Ketupat dan opor ayam seolah menjadi menu hidangan wajib saat merayakan Idul Fitri. Sajian serupa juga ternyata juga mampu dinikmati sejumlah diaspora atau anak-anak Indonesia yang merantau jauh ke negeri orang, salah satunya Rusia.
Di sela-sela tugas meliput Piala Dunia Rusia, kami beruntung tetap bisa mencicipi gurihnya kuah opor ayam dan legitnya lontong yang langka ditemui di negeri eks Uni Soviet ini. Pengalaman ini bermula dari undangan Duta Besar RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus M Wahid Supriyadi yang disebarkan lewat grup Whatsapp “Permira (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Rusia) for World Cup 2018”, Rabu (13/6/2018) lalu.
Wahid memang sengaja mengundang seluruh warga Indonesia yang berada di Rusia, tidak terkecuali para jurnalis peliput Piala Dunia dan para mahasiswa anggota Permira yang tergabung di grup itu. Karena kerinduan sangat akan makanan khas Indonesia, kami pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini sekaligus bersilaturahmi dengan para diaspora Indonesia.
“Silakan langsung disantap. Maaf jika makannnya seadanya. Ini sudah hampir habis karena dari tadi pagi cukup banyak yang datang,” ujar Wahid, yang mengenakan baju batik, mempersilakan kami langsung menyantap makanan saat menginjakkan kaki di Wisma KBRI di Moskwa.
Meskipun sudah sarapan saat berangkat dari apartemen tempat menginap, perut kami bergejolak seolah tidak kuasa menolak harumnya aroma opor ayam yang tersaji di hadapan kami. Nasi putih, lontong, orek kentang, dan es buah kian melengkapi hidangan Lebaran di wisma KBRI Kamis (14/6/2018) siang itu. Kami pun sejenak lupa berada di Moskwa, kota yang terpisah jarak 9.304 kilometer dari Jakarta, ibukota Indonesia.
Tanpa malu-malu, seolah berada di rumah kerabat jauh, kami langsung menyantap hidangan itu. “Wah, lezat sekali rasanya. Kuah opornya menyatu dengan manisnya orek kentang. Aku serasa berada di rumah,” ungkap Herka Yanis, fotografer Tabloid Bola, saat mencicipi hidangan yang disajikan.
Hari itu, gurihnya opor ayam dan sambutan hangat Wahid dan jajarannya mengobati kerinduannya akan kedua orang tuanya dan kampung halamannya di Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tuntutan profesi sebagai jurnalis memaksanya merayakan Lebaran di negeri orang, yaitu Rusia—negara yang terkenal dengan cuaca dingin yang menusuk, bahkan saat di musim panas seperti ini.
Saat bayang-bayang akan keluarga dan Tanah Air mulai merasupi benak pikiran kami, seorang mahasiswa Indonesia tiba-tiba mengeluarkan kantung plastik dari tasnya. Tanpa malu-malu atau disuruh, ia memasukkan opor ayam berikut lontong ke dalam kantung plastik yang telah disiapkannya sebagai bekal di mess. “Di sini, anak-anak mahasiswa biasa seperti itu (membawa pulang makanan). Saya juga punya anak yang kuliah di luar. Untuk itu, saya sangat memahami perasaan mereka,” ujar Wahid seraya tersenyum.
Suasana akrab dan kekeluargaan memang nampak terlihat di KBRI di Moskwa itu. Tidak peduli statusnya sebagai mahasiswa, ibu rumah tangga, pekerja salon, jurnalis, ataupun diplomat, para diaspora ini saling menegur sapa, bercengkerama, dan menikmati kehangatan opor ayam. Tidak seperti di negara Eropa lainnya, jumlah diaspora di Rusia dan Belarus tidak terlalu banyak, yaitu hanya sekitar 1.200 orang.
Meskipun sedikit, kekerabatan dan solidaritas mereka sangatlah tinggi. Para anggota Permira--yang dimotori Panca Syurkani, jurnalis Metro TV yang tengah kuliah di Rusia-- tidak segan menawarkan bantuan informasi bagi para jurnalis Indonesia yang tengah bertugas di negeri itu. Berbagai informasi dari mereka, mulai dari hal kecil seperti memilih operator seluler dan internet hingga penunjuk arah, sangatlah membantu tugas kami sebagai jurnalis.
Seusai menyantap hidangan Lebaran, Wahid dan jajarannya kemudian mengajak kami mengobrol santai di sebuah kafe yang tidak berada jauh dari Lapangan Merah, ikon dari Kota Moskwa. Wahid memilih berjalan kaki ke kafe itu dan meninggalkan mobil-mobil Mercedes, kendaraan dinasnya, yang berjajar rapi di halaman parkir KBRI. “Mari kita mengopi. Di sini, banyak kopi asal Indonesia yang disajikan di kafe-kafe di Rusia,” ujarnya.
Tanpa canggung, Wahid bercerita ngalor-ngidul, mulai dari isu politik terhangat di Rusia, Piala Dunia, hingga situasi di Tanah Air, dalam perbincangan di kafe itu. “(Vladimir) Putin (Presiden Rusia) itu mirip Soeharto. Semakin dia ditekan (negara-negara Barat), kian semangat ia melawan. Prinsipnya, kebebasan berpendapat boleh-boleh saja, asalkan tidak menggoyang posisinya,” ujar Wahid yang telah dua tahun bertugas di Rusia.
Tidak terasa, waktu berlalu cepat seiring tegukan demi tegukan kopi yang sore itu terasa sangat hangat. Kami pun harus bergegas untuk kembali meliput Piala Dunia. Jamuan opor ayam dan keramahan diaspora serta para diplomat Indonesia di "Negeri Stalin" hari itu sungguh telah menghangatkan perasaan kami, anak-anak Indonesia yang tengah terpisah jauh dari Tanah Air.