Sepak bola adalah bahasa universal yang menembus batas-batas negara, agama, dan budaya. Karena itu, sepak bola bisa menjadi sarana untuk mempromosikan toleransi, kedamaian, dan saling pengertian. Play Soccer Make Peace! Begitulah semboyan yang pernah dicanangkan World Association of Non-Governmental Organizations.
Contohnya memang ada. Pada Perang Dunia I, tahun 1914, Paus Benediktus XV menyerukan diadakan gencatan senjata di antara pihak yang bertikai. Seruan itu semula tidak digubris. Namun, kemudian, atas inisiatif sendiri, tentara Jerman dan Inggris mengadakan gencatan senjata di Belgia. Dan, sebagai tanda perdamaian sementara itu, mereka mengadakan pertandingan sepak bola persahabatan.
Tak jelas bagaimana bisa terjadi ide gencatan senjata dan bermain bola itu. Kejadian itu seperti sebuah peristiwa perdamaian yang muncul secara magis di tengah peperangan. Namun, dari dokumentasi yang tersedia, ahli-ahli sejarah membuktikan, peristiwa itu memang terjadi. Saat itu sungguh istimewa.
Serdadu Jerman mengucapkan dalam bahasa Inggris yang terbata-bata, ”Merry Christmas. You no shoot, we no shoot.” Mereka saling tukar hadiah, rokok, topi, dan makanan. Mereka juga sempat merukti (merawat) rekan-rekan serdadu yang gugur dan belum dikuburkan. Kabarnya, dalam pertandingan sepak bola itu, serdadu Inggris berhasil mengalahkan Jerman.
Hal yang sama terjadi di Nigeria. Tahun 1969, Pele dan klub Santos mengunjungi Nigeria yang dilanda perang saudara. Kelompok Biafra hendak memisahkan diri dari pemerintah dan mendirikan negara sendiri. Konflik ini dipicu ketegangan politik, ekonomi, dan etnis, yang muncul setelah Inggris melepas Nigeria sebagai koloninya. Pihak yang bertikai sepakat berhenti berperang karena kedatangan Pele dan sepak bolanya.
Kali ini, Presiden FIFA Gianni Infantino juga menyerukan agar Piala Dunia 2018 di Rusia bisa menjadi wahana tempat warga dunia boleh merasakan persatuan dan kedamaian. Setiap negara peserta hendaklah mengutamakan bola di atas segala prasangka politik yang menyebabkan perpecahan. Pernyataan Infantino ini sedikit banyak berkaitan dengan sikap negara Eropa yang tidak mufakat dengan kondisi politik tuan rumah di bawah pemerintahan Presiden Vladimir Putin.
Piala Dunia 2018 di Rusia bisa menjadi wahana warga dunia merasakan persatuan dan kedamaian
Rusia di bawah Putin memang banyak dicela. Putin dianggap otak yang bertanggung jawab di balik intervensi Rusia dalam perang saudara di Suriah, yang memakan demikian banyak korban. Di negeri sendiri, ia juga dituduh menjalankan pemerintahan otoriter yang melanggar hak-hak asasi manusia.
Maka, lembaga Human Rights Watch menyerukan agar diadakan pemboikotan politik pada malam pembukaan Piala Dunia 2018 nanti. Untuk menunjukkan penolakan terhadap intervensi Rusia dalam Perang Suriah, para politikus dan pemimpin dunia yang hadir hendaknya tidak duduk di samping Presiden Putin di tribune kehormatan.
Menurut sejumlah pengamat, Putin pasti akan menggunakan kesempatan Piala Dunia 2018 ini untuk memperbaiki reputasi dirinya. Ia akan menunjukkan bahwa Rusia bisa menjadi penyelenggara Piala Dunia yang sukses dan lancar. Semboyannya, ”Tidak ada hal yang tidak dapat kita lakukan”, juga diberlakukan untuk penyelenggaraan Piala Dunia 2018 ini.
Kesempatan yang diberikan oleh sepak bola ini juga akan digunakan untuk kepentingan politik. Apa yang gagal dirundingkan di meja politik akan dicobanya lagi di tribune stadion bola, saat ia duduk berdampingan dengan pemimpin dunia. ”Di mata Putin, Piala Dunia ini adalah semacam ’tiket balik’ untuk kembali ke meja perundingan setelah demikian lama ia makin diasingkan dari politik dunia,” kata sastrawan Rusia, Vladimir Kaminer.
Kaminer sangat kritis terhadap Putin. Namun, menurut dia, janganlah semua orang Rusia disamakan seperti Putin. ”Piala Dunia adalah kesempatan untuk meninggalkan generalisasi itu. Lewat Piala Dunia ini, warga dunia bisa melihat bahwa Rusia adalah negara dengan warga negara yang normal, senormal warga negara lainnya, juga bila Rusia sedang mempunyai problem dengan pemimpin politisnya,” kata Kaminer.
Menurut Kaminer, ada kebijaksanaan di Rusia yang berkata, ”Sepak bola itu untuk kaum lelaki, bunga untuk kaum perempuan, dan es krim untuk anak-anak.” Warga Rusia, lebih-lebih kaum lelaki, senang karena sedang diberi sepak bola. Namun, Putin sendiri kiranya sangat sadar bahwa kali ini ia tidak dapat memberikan sepak bola yang terbaik bagi warganya. Maklum, dalam Piala Dunia 2018 ini kesebelasan Rusia adalah skuad yang semenjana dan sama sekali tidak diperhitungkan bakal bisa bersaing dengan kesebelasan lainnya.
Sepak bola itu untuk kaum lelaki, bunga untuk kaum perempuan, dan es krim untuk anak-anak
Sebagai tuan rumah, Rusia otomatis lolos ke Piala Dunia. Tak ada pengalaman bertanding yang mematangkan mereka. Dikhawatirkan, mereka tersingkir di babak penyisihan nanti. Mereka sedang berusaha meremajakan kesebelasannya. Namun, pemain muda mereka belum menampakkan permainan berkelas. Mereka diuntungkan sebagai tuan rumah dan dukungan suporter tak usah diragukan. Kalau mereka lolos, juga karena mereka bermain di grup yang tak dijagokan: Uruguay, Mesir, dan Arab Saudi. ”Kesebelasan Rusia akan menang jika Putin ikut bermain di lapangan,” seloroh Kaminer. Sayang, bola bukan politik. Tak mungkin pada Piala Dunia ini Putin bisa agresif bermain seperti dalam politik. Karena itu, bola akan membatalkan kata-katanya, ”Tak ada yang tidak dapat kami lakukan”.
Bola akan membenturkannya pada kenyataan bahwa tak semua hal bisa ia lakukan. Namun, kata sebagian pengamat, tak apalah kesebelasan Rusia gagal, asal karena Piala Dunia ini Putin bisa sadar perlunya melepaskan tokoh oposisi dari penjara sehingga rakyat makin bahagia dan bebas dalam berdemokrasi.