Setelah Suku Bunga Acuan di AS Naik Jadi 2 Persen
WASHINGTON DC, KAMIS — Suku bunga acuan di Amerika Serikat naik dari 1,75 persen ke 2 persen. The Federal Reserve (The Fed), Bank Sentral AS, mengumumkannya pada Kamis (14/6/2018) dini hari WIB.
Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) sebagai forum pengambil keputusan tertinggi Bank Sentral AS menggelar rapat di Washington DC, AS, pada 12-13 Juni waktu setempat. Rapat digelar di Gedung Eccles, gedung utama yang menjadi tempat Dewan Gubernur Bank Sentral AS berkantor.
Rabu (13/6/2018) pukul 14.00 waktu setempat atau Kamis pukul 01.00 WIB, The Fed mengumumkan hasil rapat itu. Keputusannya, suku bunga acuan di AS naik dari 1,75 persen ke 2 persen.
Pertimbangannya, perekonomian AS membaik. Salah satu indikatornya adalah angka pengangguran turun dalam beberapa bulan terakhir.
Baca juga: BI Dinilai Sudah Antisipasi Kenaikan Suku Bunga The Fed
Sejak Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuan dari 1,50 persen ke 1,75 persen pada Maret 2018, angka pengangguran di AS turun 0,3 persen. Adapun penciptaan lapangan kerja selama periode itu mencapai 537.000 tenaga kerja.
Kenaikan suku bunga acuan di AS akan meningkatkan suku bunga berbagai instrumen keuangan di negeri itu dalam beberapa pekan ke depan, misalnya surat utang negara, obligasi swasta, deposito, dan bunga kredit konsumsi.
Kondisi ini menjadi magnet yang makin potensial menarik dana-dana panas di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Dana-dana panas itu selama ini ditanamkan antara lain di Surat Berharga Negara (SBN) dan pasar modal. Jika banyak dana panas keluar dari instrumen keuangan dalam negeri, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan tertekan.
Hal inilah yang terjadi seusai The Fed menaikkan suku bunga acuan di AS per Maret 2018, dari 1,50 persen ke 1,75 persen. Ini dialami hampir semua negara, termasuk Indonesia, terutama pada Mei.
Mengacu data Bloomberg, terjadi penjualan bersih SBN senilai 521 juta dollar AS oleh investor asing selama 1 Januari-30 Mei tahun ini. Pada periode yang sama, penjualan saham di pasar modal mencapai 2,87 miliar dollar AS.
Adapun rupiah terdepresiasi 3,02 persen dari posisi akhir Desember 2017. Per 30 Mei 2018, rupiah melemah di level Rp 14.200 per dollar AS.
BI mestabilisasinya dengan cara menaikkan suku bunga acuan dua kali dalam bulan Mei saja. Dari posisi sebelumnya 4,25 persen, suku bunga acuan dinaikkan ke 4,50 persen per 18 Mei dan ke 4,75 persen per 30 Mei.
Baca juga: Kenaikan Suku Bunga The Fed Akan Bebani Investor
Dalam periode itu, BI juga telah merogoh devisa negara untuk operasi pasar. Berdasarkan data BI, cadangan devisa turun dari 124 miliar dollar AS per akhir April ke 122,9 miliar dollar AS per akhir Mei.
Penurunan cadangan devisa tersebut terutama untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah.
Alhasil, kondisi keuangan yang sempat bergejolak berangsur-angsur stabil. Namun, setelah The Fed pada Kamis dini hari tadi memutuskan untuk kembali menaikkan suku bunga acuan di AS ke 2 persen, gejolak di sektor keuangan global dan domestik sebagaimana terjadi selama Mei 2018 bisa saja terjadi lagi.
Kurs dollar AS terhadap sejumlah mata uang lain pada pagi ini sudah mulai menguat. Mengacu data Bank Indonesia (BI), nilai tukar tengah dollar AS terhadap rupiah, misalnya, adalah Rp 13.902. Di spot dunia, nilainya Rp 13.943.
