Saat Teknologi Tak Berdaya, Keberanian Manusia Berbicara (I)
Tanggal 14 Juni 1982, 36 tahun lalu, Kepulauan Falkland kembali direbut Inggris dari Argentina. Perang 74 hari di Samudra Atlantik Selatan ini menjadi ajang uji coba banyak peralatan tempur terkomputerisasi Barat untuk pertama kali. Ternyata tak semua andal. Militer Inggris yang tengah “jatuh miskin” akibat pemangkasan anggaran membuktikan, penentu kemenangan dalam perang adalah prajurit pengguna senjata, bukan oleh senjata itu sendiri.
Hari Jumat, 2 April 1982 pukul 21.30, Laut Mediterania tenang tak bergelombang di lepas pantai Gibraltar, selatan Semenanjung Iberia. Laksanama Muda (Rear admiral) John Sandy Woodward berada dalam kabinnya di kapal perusak (destroyer) HMS Antrim.
HMS Antrim berbobot mati 6.200 ton. Senjatanya tergolong lengkap: empat rudal antikapal MM38 Exocet, rudal antipesawat Seaslug dalam 36 tabung, delapan tabung Seacat, dan sebuah meriam 115 mm.
Seorang kelasi mengetuk pintu dan menyerahkan secarik kertas berisi salinan sinyal dari Kepala Staf (Commander in Chief) Angkatan Laut Kerajaan Inggris, Laksamana John Fieldhouse. “Argentina menginvasi Kepulauan Falkland,” begitu isi pesan sang pimpinan.
Argentina menginvasi Kepulauan Falkland.
Serbuan dan pendudukan itu mengakhiri 150 tahun kekuasaan Inggris atas kepulauan tersebut. Maka, dimulailah sebuah peperangan di antara dua negara antikomunis Barat.
Dunia terperangah
Tak lama kemudian, kalangan politisi dan militer berbagai negara terperangah akan kecepatan Inggris memobilisasi angkatan perangnya. Dunia menyaksikan, Inggris telah memberangkatkan 30 kapal perang termasuk dua kapal induk, dengan muatan lengkap dan penuh, pada 5 April.
Padahal, kampanye militer itu punya sasaran teramat jauh. Kepulauan Falkland—juga Kepulauan Georgia Selatan—berjarak 13.200 kilometer jauhnya dari daratan Inggris. Itu setara sepertiga lingkar bumi, sepadan jarak Jakarta-London. Atau, jika kita berlayar dari Jakarta menuju AS lewat Samudra Pasifik, kita sudah akan jauh melewati Kepulauan Hawaii dan tinggal beberapa ratus kilometer lagi untuk mencapai San Fransisco.
Kepulauan Falkland berjarak 13.200 kilometer jauhnya dari daratan Inggris. Itu setara sepertiga lingkar bumi.
Pijakan darat antara London dan Falkland yang dimiliki angkatan perang Inggris juga hanya sebentuk pulau karang dan abu vulkanik Ascension di Atlantik tengah. Jarak Ascension dari Falkland yang kurang-lebih seluas Pulau Bangka pun tetap bukan alang kepalang. Masih separuh perjalanan: 6.200 kilometer.
Di sisi lain, Falkland ada di halaman depan Argentina. Ibukota Port Stanley yang ada di Falkland timur hanya sejauh 670 kilometer dari pangkalan udara Rio Grande di Argentina selatan.
Menempuh jarak yang jauh memerlukan rantai logistik yang besar apalagi untuk memberangkatkan puluhan ribu pasukan. Hingga penghujung perang, Inggris mengerahkan 25.000 prajurit dari tiga matra. Lagi pula, perlu waktu tak sedikit untuk merencanakan dan mengumpulkan segala persenjataan, amunisi, bahan bakar, pangan, dari berbagai pangkalan. Dan Inggris, mampu menyiapkannya.
Sesungguhnya, respon militer Inggris jauh lebih cepat. Masyarakat hanya tahu gerak Inggris itu pada 5 April. Namun, hanya sekitar tiga jam setelah menerima sinyal komandannya, atau 18 jam sejak pasukan Marinir Argentina menjejakkan kaki mereka di pantai Port Stanley, Falkland Timur, Woodward telah melaksanakan langkah balasan.
