Pulang Kampung demi Merasakan Indonesia
Riuh rendah Jakarta akibat efek politik identitas terkadang menggoyah akal sehat dan nurani. Mudik jadi momentum bagi mereka untuk memboyong keluarga ke kampung halaman sejenak demi menepi dari kebisingan. Pulang kampung juga seakan memperbarui semangat keindonesiaan yang mungkin telah terpapar virus kebencian.
Rika dan Tika, dua putri Asman (40), melompat kegirangan saat KM Nggapulu memasuki Selat Naira, Sabtu (9/6/2018).
Banda Naira yang dikisahkan Asman kini menyata di depan mata, menanti kedua gadis cilik itu menapakkan kaki. Inilah kesempatan pertama mereka ke tanah kelahiran sang ayah untuk merayakan Idul Fitri 1439 H bersama opa, oma, dan keluarga.
Perjalanan jauh dan melelahkan dari Jakarta terbayarkan sudah. Bayangkan, mereka terbang sejauh lebih kurang 2.000 kilometer (km) dari Jakarta ke Ambon selama 3 jam 20 menit, kemudian berlayar naik kapal dari Ambon ke Banda Naira sejauh 244 km selama 7 jam. Itu belum terhitung lamanya waktu menunggu di bandara dan pelabuhan.
Belum lagi merasakan pengap dan panasnya ruang tunggu Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon, hingga tingkah buruh yang menjengkelkan. Dalam ruang tunggu yang sempit itu, banyak buruh kadang tak toleran dengan penumpang.
Sambil membawa barang, mereka menabrak dan menyeret penumpang tanpa ada kata permisi, apalagi maaf. Tali tas milik Tika putus akibat ulah seorang buruh saat desak-desakan itu.
Tak berhenti di situ, buruh di Pelabuhan Ambon bahkan masuk dan menguasai beberapa tempat tidur di atas kapal. Mereka sepertinya tak takut dengan petugas kapal dan tiga anggota Marinir yang diperbantukan di kapal.
Seorang buruh bahkan menawarkan kepada Kompas satu tempat tidur seharga Rp 100.000. Asman pun ditawari meski dia menolaknya.
Tak mendapat tempat tidur, Asman dan dua putrinya menghabiskan waktu di kafetaria sambil menyantap sahur dan berdiri di lorong bagian luar untuk menikmati udara sejuk.
Rika dan Tika sempat mual saat kapal oleng digoyang gelombang. Maklum, mereka baru pertama kali naik kapal laut. Ibu dan kakak yang sulung tak mudik lantaran ada urusan yang tak bisa ditinggalkan.
Gerimis yang turun saat KM Nggapulu sandar di Pelabuhan Banda Naira seperti mengucapkan selamat datang bagi keluarga kecil dari Jakarta itu dan sekitar 1.000 pemudik lain. Banda merupakan salah satu daerah mudik di Maluku. Mudik kali ini sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya yang masih menggunakan kapal barang. Kali ini bahkan ada 700 pemudik gratis.
Ada yang setiap tahun mudik, sedangkan Asman baru kembali ke kampung setelah 15 tahun merantau dan kini bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Ia sudah mempunyai rumah di kawasan Slipi, Jakarta. Lantas, apa alasan ia mudik dengan memboyong dua putrinya ke Banda Naira?
”Saya ingin perkenalkan mereka ke keluarga. Meski mereka lahir dan besar di kota, jangan sampai mereka tidak tahu kampung halaman dan tidak tahu adat di kampung. Banyak hal di kampung yang tidak ada di kota, terutama hidup bersaudara,” tuturnya.
Asman lantas mengungkapkan kecemasannya terhadap kondisi sosial di Jakarta yang timbul akibat efek politik identitas dan semakin menguatnya kelompok radikal. Lewat pergaulan di sekolah, lingkungan, dan media sosial, anak-anak dapat terpapar pengaruh itu. Dengan mengajak Rika dan Tika ke kampung, Asman dapat menunjukkan betapa indahnya budaya hidup orang basudara.
