Setelah usul penunjukan perwira tinggi Polri jadi pejabat sementara kepala daerah dibatalkan Menko Polhukam Wiranto, lima bulan kemudian, Mendagri Tjahjo Kumolo melantik tiga pati Polri mengisi kekosongan Gubernur Jawa Barat, Sulawesi Barat, dan Sumatera Utara.
JAKARTA, KOMPAS Menteri Dalam Negeri berkeras mengangkat perwira tinggi aktif Kepolisian Negara RI menjadi pejabat sementara kepala daerah di Jawa Barat, Sulawesi Barat, dan Sumatera Utara. Ketiga pati Polri yang ditunjuk sebagai pejabat sementara itu, selain Komisaris Jenderal M Iriawan, adalah Inspektur Jenderal Carlo Tewu, dan Inspektur Jenderal Martuani Sormin.
Walaupun ditempuh dengan jalan memutar untuk memuluskan rencana tersebut, langkah pemerintah memunculkan kritik sejumlah kalangan. Feri Amsari, pengamat Hukum Tata Negara Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Senin (18/6/2018), mengatakan, pengangkatan pati Polri aktif sebagai pejabat sementara gubernur adalah upaya melarikan lembaga kepolisian dari tugas konstitusionalnya penjamin keamanan dan ketertiban masyarakat.
Bahkan, meski Iriawan sudah jadi Sekretaris Utama di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), hal tersebut tak serta-merta menghilangkan garis komando. ”Ini menimbulkan kesan mencari-cari alasan pembenaran. Tentu ini tak baik bagi demokrasi,” kata Feri lagi.
Ray Rangkuti, pengamat politik dari Lingkar Madani, menyatakan hal senada. Penunjukan ketiga pati Polri bisa kontroversial. Pasalnya, pemerintah mengabaikan protes masyarakat yang menolak penunjukan TNI/Polri pada jabatan sipil di daerah.
Menurut Ray, meski Kementerian Dalam Negeri punya dasar keyakinan, seharusnya pemerintah tak melupakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, khususnya larangan rangkap jabatan di luar tugas polisi. ”Kalaupun harus bertugas di institusi lain, pati polisi harus menempati posisi atau tugas berkaitan dengan tugas kepolisian, seperti di Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Teror, dan lainnya,” ujarnya.
Pasal 28 Ayat 3 UU No 2/2002, tambah Ray, juga menegaskan polisi hanya bisa bertugas di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. Kritik sebelumnya juga pernah dilontarkan berbagai kalangan saat Mendagri Tjahjo Kumolo mengusulkan pati TNI/Polri mengisi kekosongan kepala daerah yang habis masa jabatannya pada Januari lalu. Waktu itu, Mendagri usulkan Iriawan, yang masih Asisten Operasi Polri, dan Martuani sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri jadi Pjs Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara. Usulan itu kemudian tenggelam setelah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto membatalkan.
Siap tanggung jawab
Namun, kemarin, Mendagri Tjahjo melantik Iriawan di Bandung sebagai Pjs Gubernur Jabar menggantikan Ahmad Heryawan yang 13 Juni selesai.
”Banyak perwira aktif TNI dan Polri di kementerian dan lembaga, dari direktur jenderal sampai pimpinan lembaga. Kemarin, Irjen Carlo Tewu juga diangkat jadi Pjs Gubernur Sulawesi Barat. Semuanya sesuai aturan,” katanya.
Tjahjo menambahkan, ”Kalau pengangkatan ini melanggar hukum, saya siap tanggung jawab ke Presiden.” Menurut dia, ada tiga aturan melandasi kebijakannya. Selain UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU No 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal 201 UU Pilkada menyebutkan, untuk mengisi kekosongan, diangkat pjs gubernur dari jabatan pimpinan tinggi madya. Dasar hukum lainnya, penjelasan Pasal 19 Ayat (1) huruf b UU No 5/2014.
Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud pimpinan tinggi madya di antaranya sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan, sekjen lembaga nonstruktural, inspektur jenderal, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, dan sekretaris daerah provinsi.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar menambahkan, Pasal 4 Ayat 2 Peraturan Mendagri Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi Gubernur, Wagub, Bupati, Wabup, Wali Kota dan Wakil Wali Kota menyatakan, pjs gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di pusat atau provinsi.
Saat dihubungi, Iriawan menegaskan, dirinya tak akan korbankan kariernya, dan mencoreng namanya sebagai putra daerah Jabar, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang baru diembannya. ”Saya di Polri sejak 1984 dan sekarang hampir di pengujung karier. Apa mungkin saya hancurkan karier yang susah payah saya titi hampir 34 tahun? Saya juga ingin mengukir nama baik dan sukses sebagai Pjs Gubernur,” ujarnya, menepis tuduhan ia tak akan netral dalam Pilkada Jabar mendatang.
Secara terpisah, Gubernur Lemhannas Agus Widjojo mengatakan, penunjukan Iriawan adalah tugas Presiden Joko Widodo. Dalam perspektif ini, penunjukan itu tak bisa ditolak. ”Ini ada keputusan presiden-nya, kami tak berada pada lingkup kewenangan menjawab alasan politik,” kata Agus.
Saat ditanya, Wakil Kepala Polri Komjen Syafruddin mengatakan, pihaknya juga tidak pada tataran mengomentari pelantikan Iriawan. Pasalnya, Iriawan tak lagi di Polri.
Prosedural
Terkait penunjukan Martuani sebagai Pjs Gubernur Sumut, pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumut, Mirza Nasution, mengatakan, penunjukan Martuani secara prosedur formal telah dilakukan dengan baik.
Ketua KPU Provinsi Sumut Mulia Banurea menyatakan, pihaknya menyambut baik siapa pun yang ditunjuk Kemendagri sebagai Pjs Gubernur.