Sabtu, 3 April sekitar pukul 01.00 dini hari, si Panglima Armada Kapal Permukaan Pertama (flag officer, 1st Flotilla) sudah angkat sauh, memimpin sejumlah kapal perang yang juga telah siap tempur berlayar menuju selatan.
Tanah tak bertuan
Hingga lima abad silam, Kepulauan Falkland adalah tanah tak bertuan. Hanya ada kawanan penguin, burung-burung laut lainnya, serta anjing laut yang menjadikannya rumah. Tak ada yang tahu pasti, siapa yang pertama kali menemukan Falkland. Walau mungkin, Falkland disinggahi para pelaut yang dipimpin Amerigo Vespucci saat melayari kawasan itu pada 1504.
Hanya saja, yang pertama tercatat menjejak Falkland adalah nakhoda Inggris John Strong dan para kelasinya pada 1690. Itu pun pendaratan darurat akibat kapal layar mereka diseret keluar jalur oleh badai. Strong lalu menamakan kepulauan itu Falkland, merujuk pada nama bendahara Angkatan Laut Kerajaan Inggris Viscount Falkland.
Tak ada kegiatan penting yang dilakukan Strong di kepulauan itu. Pun tak ada rencana penting yang dipikirkannya. Usai memperbaiki kapal dan menambah logistik dengan daging satwa liar, Strong melanjutkan pelayarannya.
Tak lama berselang, otoritas kolonial Spanyol yang telah menguasai daratan Amerika Latin—berkat “hak eksklusif” pelayaran di Samudra Barat dalam perjanjian dengan Portugis—menuntut Falkland sebagai miliknya. Spanyol pun memaksa Inggris dan Perancis untuk enyah dari Atlantik Selatan.
Tentu saja, dua kerajaan yang diancam tersebut tak ambil peduli. Nakhoda Perancis Louis Antoine de Bougainville malah mendirikan permukiman di Pulau Falkland Timur pada 1764. Kampung itu dinamakan Fort St. Louis dan dihuni 29 orang. Bougainville menyatakan, kepulauan itu adalah milik raja Perancis dan menamakannya Illes Mallouines.
Spanyol mengeja nama Perancis tersebut dengan Islas Malvinas. Hingga sekarang, Argentina menggunakan “Malvinas” untuk menyebut kepulauan yang tetap dianggap sebagai miliknya itu. Malvinas adalah teritori yang tak terpisahkan, usai negeri ini memerdekakan diri dari Spanyol pada 1816.
Setahun setelah deklarasi Bouganville, giliran komodor Inggris John Byron menyigi lokasi, mengklaim kepulauan itu sebagai milik Raja Inggris George III dan membangun koloni kecil dengan nama Port Egmont. Langkah-langkah bandel Inggris dan Perancis ini membuat Spanyol berang.
Lewat sejumlah negosiasi alot, Perancis setuju untuk hengkang dari Mallouines sedangkan Inggris membandel. Spanyol akhirnya mengusir penduduk dan kekuatan Inggris di Falkland dengan kekerasan bersenjata pada 1770. Namun empat tahun kemudian, Inggris kembali dan berkeras bahwa kepulauan itu tetap sebagai miliknya.
Begitu Argentina berdiri, Malvinas dinyatakan sebagai bagian negeri belia itu. Namun pada praktiknya, cuma para pemburu paus dan anjing laut dari Inggris dan AS-lah yang secara de facto menyinggahi kepulauan itu. Rutin.
Baru pada 1826, Argentina mendatangi dan membangun koloni di Falkland, sekaligus menyita tiga kapal penangkap ikan milik AS di sana. Krisis politik pun mencuat di antara kedua negara. Alhasil, Falkland dikosongkan kembali.
Dalam situasi itulah Inggris masuk. HMS Clio dengan nakhoda John James Oslow dikirim ke sana, mencegah Argentina datang, dan mendirikan pemerintahan dan koloni di bawah Inggris Raya. Bendera Inggris terus berkibar hingga pasukan Argentina menyerbu pada 2 April 1982.
