Buaya Pernah Memangsa Manusia, Tetapi Tetap Harus Dilindungi
Indonesia memiliki beberapa jenis buaya asli Nusantara. Jenis buaya yang sering diberitakan Harian Kompas antara lain buaya muara (Crocodylus porosus), buaya sepit atau senyulong (Tomcistoma schlegeli), buaya air tawar papua (Crocodylus novaeguinieae), dan buaya kodok (Crocodylus siamensis). Buaya air tawar papua dan buaya muara adalah satwa liar dilindungi oleh negara.
Habitat alami buaya tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Dari laporan wartawan Harian Kompas sejak edisi perdana 28 Juni 1965 hingga 18 Juni 2018, dapat diketahui buaya berada di wilayah mana saja dan bahkan pernah memangsa manusia.
Harian Kompas 14 Oktober 1998 melaporkan buaya menewaskan lima orang di Kecamatan Kapuas Hulu, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis pekan sebelumnya. Peristiwa yang menimpa penduduk Desa Katanjung, Supang dan Tumbangpuruk itu diungkapkan Camat Kapuas Hulu, Arlen H Uning di Palangkaraya. Penduduk yang tewas dimakan buaya itu, menurut camat, adalah di Desa Katanjung (tiga orang tewas dan seorang kritis), sedang di Desa Supang dan Tumbangpuruk masing-masing seorang penduduk tewas.
Kelima korban tewas di tempat kejadian. Menurut Camat Kapuas Hulu, gerombolan buaya itu tanpa diketahui penduduk berada di bawah rumah penduduk di pinggir Sungai Sirat. Begitu orang keluar dari rumah panggung, secara tiba-tiba buaya menerkam dan mengeroyok, lalu menggigiti korban. Sungat Sirat sejak zaman dulu dikenal sebagai habitat buaya senyulong.
Harian Kompas 30 November 2004 melaporkan, penduduk di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, dimangsa buaya muara yang banyak berkeliaran di sungai-sungai dangkal. Korbannya Muhammad Basri (30) yang tinggal di Teluk Pandan, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, sekitar 300 kilometer dari Kota Balikpapan, Sabtu, 27 November 2004, Muhammad Basri bermaksud untuk mencuci kakinya di Sungai Kandolo. Baru saja kakinya menginjak bibir sungai, seekor buaya muara langsung menyambar kaki Basri dan menyeret tubuhnya ke tengah sungai.
Harian Kompas 2 September 2006 melaporkan seorang warga yang bermukim di pesisir Sungai Rokan, Kabupaten Rokan Hilir, Riau, pertengahan September 2016 tewas dimangsa buaya. Korban ini menjadi korban ke-20 sepanjang lima tahun terakhir. Pemangsaan manusia oleh buaya ini kian meningkat sejak tahun 2003.
“Buaya adalah salah satu satwa penghuni kawasan sungai, terutama di bagian rawa-rawa dekat hutan. Kemungkinan makanan buaya, seperti hewan-hewan dalam hutan, semakin berkurang akibat pembukaan hutan, akibatnya mereka lari ke arah permukiman dan sering memangsa ternak dan manusia,” kata Kepala Dinas Kehutanan Rokan Hilir Rusli Alhamidi, tentang penyebab serangan buaya di Riau tersebut.
Harian Kompas 28 Maret 2008 pernah melaporkan teror buaya di Desa Mukut, Kecamatan Pulau Rimau, Banyuasin, Sumatera Selatan. Tahun 2008 buaya telah merenggut dua nyawa dan nyaris merenggut nyawa seorang perempuan warga Desa Mukut bernama Trisnawati yang sedang mandi di sungai. Beruntung, Trisnawati hanya mengalami luka di kaki dan harus dirawat di rumah sakit.
Buaya tersebut diduga berasal dari Sungai Batanghari yang kemudian masuk ke Sungai Mukut, mendekati permukiman warga. Jumlahnya diperkirakan tidak hanya satu atau dua ekor saja. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumsel Dwi Setyono mengatakan, buaya menyerang manusia karena dua sebab. Buaya itu memang lapar atau karena habitat terganggu. Kalau habitat buaya rusak, perlu dilakukan perlindungan terhadap habitat buaya. Buaya tersebut dapat menyerang manusia yang naik perahu kecil maupun yang sedang mandi di sungai.
Warga juga mengkhawatirkan munculnya buaya muara di sekitar muara Kali Bodo, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pembina Kelompok Pelestari Lingkungan Pantai Selatan Sukamsi mengatakan, muara Kali aBodo sejak lama sudah menjadi habitat buaya muara. Namun, belum pernah ada laporan serangan buaya terhadap warga seperti yang pernah dilaporkan beberapa waktu lalu (Harian Kompas, 20 Oktober 2015).
Sukamsi mendapat laporan bahwa kawanan buaya tersebut mulai agresif setelah salah satu di antara mereka pernah dilukai oleh pemancing yang iseng. Pemancing tersebut dengan sengaja menyangkutkan kailnya ke buaya dan berusaha menariknya hingga menimbulkan luka di tubuh buaya tersebut. ”Masyarakat diminta tidak mengganggu habitat buaya muara yang ada di Kali Bodo di Desa Candirenggo, Kecamatan Ayah. Sebab, kalau buaya-buaya itu diganggu, sudah dipastikan bakal menyerang manusia,” katanya.
