Agnes Theodora, Antonius Ponco Anggoro dan Nicolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Mahkamah Konstitusi diminta segera memutuskan uji materi terkait syarat ambang batas pencalonan presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang didaftarkan pekan lalu. Dengan memperjelas aturan main terkait Pemilihan Presiden 2019 sejak awal, potensi kegaduhan di tingkat elite bisa ditekan apabila gugatan itu nantinya dikabulkan.
Pendaftaran calon presiden dan wakil presiden akan berlangsung pada 4-10 Agustus 2018. Meski saat ini partai-partai politik belum memfinalkan bangunan koalisi dan pasangan calon presiden-wakil presidennya, penjajakan koalisi dan pembicaraan tentang pasangan calon secara serius akan intens dilakukan seusai Pilkada 27 Juni 2018i.
Salah satu pemohon uji materi yang juga pimpinan Komisi Pemilihan Umum 2012-2017 Hadar Nafis Gumay di Jakarta, Senin (18/6/2018), mengatakan, sebelum tahapan pendaftaran berlangsung, MK diharapkan sudah memutus uji materi ambang batas pencalonan presiden. MK diharapkan dapat memproses uji materi itu dalam waktu kurang dari satu bulan atau dua pekan sebelum tenggat pendaftaran capres-cawapres.
”MK sudah berpengalaman memproses putusan dalam waktu singkat, bahkan satu hari. Jadi, seharusnya uji materi kali ini bisa diproses dengan cepat juga, tenggat sudah menunggu,” katanya.
Hadar mengacu pada putusan MK pada 2009 yang memperbolehkan pemegang kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang belum tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) dapat memilih dengan beberapa syarat. Putusan saat itu dikeluarkan untuk menyelamatkan kualitas pemilu akibat kekacauan DPT pemilu.
Permohonan uji materi ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam Pasal 222 UU No 7/2017 tentang Pemilu itu telah didaftarkan secara daring pada Rabu (13/6/2018). Berkas fisik permohonan uji materi akan diserahkan pada Kamis (21/6/2018). Selain perkara yang diajukan oleh 12 orang, termasuk Hadar, Ketua Dewan Pembina Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Habiburokhman juga akan mendaftarkan uji materi pasal yang sama.
Sebelumnya, MK telah menerima 10 permohonan uji materi mengenai norma yang sama. Terakhir, pada 11 Januari 2018, MK tidak menerima 6 permohonan serupa. MK menyatakan, ambang batas pencalonan presiden tidak bertentangan dengan konstitusi.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan, penerapan ambang batas pencalonan presiden telah sesuai dengan desain konstitusi sebagaimana pada Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945. Pasal 222 UU Pemilu perlu dipandang dalam semangat constitusional engineering untuk menguatkan sistem presidensial dan penyederhanaan partai.
Putusan itu tak bulat. Dua hakim konstitusi, Suhartoyo dan Saldi Isra, mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Menurut mereka, ambang batas pencalonan presiden merampas hak konstitusional partai untuk mengajukan calon. Padahal, konstitusi mengamanatkan, tiap partai peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden.
Terkait diuji kembali norma ambang batas pencalonan presiden, Juru Bicara MK Fajar Laksono mempersilakan hal itu dilakukan sejauh memiliki argumentasi yang baru. ”Namanya permintaan boleh-boleh saja, tetapi harus dengan dasar pengujian yang berbeda dan argumentasi berbeda dari perkara yang sudah diputus sebelumnya agar tidak nebis in idem,” katanya.
Dampak
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, meminta MK konsisten dengan putusan yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Jika MK menghapus ambang batas pencalonan presiden, sistem pemerintahan presidensial yang efektif dikhawatirkan tak akan tercapai.
Ia juga khawatir, jika MK menghapus ambang batas pencalonan presiden, tahapan pemilu akan terganggu. Terlebih jika putusan tersebut dikeluarkan setelah pendaftaran capres/cawapres. ” Kalau tahapan terganggu, implikasinya ke kualitas Pemilu 2019. Jika kualitas pemilu terganggu, imbasnya buruk pula untuk kualitas demokrasi,” ujarnya.
Dampak negatif lainnya, berpotensi memicu konflik di antara partai politik. Sebab, saat ini, komunikasi antarpartai sudah intens bahkan koalisi sudah mulai terbangun. Jika kemudian MK menghapuskan ambang batas, bukan tidak mungkin partai yang sudah menyatakan akan bergabung dalam satu koalisi akan memilih mengajukan capres/cawapres sendiri.
Sebaliknya, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menilai kembali digugatnya ambang batas presiden menunjukkan kuatnya kekecewaan publik atas aturan itu dan putusan MK yang menguatkan aturan tersebut sebelumnya. ”Publik tidak menyerah untuk memperjuangkan agar ambang batas itu ditiadakan,” tambahnya.
Ketua KPU Arif Budiman mengatakan, seberapa besar dampak putusan jika ambang batas pencalonan presiden nantinya dihapus terhadap tahapan Pemilu 2019 sangat tergantung pada bunyi putusan MK dan kapan putusan itu berlaku.