KRL Perlu Strategi Baru
Target 1,2 juta penumpang KRL per hari segera terwujud. Setelah target terlampaui, perlu strategi lain mengantisipasi pertumbuhan penumpang.
JAKARTA, KOMPAS - Pada 14 Mei 2018, jumlah penumpang KRL mencapai rekor tertinggi yakni 1.154.080 penumpang per hari. Adapun rata-rata 1 juta penumpang KRL per hari.
“Kemungkinan besar tahun ini target 1,2 juta penumpang KRL per hari akan terlampaui,” kata Direktur Utama PT KAI Commuter Indonesia (KCI) Wiwik Widayanti, pekan lalu.
Tujuh tahun silam, saat target penumpang itu ditetapkan, kondisi KRL jauh berbeda. Kala itu, ada 3 kelas pelayanan KRL yakni KRL ekspres, KRL AC, dan KRL ekonomi non-AC. Susul-menyusul antarrangkaian kereta pun jamak.
Penumpang harus memastikan tiketnya sama dengan kelas kereta yang dinaiki.
Di rangkaian KRL ekonomi, penumpang bebas bergelantungan di pintu-pintu yang terbuka saat kereta teramat padat. Bahkan, ada juga penumpang yang duduk manis di atap kereta. Sejumlah kasus penumpang tersengat listrik pernah terjadi.
Penumpang tak bertiket pun bisa menyelinap di dalam padatnya kereta dan arus penumpang keluar-masuk stasiun. Saat itu, tiket KRL berupa kertas yang disobek atau tiket berlangganan yang juga terbuat dari kertas.
Selain itu, rute KRL amat banyak. Karenanya, persinggungan antarKRL terjadi di banyak titik. Sebagai contoh, KRL dari Bekasi-Jatinegara bisa “menyeberang” menuju Stasiun Tanah Abang. Saat satu rangkaian “menyeberang”, perjalanan KRL dari Bogor maupun dari Cikini harus dihentikan. Hal ini menyebabkan waktu tunggu (headway) KRL jadi panjang.
Kini, cerita lama itu tidak terdengar. KRL kini tinggal satu kelas saja, sehingga penumpang bebas naik-turun KRL yang berhenti di depannya. Rute KRL disederhanakan, mengurangi tumpang tindih.
Pintu kereta juga harus ditutup sehingga penumpang tidak bisa lagi bergelantungan di pintu maupun duduk di atap. Sistem tiket dibuat elektronik, dengan kartu tiket terbitan sejumlah bank maupun terbitan KCI.
Kondisi stasiun juga membaik. Area peron lebih lapang untuk penumpang. Dulu, banyak peron stasiun ramai oleh pedagang.
Perpanjangan layanan hingga Stasiun Rangkasbitung di Kabupaten Lebak dan Cikarang di Kabupaten Bekasi juga mendongkrak jumlah penumpang.
Peningkatan pelayanan tak dipungkiri menarik pengguna KRL. Pada 2013 KRL mengangkut 325.438 pengguna per hari, kini rata-rata 1 juta pengguna sehari.
Sarana-prasarana
Wiwik mengatakan, penambahan jumlah unit kereta listrik terus dilakukan untuk mengantisipasi pertumbuhan penumpang. Perpanjangan rangkaian kereta juga diteruskan. Saat ini, sejumlah 47 rangkaian KRL terdiri dari 10 kereta (SF 10), 42 rangkaian SF 12, 6 rangkaian SF 8, 3 rangkaian SF 4.
Akhir tahun 2020, rencananya SF 12 ditambah menjadi 48 rangkaian dan SF 8 dikurangi menjadi 4 rangkaian. Dengan demikian, kapasitas angkut bisa ditambah. Peron di sejumlah stasiun juga harus diperpanjang untuk mengakomodasi KRL SF 12.
Penambahan kereta juga membutuhkan tambahan tempat penyimpanan kereta. Hal ini, menurut Wiwik, yang memungkinkan dilakukan menghadapi pertumbuhan penumpang lebih 1,2 juta penumpang per hari.
"Dengan kondisi prasarana saat ini, sulit bagi kami untuk menambah perjalanan KRL. Sebab, lintas sudah jenuh," katanya.