***
Di tengah kesibukan berlayar ke selatan, Laksamana Muda Sandy Woodward menyempatkan diri menulis catatan harian di kabinnya. “…nasib baikku, jika ‘baik’ adalah kata yang bisa dipilih. Aku berada di Gibraltar bersama gugus tugas (latihan musim panas-pen) Springtrain. Aku menjadi panglima armada terdekat dari garis depan (walau masih sekitar 13.000 kilometer jauhnya). Maka, akulah yang terpilih….”
Kegesitan Angkatan Laut Inggris merespon serbuan Argentina di Atlantik Selatan bukanlah sesuatu yang dadakan. Gerak cepat itu merupakan akumulasi dari kepiawaian intelijen Inggris di Argentina dan tradisi militer yang mengakar: rutin berlatih agar senantiasa siap berperang.
Dalam hal ini, Inggris yang anggota pakta pertahanan Atlantik Utara NATO “diasah” oleh ketegangan perang dingin yang tak henti menyelimuti Eropa ketika itu.
Beberapa hari sebelum serbuan Argentina ke Falkland, Woodward—saat itu 50 tahun--membawa kapal-kapal perang Flotilla Pertama ke Gibraltar untuk menjalani latihan musim semi Springtrain. Woodward yang mengawali belasan tahun awal karier militernya di kapal selam adalah salah satu dari tiga panglima Flotilla, armada kapal permukaan, yang dimiliki Inggris. Dia adalah yang paling yunior.
Panglima Flotilla bertanggung jawab atas kesiapan kapal-kapal perang yang menjadi tanggung jawabnya. Jabatan itu juga akan menjadikannya pemangku jabatan sebagai panglima dalam gugus tempur laut saat perang pecah.
Woodward, ketika itu, belum genap 10 bulan naik pangkat menjadi Laksamana muda, sekaligus menjadi Panglima Flotilla. Woodward membawahi 22 kapal perang terdiri atas destroyer (kapal perusak) dan pergata (fregat).
Jika destroyer merupakan kapal besar yang dirancang sebagai ujung tombak peperangan laut, pergata yang lebih kecil terutama berperan sebagai kapal kawal. Fregat umumnya berfungsi mengawal iring-iringan kapal—gugus tugas pendarat, misalnya—dan melindunginya dari serangan pesawat, kapal permukaan, atau kapal selam lawan.
Baru semalam awak Flotilla Pertama berada di Gibraltar, kepala staf Angkatan Laut Laksamana Fieldhouse datang menyusul. Dia mengambil alih kapal markas HMS Glamorgan dari tangan Woodward yang kemudian pindah ke HMS Antrim sebagai “kantornya”.
Dalam taklimat di kesempatan pertama, Fieldhouse menyampaikan informasi tentang memanasnya situasi di Atlantik Selatan. Inggris baru saja mengusir segelintir pekerja pengumpul besi tua dari Georgia Selatan—beberapa ratus mil di timur Falkland—karena mereka mengibarkan bendera Argentina di sana. Para pekerja itu dituduh memasuki Georgia Selatan secara ilegal.
Baru belakangan terbukti, reaksi Inggris atas insiden itu sangat berlebihan. Para pekerja Argetina tersebut sesungguhnya telah memiliki dokumen resmi dari Kedutaan Inggris di Buenos Aires. Mereka mengumpulkan besi-besi tua dari sebuah kilang penyulingan lemak paus yang terbengkalai. Itu hanya wujud jual-beli antara saudagar besi tua Argentina Constantino Davidoff dengan pemilik kilang yang warga negara Inggris.
Davidoff sendiri adalah pedagang sejati, sangat apolitis. Namun, langkah reaksioner Inggris itu dimanfaatkan junta militer Argentina yang kian mendapat perlawanan dari masyarakat prodemokrasi negerinya, dan melorotnya ekonomi negeri itu.
“Mengembalikan” Islas Malvinas ke dalam pangkuan Argentina adalah obat mujarab menstabilkan negeri, begitu formula yang diyakini triumvirat pemimpin el partido militar. Kediktatoran Argentina saat itu dipimpin oleh Jenderal Leopoldo Fortunato Galtieri (Kepala Angkatan Darat), Laksamana Jorge Issac Anaya (Angkatan Laut), dan Brigadir Jenderal Jorge Arturo Lami Dozo (Angkatan Udara).
