JAKARTA, KOMPAS – Di tengah maraknya isu radikalisme saat ini, masih banyak generasi muda yang tekun menyuarakan perdamaian dan cinta kasih melalui ajaran agama. Gerakan ini perlu terus didukung dan disebarluaskan untuk meredam paham radikalisme yang kian menguat di tengah kalangan muda.
Mutiara Citra Mahmuda (21) salah satunya. Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menilai generasi muda memiliki kekuatan yang besar untuk melawan gerakan radikal di masyarakat. "Generasi muda itu bisa jadi agen untuk menyuarakan nilai-nilai perdamaian dan welas asih (cinta kasih) melalui ajaran agama, termasuk ajaran agama Islam," katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin (18/6/2018).
Mutiara mengungkapkan, dirinya lebih sering mendapati konten yang membawa ajaran Islam berdampingan dengan terorisme dan kekerasan. Namun, ia yakin sebaliknya, Islam merupakan agama penuh belas kasih dan rahmat bagi alam semesta.
Mutiara yakin, Islam merupakan agama penuh belas kasih dan rahmat bagi alam semesta.
Senada dengan Mutiara, Ahmad Suhaimi (24), mahasiswa program pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyatakan, kaum muda harus lebih masif bergerak menyuarakan Islam yang ramah, welas asih, dan penuh cinta kasih.
"Mayoritas umat Islam yang pro antiradikalisme justru lebih banyak diam. Melalui gerakan anak mudalah, para silent mayority ini \'dibangunkan\' untuk bersama menyuarakan Islam yang penuh cinta," katanya.
Ahmad bependapat, pemahaman radikal sebenarnya muncul karena adanya pemahaman Islam yang tidak utuh dan bersifat tekstual. Misalnya, pemahaman ayat-ayat Al Quran tentang jihad yang hanya dimaknai sebagai perang. “Padahal bekerja untuk keluarga dan menuntut ilmu juga termasuk bentuk jihad,” tuturnya.
Mutiara dan Ahmad tergabung dalam Gerakan Islam Cinta (GIC). Gerakan ini dibentuk sebagai respons kaum Muslim terhadap fenomena intoleransi dan radikalisme yang mengatasnamakan agama. Setidaknya terdapat 40 tokoh Muslim yang menjadi deklarator gerakan ini, seperti Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, Ahmad Syafii Maarif, Alwi Shihab, dan Haidar Bagir. Sekitar 10.000 anak muda pun tergabung di dalamnya.
Gerakan Islam Cinta dibentuk sebagai respons kaum Muslim terhadap fenomena intoleransi dan radikalisme yang mengatasnamakan agama.
"GIC ini dibangun untuk menyerukan kepada masyarakat luas bahwa Islam adalah agama cinta atau rahmah, damai atau salam, dan welas asih. Pemahaman seperti inilah yang harusnya disuarakan lebih keras lagi kepada masyarakat, terutama kepada kaum muda,” ujar Eddy Aqdhiwijaya, salah satu anggota tim penggerak GIC.
Menurutnya, ada dua hal utama yang menyebabkan generasi muda rentan terpapar paham radikalisme. Pertama, minimnya promosi konten-konten agama Islam yang damai di lingkungan anak muda. Kedua, kurang dihadirkan figur-figur dan teladan yang membawa prinsip kedamaian pada ajaran Islam.
Oleh karena itu, Gerakan Islam Cinta diharapkan bisa menjadi solusi atas kedua hal tersebut. Melalui gerakan ini, generasi muda juga diberikan ruang untuk menunjukkan eksistensi diri mereka. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain, Festival Islam Cinta yang diselenggarakan di sejumlah universitas di Indonesia, diskusi agama, pementasan musik, serta pembacaan puisi.
“Untuk menarik minat generasi muda itu butuh konsep yang singkat tapi memikat dan konten yang sederhana tapi penuh makna. Mereka juga butuh wadah untuk menunjukkan eksistensi mereka di masyarakat. Melalui beberapa kegiatan tersebut, generasi muda dilibatkan secara aktif untuk menyebarkan perdamaian di dunia, ucap Eddy.