Setelah Lebaran, Asman berencana mengajak kedua putrinya mengunjungi anggota keluarga mereka di Ambon yang berbeda keyakinan. ”Untung, budaya di kampung-kampung kita masih kuat. Di kampung-kampung, nuansa keberagaman dan keindonesiaan masih kuat,” ujarnya. Ia berencana akan sering mengajak anaknya ke kampung kala liburan atau hari raya.
Keinginan berkumpul bersama keluarga juga diungkapkan Ahmad Renwarin, pemudik dengan tujuan Kota Tual yang juga menggunakan KM Nggapulu. Seperti Asman, Ahmad juga merantau di Jakarta. Perjalanan Ahmad lebih jauh. Dari Banda, ia masih harus berlayar lagi sejauh 364,8 km ke arah tenggara dengan waktu tempuh sekitar 12 jam.
Ia rindu dengan suasana Lebaran di kampung halamannya setelah lima tahun terakhir berlebaran di Jakarta. Ahmad belum menikah. ”Lebaran di kampung sangat indah. Basudara yang beragama Kristen biasanya datang ke rumah. Mereka bawa kue dan kami sama-sama merayakan,” ucapnya.
Untuk bisa mudik, Ahmad yang bekerja di perusahaan jasa pengiriman barang itu menyisihkan sebagian dari gajinya selama satu tahun terakhir. Uang itu dipakai untuk ongkos perjalanan dan juga membeli kebutuhan Lebaran keluarga. Ia akan kembali lagi ke Jakarta.
Mudik dari Ambon menggunakan kapal dengan alasan harga terjangkau. Tiket dari Ambon-Tual, misalnya, Rp 237.000 per penumpang. Tarif itu jauh lebih murah jika dibandingkan dengan pesawat yang mencapai Rp 1,7 juta per penumpang.
Merayakan di kapal
Momentum Lebaran kadang dilewatkan tanpa keluarga, seperti pengalaman sejumlah anak buah KM Nggapulu. Hampir pasti, mereka akan merayakan Lebaran di atas kapal yang terus berlayar selama Lebaran. Nakhoda kapal, kepala kamar mesin, dan mualim I tidak diizinkan cuti ketika musim arus mudik.
”Biasanya kami bikin makan di atas kapal. Semua merayakan,” kata Robert Yan Makalew, nakhoda KM Nggapulu, saat kapal berlayar dari Banda menuju Tual.
Untuk melayani pemudik, kapal tersebut mengubah rute dan jadwal. Dalam satu minggu, kapal melayani rute Ambon-Banda-Tual hingga sejumlah daerah di Papua Barat sebanyak dua kali, padahal biasanya sekali dalam 14 hari. Ketika lepas tali di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon, pada Jumat (8/6/2018) dini hari, kapal mengangkut 2.134 penumpang.
Sebanyak 103 kru kapal siaga pada divisi masing-masing dengan waktu kerja diganti setiap empat jam. Tantangan terberat di atas kapal adalah memberikan pemahaman kepada penumpang untuk mematuhi standar keselamatan. Kendati sudah ditegur, ada saja yang duduk di pagar kapal.
KM Nggapulu yang ditumpangi Kompas memang mengangkut banyak pemudik. Sebagian penumpang akhirnya tak dapat tertampung di dalam kapal. Sebagian pemudik yang membawa anak kecil tidur di bagian luar kapal beralaskan tikar seadanya.
Meski fasilitas terbatas, mereka tampak sangat menikmati perjalanan itu. Perjalanan pulang sebagai jawaban atas kerinduan akan kampung halaman.
Beberapa anak kemudian meramaikan perjalanan dengan bernyanyi diiringi gitar. Semalam suntuk, mereka tak tidur. Serasa separuh jiwa mereka telah tiba lebih dulu di kampung.
Berlebaran di kampung halaman memang tak tergantikan. Seperti Asman dan Ahmad, mudik ikut memompa kembali semangat keindonesiaan.