Transparansi data penyaluran Kartu Indonesia Pintar diperlukan agar masyarakat dapat memantau program yang diperuntukkan bagi siswa dari keluarga miskin ini.Apalagi, pengawasan dari pemerintah masih lemah.
JAKARTA, KOMPAS – Transparansi data serta penguatan pemantauan oleh masyarakat dibutuhkan untuk memastikan penyebaran Kartu Indonesia Pintar tepat sasaran dan tidak ditunggangi kepentingan politik praktis. Penyaluran KIP bukan ranah partai politik maupun anggota legialatif.
Legislatif bertanggung jawab sebatas menentukan budgeting (pembiayaan), pengawasan, dan regulasi. Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, serta pihak sekolah harus tegas untuk tidak memberikan celah pada parpol dalam penyaluran KIP.
"Jika tidak ada ketegasan, program ini justru bisa dimanfaatkan bagi keuntungan parpol serta menyebakan bias politik di masyarakat," kata Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Hasanuddin Makasar Nur Sadik, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (17/6/2018).
Hal ini berkaitan dengan penemuan Indonesian Corruption Watch (ICW), antara lain di Yogyakarta, yang mengungkapkan ada partai politik menyebarkan KIP. Modusnya yang digunakan adalah politisi partai mendatangi sekolah dengan dalih membantu menyebarkan KIP di daerah pemilihan mereka (Kompas, 8/6/2018). Akibatnya, KIP tidak tepat sasaran karena para penerimanya bukan para siswa dari keluarga miskin sesuai Data Pokok Pendidikan.
Nur menilai, adanya intervensi dari parpol dalam penyaluran KIP disebabkan sistem yang berlaku saat ini masih longgar. Badan pengawas pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga harus turut berperan dalam pengawasan penyaluran KIP. “Jadi kalau ditemukan keterlibatan parpol, Bawaslu, dan KPU langsung bertindak,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad menegaskan bahwa semua KIP hanya boleh disalurkan oleh sekolah. Pengecualian penyebaran oleh sekolah hanya untuk anak-anak usia sekolah yang diasuh di panti-panti sosial.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad menegaskan bahwa semua KIP hanya boleh disalurkan oleh sekolah.
Transparansi
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Abdullah Ubaid menuturkan, mayoritas keluhan yang diterima dari masyarakat adalah KIP tidak tepat sasaran. Masyarakat mempertanyakan alasan keluarga yang ekonominya tidak tergolong miskin, tetapi menerima KIP.
"Harus ada transparansi data yang digunakan. Misalnya, per kecamatan secara terbuka mengumumkan daftar para penerima KIP," tuturnya. Metode ini menurut Ubaid bisa membantu masyarakat memastikan penyebaran kartu tepat sasaran.
Selain itu, data hendaknya dinamis dan selalu mengikuti perubahan situasi. Apabila sebuah keluarga kondisi ekonominya membaik menjadi tidak miskin, anak-anaknya tidak perlu lagi santunan KIP.
"Pengawasan seperti itu bisa dilakukan oleh masyarakat. Akan tetapi, butuh keterbukaan pemerintah dalam menerima masukan dari publik," ujar Ubaid.
Menanggapi temuan ICW, peneliti kebijakan publik dari Saiful Mujani Research and Consulting Saidiman Ahmad, mengatakan bahwa hal itu menunjukkan belum terintegrasinya lembaga pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah. Dinas pendidikan yang berada di bawah pemerintah daerah belum melakukan tugas pengawasan, pengawalan, dan pengelolaan dengan maksimal karena sekolah bisa diterobos oleh partai politik dalam penyebaran KIP.
"Tampak bahwa kebijakan di sektor pendidikan belum sepenuhnya dipahami oleh lembaga-lembaga pemerintah di bidang lainnya. Akibatnya, pengawasan lemah," ujarnya.
Menurut Nus Sadik, pengawasan di tingkat daerah juga perlu diperkuat. Koordinasi dan sinergi yang baik harus dilakukan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “Pusat langsung tegur kalau ada pelanggaran di daerah,” ucapnya.
KIP merupakan program pemerintah pusat untuk membantu siswa yang berasal dari keluarga miskin agar tidak putus sekolah. Siswa yang menerima KIP akan mendapatkan bantuan keuangan secara reguler yang diberikan setiap semester.