Kepada Woodward, Fieldhouse menambahkan, intelijen melaporkan Argentina telah memberangkatkan kapal-kapal angkatan lautnya, membawa sejumlah besar pasukan pendarat dan kendaraan perang menuju kepulauan Falkland dan Georgia Selatan. Satu-satunya yang akan menghadapi mereka hanyalah kapal angkatan laut Inggris HMS Endurance.
Meski milik angkatan laut, Endurance sama sekali bukan kapal perang. Endurance hanya kapal pemantau es sepanjang 90 meter yang kecepatan maksimalnya 14,5 knot. Edurance jelas bukan tandingan kapal induk Veinticinco de Mayo, destroyer, ataupun pergata Argentina yang bisa dipacu hingga 20-30-an knot.
Menghadapi pesawat tempur A-4 Skyhawk yang dipangkalkan di De Mayo, rudal permukaan ke permukaan Exocet, ataupun meriam-meriam kapal Argentina, Endurance hanya punya dua senapan mesin kaliber 20 milimeternya.
Sebagai antisipasi atas analisis intelijen itu, Fieldhouse memerintahkan Woodward untuk bersiap membawa armadanya ke selatan. Jika perang pecah, Woodward-lah yang ditugaskan sebagai panglima gugus tempur laut.
“Aku sudah menjadi panglima armada selama 10 bulan dan sudah bosan dengan tugas ini. Terlalu banyak menyendok sup dan memotong steik, mengangkat gelas perjamuan, dan obrolan di perjamuan,” tulis Woodward dalam catatan hariannya. Argentina langsung mengubah rutinitas Woodward.
Pada 2 April dini hari waktu setempat—beberapa jam sebelum Argentina menyerbu Port Stanley—bentuk latihan dia ubah menjadi persiapan pelayaran tempur.
Kepada para anak buahnya, Woodward menyebutkan tujuan mereka adalah ke Timur Tengah dengan memutari Afrika dari Atlantik. Sebagian kapal yang ditetapkan tak ikut berlayar harus memindahkan seluruh logistik, amunisi, peluru meriam, dan rudal ke kapal lain yang dipilih menjadi anggota gugus tempur.
Kepada para anak buahnya, Woodward menyebutkan tujuan mereka adalah ke Timur Tengah dengan memutari Afrika dari Atlantik.
Di tengah laut dekat Selat Gibraltar, pemindahan barang-barang itu dilakukan. Sejumlah helikopter dan sekoci hilik mudik antarkapal untuk menuntaskannya. Barang-barang juga dipindahkan antarkapal lewat tambang. Menjelang matahari terbenam, aktivitas yang sibuk luar biasa itu pun mereda.
Yang paling menggembirakan Woodward, hari itu juga beberapa anak buahnya yang ditugaskan ke daratan berhasil memperoleh peta laut Falkland, lembaran amat vital yang tak ada di lemari-lemari peta kapal-kapalnya.
Tanggal 2 April malam hari, kapal-kapal perang yang telah mengosongkan gudang mereka, Engadine, Blue Rover, Euryalus, Aurora, dan Dido mengangkat sauh untuk berlayar kembali ke Inggris. Para awaknya berbaris di sepanjang sisi kapal, melambai-lambaikan tangan kepada rekan-rekan mereka di kapal-kapal perang terpilih.
Beberapa jam kemudian, 3 April dini hari, Woodward memerintahkan nakhoda semua kapal yang terpilih, untuk mengerek bendera perang (battle ensign) berlambang salib merah Saint George dengan dasar warna putih bersemat simbol Union Jack (bendera Inggris) pada sudut atas.
Inilah tradisi angkatan laut di seluruh dunia (TNI AL misalnya, juga memiliki bendera perang, dinamakan “Ular-ular laut”, dengan corak garis-garis merah dan putih mendatar).
Dikereknya panji-panji tersebut pada sebuah kapal, menandakan kapal tersebut siap berlayar menuju medan pertempuran. Seluruh kelasi dan perwira kapal pun tersadar. Mereka akan bertolak menuju medan perang sungguhan, bukan lagi latihan.
Dengan panji perang berkibar dan sebagian besar lampu dimatikan, kapal perusak HMS Glamorgan, Antrim (kelas County), Brillian (Tipe 22), Glasgow, Sheffield, Coventry (tipe 42), pergata HMS Arrow (tipe 21), dan Plymouth (tipe 12) berlayar menjadi pelopor gugus tempur laut Operasi Corporate untuk merebut kembali Kepulauan Falkland.
