Saat Teknologi Tak Berdaya, Keberanian Manusia Berbicara (II-habis)
Sejak awal perang, Woodward dan seluruh pengendali gugus tempur laut Inggris sesungguhnya lebih mengandalkan kelihaian mereka, dibanding mempercayakan diri pada kecanggihan perangkat tempur mereka. Jurus lebih dahulu, baru senjata. Apalagi terbukti kemudian, beberapa kali teknologi baru yang dimiliki ternyata tak bisa diandalkan.
Sukses pertama Inggris dalam perang itu adalah mencegah Argentina menantang mereka di Samudra Atlantik, sebelum armada Inggris bisa mendekati Falkland. Meski jumlah keseluruhan kapal perangnya lebih banyak, Inggris harus menyusuri rute Ascension-Falkland dalam kelompok demi kelompok. Kekuatan kapal perang harus dibagi.
Kelompok pertama adalah kapal-kapal perang yang bertugas memblokade Falkland, sehingga kekuatan darat lawan di kepulauan itu tak lagi bisa memperoleh pasokan dari Argentina. Kelompok kedua terdiri dari kapal-kapal perbekalan dan kapal bengkel yang dikawal oleh kapal perang. Terakhir, kapal-kapal angkut pasukan dengan pengawalan.
Jika saja Argentina bisa melumpuhkan satu kelompok saja, skenario perang Inggris akan berada di tepi jurang kehancuran. Adalah prinsip bagi angkatan perang manapun, kekuatan penyerbu harus lebih besar dibandingkan lawan yang bertahan.
Jurus tipuan
Karena itu, taktik pertama yang dijalankan armada Inggris adalah mengirim sinyal palsu, bahwa setiap gelombang gugus tugas Inggris terdiri atas kapal-kapal perang yang jauh lebih banyak dibandingkan yang sebenarnya.
Inggris sadar, setiap gelombang gugus tempur lautnya yang berlayar ke selatan akan berkali-kali diintip oleh pesawat pengintai―terutama Boeing 707―AU Argentina. Informasi itu kemudian akan diteruskan ke pihak AL.
Jika si pengintai tahu kekuatan satu gelombang kapal Inggris ternyata kecil, sangat mungkin Laksamana Jorge Issac Anaya akan mengerahkan seluruh kekuatannya―yang 13 kapal perang itu―untuk sebuah pertempuran mati-matian yang menentukan.
Jurus tipuan AL Inggris relatif tidak canggih. Begitu radar kapal mengendus keberadaan pesawat Argentina di laut lepas, para nakhoda memerintahkan awaknya untuk menembakkan chaff atau sekam.
Ini adalah ratusan hingga ribuan serpihan kecil aluminium yang disimpan dalam tabung. Chaff ditembakkan dari meriam kapal atau dalam roket peluncur. Saat mencapai jarak tertentu, tabung itu meledak melontarkan serpihan aluminium, membentuk tirai metal di udara untuk sekian waktu.
Fungsi chaff sesungguhnya untuk membelokkan rudal musuh yang melesat menuju kapal. Saat tabung chaff meledak, radar pada rudal akan tergoda dengan sinyal yang tiba-tiba muncul dan lebih kuat. Alih-alih tetap meluncur ke kapal sasaran, si rudal akan berbelok untuk menghantam tabir chaff yang dikira kapal lawan yang lebih menggiurkan.
Tipuan ini juga yang diberikan Inggris pada awak pesawat pengintai Argentina. Saat pesawat itu mendekat, kapal-kapal Inggris akan buru-buru menembakkan chaff ke berbagai penjuru dan kembali menembakkannya ketika tirai aluminium sebelumnya mulai pudar.
“Radar pesawat Argentina mengira kami terdiri atas 25 kapal perang bukan 15 kapal. Di lain waktu, mereka pikir ada 20 kapal bukan 10 kapal,” kenang Woodward dalam memoirnya.
AL Argentina kemudian tak pernah bereaksi atas pelayaran gelombang demi gelombang gugus tempur laut Inggris tersebut. Intelijen Inggris mengabarkan, kapal-kapal perang lawan hanya hilir mudik di perairan teritorial Argentina tidak langsung meluncur ke laut lepas.