Harian Kompas 20 Juni 2013 melaporkan, Kristina Krisnawati (25), ibu rumah tangga yang sedang hamil tujuh bulan, dan putranya, Yustinus Liman (3), diterkam buaya di Sungai Waimea, Desa Wuakerong, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Selasa, 18 Juni 2013. Korban jatuh terpeleset dari jembatan titian berupa bambu panjang saat menyeberangi sungai itu. Dalam dua bulan terakhir, enam warga Lembata tewas diterkam buaya.
Meskipun memangsa manusia, negara melindungi buaya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Sebanyak 236 satwa liar dilindungi oleh PP tersebut, yang meliputi 70 spesies mamalia, 93 spesies burung, 31 spesies reptilia, 20 spesies serangga, tujuh spesies ikan, satu spesies anthozoa, dan 14 spesies bivalvia.
Buaya muara juga masuk dalam Apendiks I Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar Terancam Punah (Convention on International Trades on Endangered Species of Wild Fauna and Flora/Cites). Apendiks I mencakup spesies yang terancam punah oleh perdagangan. Perdagangan spesies dalam Apendiks I diatur secara sangat ketat untuk keperluan khusus. Ekspor, impor, dan re-ekspor spesies dalam Apendiks I mengikuti regulasi yang sangat ketat.
Populasi buaya terancam oleh perdagangan. Papua adalah habitat alami berbagai jenis buaya, seperti buaya air tawar papua, buaya muara, dan buaya sepit. Salah satu lokasinya seperti di Sungai Memberamo. Pada tahun 2000 diketahui penangkapan buaya di habitat alaminya itu dilakukan berlebihan. Penangkapan buaya di Sungai Membramo, Jayapura, telah menyimpang dari ketentuan. Seharusnya, buaya yang boleh dibeli sudah memiliki lebar leher antara 12 - 20 inchi (30,48 – 50,8 cm), tetapi kenyataannya buaya dengan lebar leher antara 5 - 11 inchi (12,7 – 27,94 cm) pun dibeli oleh perusahaan pengumpulnya (Harian Kompas, 29 Juni 2000).
Komoditas utama yang diperdagangkan dari buaya adalah kulitnya. Pada tahun 1985, harga kulit buaya air tawar papua di pasar internasional Rp 10.000 per inchi atau Rp 3.937 per cm (Harian Kompas, 18 Juni 1985).
Perdagangan kadangkala dilakukan secara ilegal. Salah satunya terjadi tahun 1991. Sebanyak 77 lembar kulit buaya jenis buaya air tawar papua dan buaya muara yang secara ilegal akan diantarpulaukan dengan KM Umsini ke Surabaya berhasil digagalkan petugas KPLP Adpel Jayapura dan KPPP Polres Jayapura (Harian Kompas, 4 Juni 1991).
Upaya penyelamatan buaya sudah mulai dilakukan di Indonesia sejak tahun 1980-an. Caranya dengan menangkarkannya. Buaya muara adalah spesies yang paling sering ditangkarkan.
Penangkaran buaya muara, antara lain, berada di Blanakan Subang, Jawa Barat. Buaya muara di Subang tersebut pertama kali dibawa dari daerah asalnya Pontianak, Kalimantan Barat, 13 Desember 1988 sebanyak 50 ekor. Menyusul kemudian 12 ekor pada 26 Desember 1988. Pada saat dilaporkan Harian Kompas, 15 Februari 1992, jumlah buaya di tempat penangkaran ini berjumlah 90 ekor, terdiri atas buaya induk 15 ekor, buaya muda 40 ekor dan buaya anakan 35 ekor.
Di Balikpapan, pada tahun 1990-an terdapat penangkaran buaya berbagai jenis. Seperti dilaporkan Harian Kompas 12 November 2002, CV Surya Raya mengembangkan bisnis penangkaran buaya di Kelurahan Teritip, sekitar 20 km di sebelah utara Balikpapan. Saat itu perusahaan yang dimiliki Tarto Sugiarto memelihara ribuan ekor buaya muara, buaya sepit, dan buaya kodok. Ia memulai usahanya sejak tahun 1991. Harian Kompas 21 Juni 2017 melaporkan, hingga saat itu penangkaran CV Surya Raya menampung sekitar 1.500 ekor buaya.
Buaya kodok dilaporkan pernah berada di di Danau Belibis, Kabupaten Kutai Barat dan pedalaman Sungai Mahakam, Kalimantan Timur tahun 1991 – 1995. Namun buaya kodok dinyatakan punah sejak tahun 1995 di Kaltim (Harian Kompas, 19 Maret 2003).
Jadi, meskipun sesekali memangsa manusia, yang kebanyakan karena habitatnya terganggu, buaya harus tetap dilindungi. Karena bahaya terhadap manusia, habitat manusia dan buaya memang harus dipisahkan.