Menghadapi Perang Malvinas, Angkatan Laut Inggris masih menyandang predikat kekuatan laut terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Uni Soviet. Namun sesungguhnya, postur kekuatan Inggris telah jauh melorot.
Pasca Perang Dunia II, Angkatan Laut Inggris masih memiliki 586 kapal perang. Pada 1982, kapal-kapal perang yang ada hanyalah dua kapal induk ringan, 14 destroyer, 46 pergata, 12 kapal selam pemburu (hunter killer) bertenaga nuklir, 16 kapal selam diesel, dan empat kapal selam nuklir berpeluru kendali nuklir Polaris.
Sesungguhnya, postur kekuatan Inggris telah jauh melorot.
Hampir seluruh kapal perang dikerahkan dalam perang Falkland. Meski Inggris masih “menghemat” kapal selam dengan hanya mengirim tiga kapal selam nuklir jenis pemburu dan penghancur kapal musuh: HMS Splendid, Spartan, dan Conqueror.
Kapal-kapal perang Inggris sejatinya dikonsentrasikan untuk menghadapi perang dengan blok Uni Soviet, Pakta Warsawa. Jika hal itu terjadi, angkatan laut Inggris harus ikut menguasai perairan di utara Jerman, melindungi perairan Inggris sendiri, dan mengamankan jalur suplai antara Amerika Utara dan Eropa Barat di Atlantik Utara.
Dengan demikian, berperang 13.000 kilometer jauhnya ke Atlantik Selatan, tidaklah pernah dirancang oleh petinggi militer Inggris.
Woodward ingat benar ketika dia bertugas sebagai asisten direktur perencanaan AL di Whitehall, London, markas Kementerian Pertahanan Inggris. Awal 1981, para petinggi Angkatan Laut berkumpul menganalisis berbagai ancaman yang mungkin muncul.
Ketika faktor Kepulauan Falkland dan ancaman Argentina dibahas, semuanya mengerucut pada dua kesimpulan. Pertama, Inggris tidak mungkin bisa mencegah ketika Argentina menyerbu Falkland. Kedua, Inggris tak akan mampu mengirim armada angkatan laut untuk merebut kembali kepulauan tersebut.
Namun, kesimpulan itu menjadi mentah pada 31 Maret 1982. Informasi mendidihnya situasi di Atlantik Selatan membawa Menteri Angkatan Laut (First Sea Lord) Sir Henry Leach menghadap Perdana Menteri Margareth Thatcher. Leach memastikan, Inggris mampu melaksanakan operasi militer skala besar untuk merebut kembali Falkland.
Sir Leach memastikan, Inggris mampu melaksanakan operasi militer skala besar untuk merebut kembali Falkland.
Dia meyakinkan Thatcher, AL Inggris mampu memukul mundur AL Argentina dari laut lepas, bertahan dari gempuran 200 pesawat tempur AU Argentina, mendaratkan pasukan darat secukupnya dan mengamankan jalur logistik hingga pasukan darat memenangi pertempuran.
“First Sea Lord, apa yang sebenarnya kamu inginkan?” tanya Perdana Menteri usai mendengarkan paparan.
“Perdana Menteri, jika berkenan, saya berharap memperoleh otoritas membentuk gugus tugas yang akan siap berlayar ke selatan,” jawab Leach.
“Kamu memperolehnya,” jawab Thatcher singkat.
Dalam konflik itu, AL Inggris juga beruntung karena Argentina tak sabar menunggu beberapa saat. Seandainya Argentina bersabar mungkin kisah perang Falkland akan berbeda. Sebab sejatinya, Inggris tak lagi mampu membiayai banyak kapal induk ringan.
Inggris saat itu sedang membangun dua kapal induk baru. HMS Illustrious telah rampung, tetapi diperkirakan baru operasional pada akhir 1982. Satu kapal induk lagi yakni HMS Ark Royal masih di galangan. Bahkan mungkin, baru operasional tiga tahun kemudian.
Uang Inggris hanya cukup untuk membiayai dua kapal induk. Karena itu, dua kapal induk yang lama, Hermes dan Invincible, dijual dan telah menemukan pembeli. Pada tahun 1982, keduanya dijadwalkan masuk galangan untuk perbaikan sebelum dikirim ke pembeli baru, India (Hermes) dan Australia (Invincible).