Meski begitu, pada akhirnya apa yang ditakutkan oleh Woodward tetap menjadi kenyataan. Awal Mei, ketika gugus utama kapal perang Inggris―termasuk Hermes dan Invincible―telah berada di bibir TEZ, timur Falkland, kapal-kapal perang Anaya mulai mendekat.
Dari barat laut sisi utara Falkland, meluncur kapal induk De Mayo. Dia dikawal lima kapal perang. Kepastian itu diperoleh dari pilot Sea Harrier saat berpatroli mengamankan armada. Malangnya, dua kapal selam Inggris, Splendid dan Spartan yang ditugaskan berpatroli di sisi utara dan barat Falkland tak jua berhasil mengendus keberadaan kelompok tempur lawan itu.
Di saat yang bersamaan di barat daya Falkland, mendekat penjelajah General Belgrano didampingi dua kapal pengawal yang dipastikan dilengkapi Exocet. Untungnya, ketiganya berhasil diendus dan terus dibuntuti kapal selam Conqueror.
“Kami tidak takut berduel dengan kelompok kapal induk lawan. Namun jika lawan menjepit dari dua penjuru, ini lain cerita,” tulis Woodward kemudian di catatan hariannya. Sudah jelas, Argentina mengincar kedua kapal induk Inggris. Apalagi bagi Inggris, Hermes dan Invincible adalah jantung kekuatan perangnya.
Pesawat-pesawat Harrier dari Hermes yang bertugas untuk membombardir pasukan darat lawan di Falkland, juga melindungi kapal-kapal Inggris yang dilepaskan dari kelompok untuk tugas tertentu. Sementara Harrier di Invincible bertugas untuk mengawal kedua kapal induk dari serangan pesawat musuh.
Bila kehilangan satu kapal induk, persentase keberhasilan Operasi Corporate bakal melorot di bawah 50 persen. Jika Inggris kehilangan keduanya, permainan usai. Seluruh armada Inggris harus balik kanan, pulang kampung.
Woodward kemudian mengambil keputusan penting yang kemudian membuat Inggris banyak dihujat. Conqueror segera menenggelamkan Belgrano, kapal perang sepanjang 185 meter itu, dengan torpedo. Meski posisi Conqueror masih beberapa puluh mil di luar batas zona perang, TEZ.
Sejak itu, Anaya menarik seluruh kapal perangnya ke pangkalan. Dia tak mau ambil risiko kapal perangnya tenggelam ditorpedo kapal-kapal selam Inggris. Inggris pun sedikit lega. Ancaman bagi kapal-kapal perangnya tinggal pesawat-pesawat tempur Argentina.
***
Dua hari setelah Belgrano tenggelam, kelompok tempur Hermes-Invincible kembali berpatroli di timur Falkland. Di barat, tiga destroyer tipe 42, Coventry, Glasgow, dan Sheffield mendapat giliran piket sebagai “benteng” bagi kedua kapal induk.
Piket jaga itu berlangsung monoton meski penuh ketegangan. Seorang kelasi di geladak Sheffield tiba-tiba melihat cahaya yang menyisakan jejak asap jingga melesat menuju lambung Sheffield. Rudal Exocet. Terlambat.
Seorang kelasi di geladak Sheffield tiba-tiba melihat cahaya yang menyisakan jejak asap jingga melesat menuju lambung Sheffield.
Beberapa detik kemudian, ledakan keras mengguncang kapal. Sebanyak 20 pelaut tewas. Puluhan lainnya luka-luka bakar. Sheffield tak tenggelam. Namun, kerusakan telah begitu parah. Kapal itu tak tertolong.
Kasus Sheffield adalah konsekuensi dari tugas piket kapal pengawal Hermes dan Invincible. Itu pula yang dialami kapal barang Atlantic Conveyor beberapa hari kemudian. Keduanya tenggelam. Namun itu adalah harga yang harus dibayar agar Inggris dapat terus bertempur.
Di sisi lain, kejadian tersebut membuka mata terhadap tidak andalnya teknologi sistem pertahanan kapal-kapal perusak tipe 42 Inggris. Kapal-kapal itu sebenarnya dilengkapi sistem pertahanan diri terhadap pesawat musuh dengan ujung tombak rudal antipesawat jarak jauh Sea Dart.
Para pilot dua Super Etendard Argentina yang menyerbu, Letnan Kolonel Augusto Bedacarratz dan Letnan Armano Mayora ternyata mendekati gugus tugas Hermes-Invincible dengan terus-menerus terbang rendah.
Hanya setiap lima menit sekali, kedua penerbang AL itu menaikkan pesawat sedikit, hingga ketinggian 36 meter sambil menyalakan radar. Hanya beberapa detik untuk kemudian kembali terbang sangat rendah, pop up.
Dengan jurus itu, keduanya tetap bisa merujuk keberadaan kapal-kapal Inggris. Setelah cukup dekat, mereka melepaskan Exocet. Satu menembus Sheffield, satu lagi luput.
Kapal tipe 42 Inggris bungkam karena radar mereka tak mampu menjejak pesawat―sasaran kecil―yang terbang amat rendah di balik cakrawala (lebih dari 50 mil laut atau 92 kilometer).
Kapal tipe 42 Inggris bungkam karena radar mereka tak mampu menjejak pesawat.
Sheffield dan kapal setipenya pun punya senjata pertahanan terbatas. Mereka tak dilengkapi Sea Wolf, rudal jarak dekat pencegat rudal lawan. Sebaliknya, kapal perusak tipe 22 seperti HMS Broadsword dan Boxer hanya dilengkapi Sea Wolf.
Prajurit sebagai aset berharga
Berkaca pada kejadian Sheffield, Inggris selalu menduetkan kapal tipe 22 dan 42 saat melindungi pendaratan pasukan di Teluk San Carlos. Namun begitu, taktik itu sering juga gagal dan harus dibayar mahal dengan rusak atau tenggelamnya kapal perang Inggris yang dibom pesawat-pesawat tempur lawan.
Pintu-pintu tabung peluncur Sea Dart misalnya, sering macet akibat air laut yang membeku. Air laut beku juga terkadang melumpuhkan sensor sistem rudal tersebut. Adapun reaksi rudal Sea Wolf terkadang terlambat.
Akurasi keduanya pun rendah. Komputer pengendali peluru-peluru kendali itu tak bisa mengunci lawan secara simultan. Di saat sistem pengendali Sea Dart mengunci satu pesawat musuh, sistem tersebut baru bisa beralih ke pesawat lain jika pesawat pertama telah lumpuh dihajar rudal.
Dalam kondisi itu, para prajurit terbukti sebagai aset paling berharga dan tak tergantikan dalam perang. Pada hari pertama pendaratan di teluk San Carlos misalnya, kapal pengawal pendaratan, pergata HMS Ardent menjadi bulan-bulanan pesawat tempur Argentina. Kapal itu tenggelam.
Namun setidaknya, perlawanan diberikan dengan merontokkan satu penyerbu, A4 Skyhawk. Pesawat serang darat itu tidak dijatuhkan dengan rudal Seacat. Adalah kelasi John Leake yang melakukkannya lewat siraman peluru senapan mesinnya.
Pada hari-hari selanjutnya, seringkali siraman senapan mesin para kelasi kapal menjadi jurus paling manjur mencegah pesawat Argentina melintasi kapal untuk melepas bom, seperti yang dilakukan awak kapal perusak HMS Brilliant saat piket di mulut utara Selat Falklad Sound, 25 Mei.
Pesawat tempur Argentina berkelit menghindar, tetapi memberi kesempatan radar rudal Brilliant menguncinya. Alhasil, Sea Wolf memperoleh mangsanya, dua pesawat musuh pun rontok.
Keberanian prajurit sebagai aset menentukan juga dibuktikan Woodward, beberapa hari sebelum pendaratan pasukan 20 Mei. Petinggi gugus tempur, Woodward dan Mayor Jenderal Jeremy Moore (panglima pasukan darat) sepakat, teluk San Carlos adalah titik pendaratan Inggris.
Teluk berbentuk tapal kuda itu dilindungi perbukitan dan jauh dari lokasi pertahanan pasukan darat lawan. San Carlos ada di sisi barat Pulau Falkland Timur. Untuk mencapainya, kapal-kapal Inggris harus lebih dulu melewati Selat Falkland Sound yang memisahkan Pulau Falkland timur dan barat.
Namun prasyarat yang harus dipenuhi sebelum operasi pendaratan dilaksanakan adalah, alur dalam selat itu dipastikan bebas dari ranjau laut yang mungkin sudah disebar oleh Argentina.
Masalahnya, gugus tempur Inggris tak membawa satu pun kapal penyapu ranjau. Sebagaimana lazimnya, kapal-kapal pemburu dan penyapu ranjau Inggris juga berukuran kecil, rata-rata di bawah 1.000 ton bobot matinya.
Kapal seperti itu tak mungkin dipaksa berlayar bersama gugus tempur mengarungi samudra Atlantik Selatan yang gulungan ombaknya menggila, menjelang musim dingin. Kapal penyapu ranjau dapat saja berlayar menyusuri pesisir Afrika hingga ujung selatannya, lalu menyeberang ke barat untuk bergabung dengan gugus tugas di sekitar Falkland.
Namun, kecepatan yang lambat, maksimal hanya 16 knot membuat kapal tersebut tak mungkin memburu jadwal pertempuran.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah mengirim salah satu kapal perang melintasi selat, kapal itu harus bermanuver ugal-ugalan, meliuk kiri-kanan. Jika sial, kapal itu akan meledak menabrak ranjau. Jika selamat, berarti selat aman dan operasi pendaratan untuk mendapatkan pancangan pantai bisa dilaksanakan.
Keberanian HMS Alacrity
Pergata tipe 22 tak mungkin dikorbankan. Mereka punya peluru kendali Sea Wolf yang amat dibutuhkan. Destroyer tipe 42 apalagi. “Aku memerlukan kapal yang murah, yang perannya bisa tergantikan, seperti pergata tipe 21, berbobot 3.000 ton. Seperti HMS Alacrity,” kata Woodward dalam memoarnya.
Menyuruh nakhoda Alacrity Letnan Kolonel (Commander) Christopher Craig dan awaknya melaksanan misi “kamikaze” tentu tidak mudah. Sekian waktu, Woodward berlatih untuk mengucapkan perintah seperti itu. Pada akhirnya, dari anjungan HMS Hermes yang menjadi markasnya, sang laksamana menghubungi Craig lewat jaringan yang sinyalnya dikirim dalam gelombang acak.
“Er… Christopher, saya berharap kamu melaksanakan pelayaran berkeliling (circumnavigation) di Falkland Timur malam ini. Kamu berlayar ke selatan, lalu kembali ke utara Falkland Sound, lalu melewati Fanning Head (tanjung di ujung timur laut Falkland Timur) untuk berkumpul dengan HMS Arrow,” kata Woodward menjelaskan.
Sang Panglima menambahkan, selama pelayaran itu, Alacrity harus membuat gaduh. Menembakkan peluru-peluru suar untuk menakut-nakuti lawan yang mungkin berjaga di pesisir Falkland Timur ataupun Falkland Barat sepanjang selat.
“Jika ada yang bergerak, tembak. Tenggelamkan,” ujar Woodward menutup perintahnya.
Untuk beberapa jurus waktu, Craig diam tak berkomentar.
“Umm, Laksamana. Saya berharap, Anda berkenan mengizinkan saya untuk tidak hanya sekali bolak-balik di selat hingga pintu masuk bagian utara. Tapi juga diizinkan melakukan pelayaran zig-zag,” kata Craig kemudian.
“Oh,” jawab Woodward terkejut. “Mengapa kamu meminta begitu?”
“Saya harap, Panglima berkenan mengizinkan saya untuk memastikan, apakah di selat itu ada ranjau laut atau tidak,” jawab Craig, tanpa diduga.
Terlaksananya pendaratan belasan ribu pasukan Inggris di Falkland adalah berkat keberanian awak HMS Alacrity mengorbankan diri sewaktu-waktu meledak oleh ranjau di Selat Falkland Sound. Ini ibarat, seseorang rela memastikan sebuah lintasan jalan bebas paku dan beling dengan berguling-guling di lintasan itu.
***
Alhasil pada 14 Juni 1982, pasukan darat Inggris berhasil memaksa Argentina menyerah kalah setelah tiga hari mengepung pertahanan terakhir―dan terkuat―mereka di Port Stanley.
Perang Malvinas juga akhirnya memberi banyak pelajaran bagi perkembangan peralatan perang, khususnya di ranah angkatan laut.
Sebelum perang itu, Inggris dan sejumlah negara lain terus mengembangkan penggunaan aluminium dalam membangun kapal. Frigat tipe 21 Inggris misalnya, dibentuk dari 750 ton baja dan 120 ton aluminium. Namun, HMS Sheffield membuktikan, aluminium cepat meleleh dan memicu kebakaran pada jaringan kabel listrik dan peralatan vital lainnya.
Sistem pertahanan antirudal berbasis peluru kendali pun terbukti tidak efektif. Karena perang di Falkland itulah, produsen persenjataan kapal mengembangkan sistem pertahanan baru. Sistem itu berupa meriam kaliber relatif kecil multilaras yang mampu menghamburkan ribuan peluru dalam tempo singkat. Sistem itu menghasilkan tirai proyektil hingga beberapa kilometer dari kapal, dan akan meledakkan rudal―atau pesawat―penyerbu yang telah hadir begitu dekat.
Para produsen pun terus mengembangkan radar kapal yang mampu menjejak musuh saat masih di balik cakrawala.
Hanya saja dari semuanya, pelajaran paling berharga adalah keberanian, keterampilan, dan profesionalisme prajuritlah yang akan menentukan kemenangan dalam perang. Prajurit, penerbang, dan pelaut militer Inggris membuktikan itu.
Sebaliknya, para prajurit Argentina di daratan Falkland cepat menyerah, kapal-kapal AL-nya tak berani bertarung di laut lepas dan tak bisa melepaskan rasa takut atas “hantu” kapal selam musuh.
Walau penerbang tempur Argentina pun dipuji lawan atas keberanian tempur mereka.
Sibuk berpolitik
Berbeda dari Inggris, militer Argentina lebih sibuk dengan politik kekuasaan di dalam negeri dibandingkan berlatih. Selama tujuh tahun pemerintahan junta militer, angkatan perang Argentina lebih banyak difungsikan untuk menekan dan membungkam unjuk rasa dan protes, termasuk dengan membunuh 9.000 warga negaranya sendiri.
Militer Argentina lebih sibuk dengan politik kekuasaan di dalam negeri dibandingkan berlatih.
Perang Falkland atau Malvinas adalah perang laut―setidaknya yang bertumpu pada kekuatan armada angkatan laut―satu-satunya pascaPerang Dunia II. Tidak ada lagi perang laut di belahan dunia manapun setelah itu.
Hanya saja, potensi pecahnya perang laut justru hadir tidak jauh dari kita. Sejumlah negara: China, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Taiwan terus saja saling berebut klaim atas gugusan pulau karang kecil di tengah-tengah Laut China Selatan.
Dunia berharap, gesekan itu tak membesar lalu pecah menjadi perang laut. Namun, bagi militer di negara-negara tersebut, termasuk bagi negeri kita, Indonesia, bersiap untuk sewaktu-waktu menghadapi pertempuran adalah sebuah doktrin. Apapun, Perang Falkland agaknya akan selalu menjadi rujukan dan pelajaran berharga.
Referensi:
One Hundred Days, Admiral Sandy Woodward dan Patrick Robinson, Harper Press, London, 2012.
Fight For The Falklands!, John Laffin, Sphere Books, 1982
Argentina, Illusions & Reality, Gary W Wynia, Holmes & Meier, New York, 1986.
Jane’s Fighting Ships 1981-1982, Captain John Moore (ed), Jane’s, London, 1981