Masjid al-Anshor tidak bisa dilepaskan dari sejarah bermukimnya para pendatang, yakni orang-orang Moor di Batavia. Hingga kini, kebiasaan pendatang masih terasa di sekitar masjid ini.
Oleh
Windoro Adi
·4 menit baca
Masjid al-Anshor. Letaknya di Jalan Pengukiran II, Pekojan, Tamansari, Jakarta Barat. Masjid yang bangunan aslinya berukuran 10x10 meter persegi ini berdiri di tengah pusaran sejarah perkembangan Islam di Batavia (Batavia 1740: Menyisir jejak Betawi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010).
Kini masjid yang didirikan orang Moor (kaum muslim dari Gujarat, Hejaz, dan Bengali, India) tahun 1648 ini menjadi masjid tertua yang masih berdiri di Jakarta, setelah Masjid Jayakarta dan Kota Jayakarta dibumihanguskan pasukan Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Jan Pieterszoon Coen, 28-30 Maret 1619.
Letak Masjid Jayakarta diperkirakan beberapa puluh meter di selatan Hotel Rivier (dulu Hotel Omni Batavia), kawasan Kota Tua, Jakarta Barat.
Bentuk bangunan masjid menyerupai masjid di Demak. Maklum, meski Jayakarta adalah bagian dari Kesultanan Banten, tetapi kalangan elite lebih dekat dengan Kesultanan Cirebon yang kala itu kepanjangan tangan kerajaan Islam di Demak.
Setelah Jayakarta berganti nama menjadi Batavia pada 12 Mei 1619, orang Moor di Banten pindah dan bermukim sebagai pedagang di Pekojan. VOC menetapkan Pekojan sebagai Kampung Arab atau lebih tepatnya kampung kaum Hadramis (orang-orang yang berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan), pada abad ke-18. Kala itu, Hadramis wajib tinggal di Pekojan sebelum pindah ke tempat lain. Tak heran bila Pekojan menjadi kampung Arab tertua di Jakarta.
Di Pekojan, orang-orang Moor membangun Masjid al-Anshor. Al-Anshor artinya pendatang. Pembangunan masjid membangkitkan keberanian orang Arab, Cina, Banten, Sunda, Makassar, Jawa, dan Bali untuk membangun masjid di Pekojan dan meluas ke penjuru Jakarta Barat.
Tercatat Masjid Al-Mansur (1717) di Jalan Sawah Lio nomor 11, Masjid Luar Batang (1736) di Kampung Luar Batang, Masjid Kampung Baru (1748) di Bandengan Selatan, Masjid Annawar (1760) di Jalan Pekojan nomor 71, Masjid Angke atau Masjid al-Anwar (1761), Masjid Tambora (1761) di Jalan Kampung Tambora, Masjid Krukut (1785), dan Masjid Kebon Jeruk (1786) di Jalan Hayam Wuruk nomor 8.
Banyak renovasi
Masjid al-Anshor sekarang sudah jauh berbeda dengan aslinya. Masjid diperluas menjadi dua lantai dan berada di tengah pemukiman padat nan sempit. Empat tiang utama kayu diganti tiang beton. Yang tersisa, empat tiang kayu membentuk segi empat di atas plafon lantai satu.
Kecantikan asli masjid tinggal tampak pada teralis kayu yang dibubut berbentuk komposisi susunan oval, kotak, dan cincin. “Yang asli tinggal teralis jendela besar di belakang. Bentuk teralis baru dibuat sama dengan yang lama,” ungkap imam masjid Iskandar (60), Kamis (14/6/2018).
Pemakaman di sekitar masjid menyisakan dua pusara. Tak ada yang tahu siapa yang dimakamkan di kedua pusara tersebut.
Tahun 1973 dan 1985, masjid dipugar. Setiap 10 tahun berikutnya, kata Iskandar, masjid di atas tanah wakaf seluas 1.703 meter persegi ini, direnovasi.
Meski lantai masjid sudah ditinggikan 1,5 meter, tetap saja terendam banjir tahun 2013. “Memang susah menghindari rendaman air hujan di sini. Maklum, sekarang sudah menjadi kawasan sangat padat, dan hanya meluangkan selokan-selokan kecil,” tutur Iskandar.
Tidak seperti sejumlah masjid tua lainnya di Pekojan yang masih menyimpan tradisi Ramadan dan Lebaran khas Betawi, warga di sekitar mesjid ini tidak lagi memiliki tradisi khusus. “Namanya juga Al-Anshor, masjid para pendatang. Pertengahan puasa saja sebagian warga sudah pulang kampung. Mereka yang sholat Ied di mesjid ini tinggal seperempat dari jumlah warga yang biasanya Jumatan di sini,” ucap Iskandar.
“Sejak saya tinggal di sini tahun 1968, makanan lebarannya cuma ketupat, sayur pepaya muda, kari ayam, sama semur daging. Makanan ringannya tape uli. Sajian lainnya ya yang umum-umum saja. Kue kering dan kue basah pada beli. Udah ngga pada bikin sendiri,” tutur Solihin (78), pria asal Purwakarta yang sehari-hari berjualan ayam hidup.
Menurut dia, pendatang ramai berdatangan dan bermukim di sekitar masjid sejak tahun 1980-an. Meski demikian, kata Lurah Pekojan Tri Prasetyo, kegiatan sosial dan keagamaan di lingkungan masjid masih terpelihara. “Kalau dilihat dari aspek tradisinya memang jauh surut, tetapi jika dilihat dari aspek sosial dan keagamaannya, masih bolehlah,” ucap Tri.