SHANGHAI, SABTU -- China mengumumkan pemberlakukan kenaikan bea masuk impor barang-barang dari Amerika Serikat, Sabtu (16/6/2018) lalu, sebagai balasan atas langkah serupa yang diberlakukan Washington atas barang-barang ekspor China. Langkah kedua negara itu menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan perusahaan-perusahaan baik dari China maupun AS atas efek-efek lanjutannya.
Merujuk pada keterangan Kementerian Keuangan China, Beijing akan memberlakukan tarif tambahan 25 persen mulai 6 Juli terhadap 545 produk dari AS. Barang-barang itu termasuk kedelai, mobil listrik, jus jeruk, wiski, lobster, salmon dan cerutu. Regulator China juga sedang mempertimbangkan kenaikan tarif pada 114 produk tambahan termasuk peralatan medis dan produk energi.
Kementerian Perdagangan China menyatakan, negara itu tidak menginginkan perang dagang, tetapi mau tidak mau harus melawan dengan kuat langkah Washington terhadap Beijing. Dikatakan bahwa Beijing juga menghapuskan perjanjian untuk mempersempit surplus perdagangan bernilai miliaran dollar AS dengan otoritas AS dengan membeli lebih banyak barang pertanian, gas alam, dan produk lainnya dari AS.
Langkah-langkah itu diambil Beijing setelah beberapa hari sebelumnya AS mengumumkan kenaikan tarif barang-barang China senilai 34 miliar dollar AS. Tarif itu mulai diberlakukan pada 6 Juli mendatang. Washington juga mempertimbangkan rencana perluasan kebijakan kenaikan tarif atas produk lainnya dari China senilai 16 miliar dollar AS.
China menyatakan, pihaknya menanggapi dalam ”skala yang sama” terhadap kenaikan tarif oleh Trump terhadap barang-barang China dalam konflik surplus perdagangan Beijing dan kebijakan teknologi. Hal itu dilakukan karena pertimbangan bahwa kekhawatiran perusahaan dapat dengan cepat meningkat dan meredam pertumbuhan ekonomi global.
Sebagai dua negara ekonomi raksasa, AS dan China memiliki hubungan perdagangan terbesar di dunia, tetapi hubungan resmi keduanya kini semakin tegang.
Pemerintahan Trump menuduh taktik pengembangan industri Beijing melanggar ikrar perdagangan bebas sehingga melukai perusahaan-perusahaan AS. Eropa, Jepang, dan mitra dagang lainnya mengajukan keluhan serupa, tetapi Trump secara luar biasa langsung menentang Beijing dan mengancam akan mengganggu volume ekspor yang begitu besar. Langkah itu dipercaya Trump dapat mengikis defisit perdagangan yang diderita AS dalam hubungan dagangnya dengan China.
“Dalam perang dagang ini, pihak AS memainkan peran provokator, sementara China memilih sikap bertahan,” demikian tulis Global Times, surat kabar di China. “China adalah wali yang kuat dan memiliki cukup amunisi untuk mempertahankan aturan perdagangan serta keadilan yang ada.”
Langkah itu dipercaya Trump dapat mengikis defisit perdagangan yang diderita AS dalam hubungan dagangnya dengan China.
Dalam upayanya membalas langkah Washington, Beijing tampaknya berusaha meminimalkan dampak pada perekonomiannya sendiri dengan memilih produk AS yang dapat digantikan oleh impor dari pemasok lain seperti Brasil atau Australia. Beijing juga menyasar makanan dan barang pertanian lainnya asal AS. Hal itu berpotensi memukul jantung perekonomian basis-basis pendukung Trump yang berasal dari kawasan pedesaan. Dari sisi China, perekonomian China yang sangat diatur juga memberikan pilihan tambahan bagi PKC untuk pembalasan dengan menahan persetujuan untuk kegiatan bisnis.
Eksportir dan perusahaan multinasional dirugikan
Langkah saling berbalas AS-China itu mengakibatkan kekhawatiran para usahawan memuncak. Perdagangan bilateral besar-besaran yang terpangkas dinilai berpotensi merugikan esportir dan perusahaan multinasional AS yang tertarik pada pasar besar China.
Pedagang produk-produk pertanian Cargill, perusahaan swasta terbesar AS, menyerukan dialog antara Beijing dan Washington. Diharapkan, bisnis, petani dan konsumen tidak akan terjebak dalam perang dagang habis-habisan.
“Konflik perdagangan hanya akan mengarah pada konsekuensi serius bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja serta melukai mereka yang paling rentan di seluruh dunia," kata Devry Boughner Vorwerk, wakil presiden di Cargill.
Perdagangan bilateral besar-besaran yang terpangkas dinilai berpotensi merugikan esportir dan perusahaan multinasional AS yang tertarik pada pasar besar China.
Seorang juru bicara untuk pedagang gandum Archer Daniels Midland juga mengatakan dialog bilateral harus dikejar. Menurut dia, China mau tidak mau adalah pasar ekspor penting untuk makanan dan pertanian AS.
Beberapa perusahaan besar mengatakan, mereka mulai mengevaluasi kemungkinan dampak tarif. Boeing adalah salah satunya. Boeing mengumpulkan sekitar 12,8 persen pendapatannya pada tahun 2017 dari China dan sering dilihat sebagai salah satu perusahaan multinasional AS yang rentan terhadap perang perdagangan secara besar-besaran.
“Kami menilai dampak tarif ini dan tindakan timbal balik apa pun dapat terjadi pada rantai pasokan dan bisnis komersial kami," kata juru bicara Boeing Charles Bickers. “Kami akan terus terlibat dengan para pemimpin di kedua negara untuk mendesak dialog yang produktif guna menyelesaikan perbedaan perdagangan, menyoroti manfaat ekonomi bersama dari industri kedirgantaraan yang kuat dan makmur.” (AP/AFP)