Akhir 1980-an, kawasan Gorky Park di jantung kota Moskwa menjadi bagian penting transformasi Rusia menjadi negara yang lebih modern dan terbuka. Perubahan sosial politik di negara eks Uni Soviet yang juga mengakhiri Perang Dingin itu diabadikan band rock ternama, Scorpions, lewat lagu ”Wind of Change” yang tak lekang oleh zaman.
”Saya menyusuri (Sungai) Moskwa/ menuju ke Gorky Park/ mendengarkan angin perubahan/ .../Dunia telah mendekat/apakah terlintas kita bisa dekat/ seperti saudara// Masa depan telah terlihat/ Saya dapat merasakannya di mana-mana/ embusan angin perubahan...” demikian lirik lagu tersebut.
Hampir tiga dekade berlalu, semangat perubahan seperti lagu yang dinyanyikan Klaus Meine itu hidup kembali di Rusia, tuan rumah Piala Dunia 2018. Warga negara itu berjuang menghapus stigma yang terus melekat, bahkan setelah paham komunisme runtuh dan Perang Dingin berakhir.
”Negara ini tidaklah seburuk yang digambarkan rekan-rekan Anda dari negara Barat. Kami membuka diri dengan orang luar,” ujar Konstantin Viktorovich (36), warga asli Rusia, yang ditemui Kompas seusai laga pembuka Piala Dunia di Moskwa, Kamis (14/6/2018).
Menurut Viktorovich, semangat keterbukaan itu sangat terasa, dari Gorky Park—taman kota di tepi Sungai Moskwa— hingga pusat pemerintahan
Rusia di Istana Kremlin. Hal itu terlihat di Lapangan Merah, lapangan di depan Kremlin yang dikelilingi tembok tinggi berwarna merah, yang dipadati ribuan penggemar sepak bola dari pelosok dunia.
Mereka memakai atribut, kaus tim, dan bendera negara asal. Ada topi sombrero khas Meksiko, ada pula kaus putih-merah menyala ala Peru. Di satu kafe tak jauh dari Lapangan Merah, Julia Ivanovna bersantai menikmati musim panas, menenggak bir dingin ditemani temannya. Warna hijau-putih-merah bendera Meksiko membalut tubuh perempuan muda Rusia itu.
Bendera itu diberikan pendukung Meksiko, Miguel Arreguin, yang baru tiba di Moskwa. Meski baru bertemu, Ivanovna dan Arreguin berbincang hangat dalam bahasa Inggris. Terkadang mereka membahas sepak bola, diselingi canda dan tawa seolah sahabat lama. ”Warga di sini (Rusia) sangat ramah. Kami berasa di rumah sendiri,” ujar Arreguin yang juga ditemani dua teman pria asal Meksiko.
Keterbukaan Rusia juga diwakili dari kian banyaknya penunjuk arah berbahasa Inggris dengan aksara Latin di jalan raya atau di stasiun kereta bawah tanah di Moskwa. Sejumlah kecil warga, seperti pelajar, mahasiswa, dan pramusaji kafe dekat Lapangan Merah, mampu berbahasa Inggris. Pada era Uni Soviet, warga Rusia dikenal anti-berbahasa Inggris.
Mereka enggan disebut warga Eropa sebab tak ingin disamakan dengan Blok Barat di era Perang Dingin. ”Dua tahun lalu, saat pertama kali bertugas di sini, penanda arah berbahasa Inggris masih jarang. Saya dan istri harus memakai bahasa ’Tarzan’ dan membawa kalkulator saat memesan dan membayar makanan di kafe. Berkat Piala Dunia, semua perlahan berubah,” ujar Duta Besar RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus M Wahid Supriyadi.
Secara politik, Rusia juga masih ”dikucilkan” negara Barat, seperti Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat. Uni Eropa dan AS menjatuhkan embargo dagang ke Rusia menyusul pencaplokan Semenanjung Krimea dan konflik di Ukraina. Fobia akan Rusia menjadi-jadi menyusul Pemilihan Presiden AS 2016 dan kasus keracunan mantan mata-mata Rusia di Inggris, Sergei Skripal dan putrinya, Yulia, Maret lalu.
Namun, hal itu tak menghalangi warga Inggris, Elly, datang ke Moskwa. Ia hadir tidak untuk menonton Piala Dunia, tetapi menemui sahabatnya, warga Rusia, Ekaterina Makanina (29). Elly dan Makanina bersahabat sejak 2014 saat keduanya menjadi mahasiswi program pertukaran budaya di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung.
”Ini kali pertama saya ke Rusia. Namun, saya tidak khawatir sebab ada Katya. Masalah politik tidak pernah mengganggu pertemanan kami. Saya datang karena diundang untuk merayakan Lebaran, sekaligus menjajal gamelan bersama Katya,” ujar Elly di sela-sela latihan gamelan di kompleks Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskwa, Jumat (15/6/2018).
Idul Fitri
Hari itu, kompleks KBRI, tak jauh dari Lapangan Merah, ramai. Ratusan mahasiswa, pekerja, dan jurnalis asal Indonesia datang ke gedung bersejarah itu untuk merayakan Idul Fitri dan mencicipi ketupat dan makanan khas Tanah Air. Sebagian dari mereka menunaikan shalat Id bersama.
Tidak jauh dari KBRI, warga memenuhi sebuah masjid untuk melaksanakan shalat Id. Jalan di kawasan itu ditutup barikade truk untuk mencegah gangguan keamanan. Shalat Id berjalan lancar meski sejumlah tempat dipenuhi ribuan fans sepak bola.
Menurut Wahid, Rusia seperti Indonesia, terbuka dan toleran dengan ras dan agama yang berbeda. ”Rusia sering dipojokkan negara Barat karena tidak punya humas yang bagus. Negara ini sangat beragam dan memiliki 180 etnik. Mereka menghargai perbedaan. Jadi, kehidupan di sini tidaklah seperti digambarkan di luar,” ujarnya.
Seperti dilantunkan Meine dalam ”Wind of Change”, angin perubahan selalu ada pada warga Rusia. Terkadang, semangat itu perlu dipercikkan lewat momen ajaib seperti Piala Dunia. ”Bawalah aku ke momen keajaiban di malam kejayaan ini/ Saat anak-anak dari masa depan berbagi mimpi mereka”.