Baca juga: Suku Bunga The Fed Naik, Pasar Saham Menguat
Pilihan BI dalam jangka pendek hanya dua, membiarkan rupiah melemah pada batas tertentu atau menaikkan suku bunga acuan pada level tertentu. Merogoh cadangan devisa pada batas tertentu menjadi bagian integral dari kedua pilihan tersebut.
Pertanyaannya, apakah BI akan menaikkan suku bunga acuan di dalam negeri lagi atau membiarkan rupiah melemah pada batas tertentu seraya merogoh cadangan devisa untuk operasi pasar?
Tentu itu semua akan diputuskan oleh Rapat Dewan Gubernur BI pada saatnya nanti. Namun, hal yang pasti, BI tentu pertama-tama akan melihat reaksi pasar keuangan global dan domestik secara cermat dan hati-hati.
Untuk pasar keuangan domestik seperti pasar modal dan perdagangan SBN di pasar sekunder, reaksinya baru akan tampak pekan depan. Sebab, cuti bersama yang diselenggarakan pemerintah berlangsung 11-20 Juni.
Pasar modal baru akan kembali menggelar perdagangan mulai 20 Juni. Sementara perdagangan SBN di pasar sekunder baru akan aktif mulai 21 Juni. Perdagangan SBN domestik sebenarnya tidak harus mulai 21 Juni. Namun, karena setelmen dilakukan BI, pelaku pasar juga akan menyesuaikan dengan jadwal cuti bersama tersebut.
Gubernur BI Perry Warjiyo berkali-kali menegaskan, BI akan menempatkan stabilitas keuangan sebagai prioritas kebijakan moneter jangka pendek. Adapun pendekatannya adalah antisipatif.
”We want to be ahead the curve untuk mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah,” kata Perry pada konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan di Jakarta, 28 Mei.
BI akan menempatkan stabilitas keuangan sebagai prioritas kebijakan moneter jangka pendek.
Ada sebagian anggapan bahwa kebijakan menaikkan suku bunga acuan dari 4,50 persen ke 4,75 persen per 30 Mei merupakan bentuk kebijakan BI yang mendahului kurva. Artinya, kebijakan itu adalah antisipasi terhadap keputusan pertemuan FOMC pada 13 Juni.
Namun, ada pula yang menganggap kenaikan suku bunga acuan ke 4,75 persen itu merupakan koreksi atas penyesuaian suku bunga acuan yang waktunya terlambat dan kadarnya di bawah ekspektasi pasar. Pelaku pasar keuangan memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan pada April menyusul kenaikan suku bunga di AS pada Maret.
Baca juga: Kinerja Pasar Finansial RI Diperkirakan Positif
Namun, BI memutuskan menaikkan suku bunga acuan dari 4,25 persen ke 4,50 persen pada 18 Mei. Meski suku bunga acuan telah dinaikkan, rupiah terus saja terdepresiasi hingga mencapai Rp 14.200 per dollar AS pada 30 Mei. Maka, per 30 Mei atau tak sampai dua minggu setelah kenaikan pertama, BI menaikkan lagi suku bunga acuan menjadi 4,75 persen.
Sejak saat itu, rupiah berangsur-angsur menguat dibandingkan posisi per 30 Mei. Namun, beberapa hari menjelang rapat FOMC, rupiah kembali melemah hingga ke kisaran Rp 13.900-an per dollar AS. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang tahun diasumsikan Rp 13.400 per dollar AS.
Tidak perlu panik, kata seorang ekonom. BI tentu akan melihat dan mempelajari respons pasar terlebih dahulu. Dan, pada saatnya, BI akan mengambil kebijakan untuk stabilitas keuangan.
Berdasarkan jadwal, Rapat Dewan Gubernur BI baru akan digelar 27-28 Juni. Artinya, BI memiliki jeda 7-8 hari kerja setelah pengumuman Bank Sentral AS untuk menegaskan kebijakan moneternya agar sektor keuangan stabil.