Perbaikan Tata Kelola Sawit di Indonesia Belum Serius
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah Indonesia memiliki daya tawar rendah saat bernegosiasi dengan Eropa terkait pelarangan minyak sawit menjadi komponen biodiesel. Ini karena Indonesia tak mampu menunjukkan keseriusan perbaikan tata kelola perkebunan sawitnya terkait deforestasi, pelanggaran hak asasi manusia, maupun keberpihakan pada petani kecil/buruh.
Diduga hal ini yang menyebabkan Uni Eropa, pada sidang putusan terkait energi terbarukan pada 14 Juni 2018, tetap melarang penggunaan biodiesel dari minyak sawit pada 2030. Keputusan ini mundur dari usulan Parlemen Eropa yang mengusulkan pelarangan dilakukan pada 2021. Alasan pelarangan itu karena Uni Eropa mengaitkan sawit sebagai penyebab deforestasi, kebakaran hutan, dan pelepasan emisi gambut di hutan/gambut tropis Indonesia.
Menanggapi hal ini, Indonesia cenderung melakukan lobi-lobi serta menganggap pelarangan itu sebagai bentuk perang dagang daripada menunjukkan perbaikan tata kelola sawit. Perbaikan itu antara lain bisa melalui penggenapan janji moratorium perluasan perkebunan sawit maupun penguatan Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO).
Indonesia cenderung melakukan lobi-lobi serta menganggap pelarangan itu sebagai bentuk perang dagang daripada menunjukkan perbaikan tata kelola sawit.
“Melalui moratorium yang disusul kebijakan terintegrasi seperti penegakan hukum (sawit korporasi di kawasan hutan), perbaikan nasib petani kecil, hilirisasi produk sawit, serta penyelesaian konflik juga merupakan kebutuhan Indonesia,” kata Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Senin (18/6/2018) di Jakarta.
Terkait putusan Uni Eropa, ia pun menyesalkan penundaan waktu hingga 2030. Ia mengkhawatirkan hal ini malah semakin mendorong korporasi meningkatkan ekspansi lahan. Ini mengingat sawit sudah mulai berbuah pada usia 4 tahun hingga usia 25-30 tahun.
Menurutnya, langkah ini membuat Indonesia terlena akan durasi waktu 12 tahun mendatang. “Seperti kita tahu, pemerintah itu kalau waktu masih panjang akan berlarut-larut dan molor dalam pembenahan tata kelola sawit,” kata Khalisah.
Tata kelola itu antara lain penyelesaian sekitar 1,2 juta hektar kebun sawit di kawasan hutan. Sebagian di antaranya berkonflik antara masyarakat dengan pengelola baik pemerintah maupun korporasi.
“Hingga kini, kebijakan reforma agraria maupun perhutanan sosial belum masuk pada wilayah-wilayah konflik,” kata dia.
Hilirisasi
Selain itu, Walhi juga mendorong agar Indonesia tak berorientasi menjual minyak mentah (CPO) ke luar negeri. Pemerintah didorong mengarahkan perusahaan agar membuka investasi pada hilirisasi produk turunan minyak sawit.
“Jadi jangan ekspansi saja yang dipikirkan. Peningkatan nilai tambah ini juga akan meningkatkan perekonomian kita,” ujar Khalisah.
Selain itu, moratorium juga diperlukan agar pemerintah berproses dalam perbaikan nasib petani sawit dan buruh perkebunan. Kedua aktor ini yang sering menjadi tameng perusahaan maupun pemerintah saat membela produk sawit.
Moratorium juga diperlukan agar pemerintah berproses dalam perbaikan nasib petani sawit dan buruh perkebunan.
“Kisah petani Polanto Jaya, Sulawesi Tengah (Kompas, 17 Mei 2018) menjadi contoh bagaimana petani sawit kecil itu tak memiliki posisi,” kata Khalisah. Selain itu, katanya, petani kecil lemah dalam menikmati keuntungan sawit seperti saat harga CPO meningkat, tak berdampak positif langsung pada harga di tingkat petani.
Senada dengan Khalisah, Deputi Direktur Sawit Watch Indonesia Ahmad Surambo mengatakan agar pemerintah Indonesia dan Uni Eropa melihat nasib petani sawit kecil dan buruh sawit dalam mengambil kebijakan. Namun hingga kini, ia belum bisa menerka dampak penghentian biofuel atau bahan bakar nabati sawit pada 2030 di Eropa.
Ia pun mendorong agar pengelolaan sawit Indonesia diperbaiki secara serius. Hal ini, kata dia, bisa ditunjukkan dengan melakukan moratorium sawit serta penguatan ISPO yang hingga kini pun tak kunjung direalisasikan.
Terkait moratorium sawit, 5 Juni 2018 saat memimpin Rakernas Percepatan Penyelesaian Tanah dalam Kawasan Hutan di Jakarta, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyatakan instruksi presiden terkait moratorium sawit belum diterbitkan. Namun, kata dia, pelaksanaan moratorium telah dijalankan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan tidak menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit.