Dua Hakim Konstitusi Ini Setuju “Presidential Threshold” Dihapus
Oleh
Susana Rita
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dua dari sembilan hakim konstitusi, Saldi Isra dan Suhartoyo, setuju jika norma syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dihapus. Alasannya, ketentuan ambang batas pencalonan presiden itu bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
Pendapat tersebut terungkap dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 53/PUU-XV/2017 yang dibacakan dalam sidang pleno terbuka 11 Januari 2018 lalu. MK menjawab permohonan uji materi yang diajukan Partai Islam Damai Aman (Idaman) yang diwakili Ketua Umum Rhoma Irama dan Sekretaris Jenderal Ramdhansyah. Pertimbangan dalam putusan itu sekaligus digunakan dalam lima perkara lain yang diajukan mengenai persoalan yang sama, termasuk yang diajukan oleh sejumlah pegiat pemilu seperti Hadar N Gumay, Titi Anggraini.
Saat itu, MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan Partai Idaman. Tujuh hakim konstitusi menyatakan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Pemilu itu konstitusional dan sesuai dengan semangat constitutional engineering yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yakni mendorong penguatan sistem presidensial melalui penyederhanaan partai.
Adapun Pasal 222 UU Pemilu itu berbunyi “Pasangan calon presiden dan/atau calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Berikut ini merupakan pertimbangan hukum yang diajukan Saldi dan Suhartoyo dalam dissenting opinion-nya yang dikutip dari putusan MK nomor 53/PUU-XV/2017.
Sebelum sampai pada persoalan ambang batas pencalonan presiden, Saldi dan Suhartoyo merujuk pada dua permasalahan konstitusional mendasar di dalam UU Pemilu. Pertama, terkait pelaksanaan pemilu yang mengacu pada Pasal 3 UU Nomor 42 Tahun 2008 dipisahkan antara pemilu legislatif dengan pemilu presiden. Ketentuan ini sudah dijawab dengan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan “baik dari sisi penafsiran original intent maupun penafsiran sistematis dan penafsiran gramatikal secara komprehensif, pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan serentak dengan pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan.” Putusan MK tersebut mengembalikan pemilu dalam semangat Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945.
Selanjutnya, persoalan konstitusionalitas kedua setelah pemilu dinyatakan serentak adalah masalah ambang batas pencalonan presiden. Dalam putusan sebelumnya (14/PUU-XV/2014), ketentuan ambang batas pencalonan presiden disebut menjadi “kewenangan pembentuk undang-undang dengan tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945” untuk mengaturnya. Dengan demikian, pengaturan mengenai syarat ambang batas pencalonan presiden menjadi wilayah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang-undang.
Kembali ke teks asli UUD
Menurut Saldi dan Suhartoyo, dalam memformulasikan Pasal 222 UU Pemilu, pembentuk undang-undang telah mengabaikan putusan MK Nomor 14/PUU-XV/2013. Pemerintah dan DPR berhenti memaknai putusan MK hanya pada kalimat bahwa syarat jumlah kursi dan jumlah suara partai politik sebagai syarat mengajukan calon presiden menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Padahal, ada frasa “tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945” sehingga seharusnya pemerintah dan DPR harus memperhatikan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan (2), Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 28 D ayat (1) dan (3). Pasal-pasal itu mengamanatkan jaminan hak yang sama bagi setiap partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Berbeda dengan para hakim lainnya, bagi Saldi dan Suhartoyo, pandangan mengenai desain penyederhaan parpol tidak diatur dalam konstitusi dan hanya dalam wilayah pemaknaan atau fafsir. Menurut mereka, jika teks konstitusi mengatur secara eksplisit atau tegas (expresis verbis), maka tertutup celah untuk menafsirkan secara berbeda dari teks yang ditulis dalam konstitusi. Oleh karena itu, sebagai penjaga sekaligus pelindung hak konstitusional warga negara (termasuk di dalamnya hak konstitusional parpol), MK harus meluruskan bila pembentuk UU membelokkan atau menggeser teks konstitusi kepada teks yang sebagaimana mestinya.
Hak konstitusional partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden secara tekstual dan eksplisit dijamin Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Hak konstitusional partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden secara tekstual dan eksplisit dijamin Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
“Dengan demikian, sulit diterima penalaran yang wajar apabila Mahkamah Konstitusi mendahulukan tafsir design penyederhanaan partai politik yang sama sekali tidak diatur di dalam UUD 1945 dibandingkan dengan pemenuhan hak konstitusional partai politik peserta pamilu untuk mengusulkan calon presiden (wakil presiden) yang diatur eksplisit dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,” demikian tertulis dalam putusan MK halaman 140.
Lebih lanjut Saldi dan Suhartoyo menyatakan, mempertahankan ketentuan ambang batas pencalonan presiden sama dengan memelihara sesuatu yang inkonstitusional.
Maria Farida Indrati
Berbeda dengan Suhartoyo dan Saldi, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati secara konsisten menyatakan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden konstitusional dan merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.
Sikap Maria Farida ini terlihat dalam tiga putusan MK, yaitu putusan nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, 14/PUU-XI/2013, dan 53/PUU-XV/2017.
Dalam putusan nomor 51-52-59, MK menolak permohonan sejumlah partai politik yang mempersoalkan Pasal 3 UU 42/2008 tentang pelaksanaan pemilu presiden dan legislatif yang terpisah dan Pasal 9 UU 42/2008 tentang ambang batas pencalonan presiden. Saat itu, hanya tiga hakim konstitusi yaitu Abdul Mukhtie Fajar, Akil Mochtar, dan Maruarar Siahaan yang setuju dengan keserentakan pelaksanaan pemilu dan penghapusan ambang batas presiden. Maria ketika itu sependapat dengan mayoritas hakim yang mempertahankan pemisahan pemilu legislatif dengan pemilu presiden dan ketentuan ambang batas.
Pada akhirnya, pada 23 Januari 2014, MK mengubah pandangannya mengenai pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden dalam putusan nomor 14/PUU-XI/2013. Delapan hakim konstitusi yang setuju dengan pemilu serentak, hanya Maria Farida yang bertahan dengan pandangannya mengenai pemisahan pemilu legislatif dan presiden. Soal ambang batas, ia pun berpendapat bahwa ketentuan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Maria konsisten dengan pendapatnya pada tahun 2008.
Dalam putusan MK terakhir mengenai hal yang sama, tepatnya pada 11 Januari 2018, sikap Maria Farida tidak berubah. Ia berada di antara para hakim (tujuh hakim) yang menyatakan ketentuan ambang batas pencalonan presiden sesuai dengan semangat konstitusi untuk menguatkan sistem presidensial yang antara lain dilakukan dengan penyederhanaan parpol.