Di hampir semua lintas, menurut Wiwik, perjalanan KRL harus berbagi dengan KA penumpang jarak jauh, KA barang, dan KA bandara. Sementara, pembangunan jalur dwiganda (double double track) Bekasi-Manggarai belum selesai.
Kalaupun jalur dwiganda rampung, tidak serta-merta perjalanan KRL bisa ditambah karena jalur lain masih digunakan bergantian KRL dan jenis kereta lain. Karenanya, jumlah perjalanan KRL yang kini mencapai 928 perjalanan per hari, sulit untuk ditambah lagi.
Selain itu, pelintasan sebidang juga masih jadi persoalan. Penghapusan pelintasan sebidang penting untuk meningkatkan keselamatan perjalanan. Terakhir, 17 Juni lalu, sebuah mobil tertabrak KRL di pelintasan sebidang Jalan Benteng Betawi, dekat Stasiun Batu Ceper, Kota Tangerang. Tiga orang meninggal dalam kejadian ini.
Dihubungi terpisah, Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Bambang Prihartono mengatakan, peningkatan jumlah pengguna KRL perlu diimbangi peningkatan prasarana.
“Untuk mencapai target 2 juta penumpang KRL per hari pada 2019, perlu elevated loopline (jalur lingkar layang) agar headway (waktu tunggu kereta) bisa dipersingkat menjadi 3 menit,” ujarnya, Senin pekan lalu.
Jalur lingkar menghubungkan Stasiun Manggarai-Tanah Abang-Duri-Kampung Bandan- Kemayoran-Pasar Senen-Manggarai. Saat ini, jalur tersebut dilayani dengan jalur di atas tanah (at grade). Jalur itu digunakan KRL, KA penumpang jarak jauh, KA barang, dan KA bandara.
Bambang mengatakan, pembangunan fisik jalur lingkar layang rencananya dimulai tahun 2019. “Sebenarnya kami sudah terlambat membangun elevated loopline karena kemarin ada persoalan regulasi. Tapi, BPTJ sudah mulai memproses (pembangunan jalur layang) itu,” ucapnya.
Pembangunan elevated loopline dilakukan pihak swasta dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Integrasi antaramoda
Untuk memudahkan pengguna KRL, Bambang mengatakan, BPTJ tengah mencari solusi sejak awal pengguna angkutan umum ini berangkat dari rumah hingga ke tujuan (first mile, last mile).
“BPTJ tengah berkoordinasi dengan sejumlah badan untuk mendukung angkutan lanjutan di stasiun,” kata Bambang.
Ditemui terpisah, Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) Budi Kaliwono mengatakan, kebutuhan integrasi antarmoda tidak terelakkan lagi untuk melayani perjalanan penumpang. Karenanya, bus transjakarta juga mengembangkan pelayanan di stasiun-stasiun KRL yang ada di Jakarta. "Hampir semua stasiun (yang ada di Jakarta) sudah dilayani bus transjakarta,” katanya.
Ia mengatakan, bus transjakarta di dekat stasiun diminati penumpang. Di Tebet, misalnya, sekitar 12.000 penumpang transjakarta naik-turun dari halte yang terletak beberapa meter dari pintu keluar Stasiun Tebet.
Di Tanah Abang, ada sekitar 18.000 penumpang transjakarta. Sebagian penumpang juga memakai jasa KRL dari Stasiun Tanah Abang dan sebagian lagi warga yang berbelanja di situ.
Budi mengatakan, sejumlah fasilitas umum masih bisa ditingkatkan untuk memudahkan penumpang berpindah moda angkutan. Salah satunya, membangun jembatan penghubung dari Halte Juanda ke loket lantai 2 Stasiun Juanda. Dengan begitu, penumpang tidak perlu turun-naik tangga saat berganti moda angkutan. “Memang ini tidak mudah karena kerja samanya melibatkan dua institusi yang berbeda kepemilikan yakni BUMN (PT KAI) dan BUMD (Transjakarta),” kata Budi.
Di sisi lain, Budi mengakui ada kendala penambahan armada, seperti Tebet. Pembatasan ini lantaran izin dari Dinas Perhubungan DKI masih mempertimbangkan keberadaan mikrolet di sekitar stasiun itu.