Dua kapal induk yang lama, Hermes dan Invincible, telah dijual dan telah menemukan pembeli.
Dengan kehadiran Hermes dan Invincible pun tugas Woodward tetap berat. Gugus tempur laut punya tugas utama mendaratkan pasukan darat di Falkland. Sebelum itu bisa terlaksana, pertama, armada kapal perang Woodward harus lebih dulu memenangi pertempuran melawan AL Argentina, perang laut.
Kedua, gugus tempur lautnya harus mampu bertahan dari gempuran pesawat tempur musuh hingga lawan kehabisan tenaga. Argentina punya sekitar 100 pesawat tempur. Pesawat-pesawat AU Argentina Mirage dan Dagger jelas dapat membom armada Inggris. Kekurangan AU Argentina adalah kemampuan air refueling yang sangat terbatas.
Jika armada Inggris diletakkan cukup jauh dari daratan Argentina (dikonsentrasikan sesering mungkin di sisi timur Falkland), pesawat-pesawat lawan bakal cuma punya taktik terbatas. Terbang, melepaskan bom, lalu segera terbang pulang. Tak ada cukup bahan bakar untuk bermanuver saat pesawat Inggris berhasil mencegatnya.
Yang lebih ditakuti adalah pesawat AL yang berpangkalan di De Mayo. Ini eks kapal Inggris HMS Venerable—lalu sempat dibeli Belanda, menjadi HrMS Karel Doorman yang diincar AURI saat Trikora.
Walau tonasenya sama dengan Invincible, pesawat yang diangkut De Mayo lebih mematikan. Kapal induk itu mengangkut pembom ringan A4 skyhawk buatan McDonnel Douglas AS. Juga ada Super Etendard yang mampu mengusung rudal penghancur kapal, AM-39 Exocet.
Sebaliknya, sekitar dua lusin Sea Harrier yang diusung Hermes dan Invincible tak efektif dipakai menghantam kapal lawan. Satu dari dua pesawat yang bisa lepas landas dan mendarat vertikal itu—satu lagi Yakovlev Yak 38 Uni Soviet—lambat, kecepatannya subsonik, dan kecil.
Harrier boros bahan bakar, terutama jika harus mendarat vertikal (sesuatu yang wajib saat berpangkalan di kapal induk). Sehingga dua cantelan di sayap bagian dalam harus selalu untuk tangki bahan bakar. Dua cantelan di bawah tubuh cuma untuk menampung tabung kanon Vulcan. Tinggallah dua cantelan di luar: apakah untuk rudal perontok pesawat Sidewinder atau masing-masing satu bom kecil 550 pound.
Woodward mengalkulasi, armada kapal perang Argentina juga tak banyak. Lawan juga punya satu kapal induk, satu penjelajah ringan ARA General Belgrano.
Meski besar, Belgrano tak terlalu mematikan karena meriam-meriam 153 milimeternya cuma mampu menjangkau 15 mil laut—hampir 30 kilometer. Yang lebih ditakuti Woodward adalah delapan destroyer—dua diantaranya tipe 42, saudara kandung HMS Sheffield—dan tiga korvet lawan.
Yang lebih ditakuti Woodward adalah delapan destroyer—dua diantaranya tipe 42, saudara kandung HMS Sheffield.
Sembilan di antara 11 kapal perang itu punya Exocet seri permukaan ke permukaan (MM38), rudal buatan Perancis yang kecepatannya nyaris supersonik, melesat sangat rendah (sea skimming), dan punya jangkauan setidaknya 70 kilometer—versi AM39 dari pesawat tempur punya jangkauan lebih jauh, minimal 100 kilometer.
... bersambung ke bagian ke-2 (Senin, 18 Juni 2018).
Referensi
One Hundred Days, Admiral Sandy Woodward dan Patrick Robinson, Harper Press, London, 2012.
Fight For The Falklands!, John Laffin, Sphere Books, 1982
Argentina, Illusions & Reality, Gary W Wynia, Holmes & Meier, New York, 1986.
Jane’s Fighting Ships 1981-1982, Captain John Moore (ed), Jane’s, London, 1981