TSL. Ia mencontohkan satwa liar hidup hasil rampasan yang harus dikarantina sebelum dilepasliarkan.
Kondisi saat ini, pusat penyelamatan satwa semakin penuh dengan biaya minim. Pembiayaan dari anggaran negara seperti ini didorong agar menjadi tanggungan pelaku atau dibuka tuntutan perdata yang saat ini tidak terdapat pada UU 5/1990.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan UU 5/1990 sudah cukup tegas apabila dijalankan dengan konsisten. "Pengadilan sudah mulai keras terhadap kejahatan ini. Undang-undang kan yang penting dijalankan dan ini yang sedang kami lakukan," kata dia.
Selama tiga tahun terakhir 187 kasus terkait TSL ditangani KLHK dengan menyita 12.966 satwa dan 10.233 bagian satwa sebagai barang bukti. Ia mengatakan saat ini KLHK dan Kejaksaan Agung telah memiliki persamaan komitmen untuk menerapkan hukum seberat-beratnya bagi pelaku.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan KLHK Indra Eksploitasia mengakui belum adanya efek jera merupakan salah satu penyebab perburuan, di samping konflik satwa dan manusia yang berebut ruang hidup. "Tapi KLHK tidak bisa sendiri, semua pihak terutama pemda harus mendukung," kata dia.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan KLHK Indra Eksploitasia mengakui belum adanya efek jera merupakan salah satu penyebab perburuan, di samping konflik satwa dan manusia yang berebut ruang hidup.
Rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo memutuskan tak melanjutkan pembahasan revisi UU 5/1990 karena dinilai belum perlu (Kompas, 5 April 2018). Strateginya, pemerintah akan menggunakan aturan lebih teknis agar UU ini bisa menyasar banyak hal.
Pemerintah pun akan mengerjakan pekerjaan rumah penyusunan peraturan pemerintah sebagai turunan UU 5/1990. Peraturan pemerintah tersebut antara lain PP Kawasan Ekosistem Esensial, PP Cagar Biosfer, dan PP Sistem Penyangga Kehidupan.
Genetika
Henri berharap kembali bahwa Presiden meninjau ulang hasil rapat terbatas ini. Ia mengingatkan pidato Presiden Joko Widodo terkait sengat kalajengking beracun saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, 30 April 2018.
Saat itu, dalam konteks memberi gambaran nilai komoditas, Presiden menyatakan nilai racun dari sengat kalajengking ini sangat tinggi, per liter racun Rp 145 miliar. "Presiden bicara soal racun kalajengking itu kan sebenarnya bicara soal genetika," kata Henri.
Saat ini, Indonesia baru meratifikasi Protokol Nagoya melalui UU Nomor 11 Tahun 2013. Namun protokol yang mengatur perlindungan pemanfaatan genetika dan kearifan masyarakat itu belum diatur implementasinya.
Semula pemerintah merancang UU Pengelolaan Sumber Daya Genetika. Kemudian, strategi diubah dengan rencana menyatukannya dengan UU 5/1990 yang akan direvisi. Namun kini malah pemerintah menghentikan pembahasan revisi UU yang dinisiasi DPR itu.