Luka Modric, Pengungsi Perang yang Menjadi "Panglima" Kroasia
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
Sebuah kamp semipermanen yang bekas terbakar di masa lalu itu tersembunyi di lipatan Gunung Velebit, pedalaman Kroasia yang sunyi. Pondok kecil yang sudah ditinggalkan itu berada dekat pertambangan wilayah pedesaan Zaton Obravaki.
Di lingkungan yang diwarnai desing peluru Perang Kroasia 1991-1995 itu muncul seorang anak lelaki yang saat ini menjelma menjadi idola negeri, Luka Modric. Modric lahir pada 1985 ketika negerinya masih menjadi bagian dari Federasi Yugoslavia.
Ketika meletus Perang Kroasia, keluarga Modric juga terkena dampaknya. Sang kakek dibunuh oleh serdadu pemberontak Serbia. Kamp tempat tinggal mereka dibakar sehingga Modric dan keluarga terpaksa melarikan diri ke kota pesisir Zadar, 40 kilometer dari kampung kelahirannya.
Sebelum mengungsi, si bocah sudah akrab dengan bola. Ketika perang meletus, bukan peluru atau mesin tempur yang ia minati, melainkan bola. Yang ada di pikirannya hanya sepak bola. Bahkan, di kamp pengungsian, hanya satu permainan yang disukai anak itu: Sepak bola.
“Saya mendengar tentang seorang bocah hiperaktif terus bermain dengan bola di koridor kamp pengungsi. Dia bahkan tidur dengan bolanya,” kata Josip Bajlo, pelatih NK Zadar yang kemudian menemukan dan memoles "permata" Kroasia itu.
“Sering kali ketika kami berlatih harus segera mencari perlindungan ketika pertempuran pecah,” ujar Marijan Buljat, teman masa kecil Modric.
Namun, Modric terus tumbuh dengan sepak bolanya. Dari Zadar, Modric dilirik oleh klub besar Dinamo Zagreb. Klub ini sempat meminjamkan Modric ke Zrinjski Mostar (Bosnia-Herzegovina) dan Inter Zapresic (Kroasia). Namun, loncatan kariernya terjadi ketika klub Liga Inggris Tottenham Hotspur meminangnya dari Dinamo dengan transfer 21 juta euro pada 2008.
Empat musim kemudian, Modric dipinang raksasa Liga Spanyol Real Madrid senilai 30 juta euro. Di klub ibu kota Spanyol itulah namanya mendunia sebagai salah satu gelandang terbaik.
Pada Sabtu (16/6/2018), atau Minggu dini hari WIB, di Stadion Kaliningrad, Kaliningrad, Rusia, si bocah pengungsi yang telah berusia 32 tahun itu memimpin teman-temannya di laga penyisihan Grup D Piala Dunia 2018 kontra Nigeria. Ia menjadi "Panglima" bagi para pemain Kroasia.
Modric pun turut menyumbang gol untuk kemenangan 2-0 atas skuad "Elang Super" melalui tendangan penalti pada menit ke-71. Gol lainnya tercipta dari bunuh diri gelandang Nigeria, Oghenekaro Etebo, pada menit ke-32.
Etebo sesungguhnya mencoba memblok sundulan penyerang Mario Mandzukic. Namun, bola mengenai kakinya dan memantul masuk ke gawang Nigeria. Sumbangan satu gol dan perannya sebagai gelandang kreatif sudah cukup membuat fans memilihnya sebagai pemain terbaik laga itu melalui situs FIFA.
“Bagi Zadar, Luka adalah dewa sepak bola,” kata Slavko Strkalj, pensiunan buruh tambang dan penggemar sepak bola. Zadar kini tenggelam di divisi ketiga Liga Kroasia sementara Modric terus berkibar, terutama bersama Real Madrid yang telah memberinya empat gelar Liga Champions dan tiga gelar Piala Dunia Antarklub.
Pelatih Kroasia Zlatko Dalic mengatakan, Modric adalah sosok yang dibutuhkan oleh Kroasia untuk "berperang" di Piala Eropa dan Piala Dunia. Kepemimpinannya yang teguh, kokoh, dan bermental baja adalah karakter Modric yang diyakini juga imbas dari kehidupan kerasnya semasa perang.
Modric adalah sosok yang pas saat ini untuk membawa Kroasia menyamai prestasi pada Piala Dunia 1998 di Perancis sebagai urutan ketiga atau lebih tinggi lagi. (AFP)