JAKARTA, KOMPAS – Orangtua yang menghabiskan waktu dengan telepon genggam atau menonton televisi selama aktivitas keluarga akan mempengaruhi hubungan jangka panjang dengan anak. Orangtua dengan sikap seperti itu dapat menyebabkan anak-anak lebih sering frustrasi, hiperaktif, merengek, merajuk, atau tantrum.
Demikian hasil kajian Brandon T Mc Daniel dari Illinois State University dan Jenny S Radesky dari University of Michigan Medical School, Amerika Serikat. Kajian keduanya di jurnal Pediatric Research bisa diakses dari Springer Nature pada 13 Juni 2018.
Daniel dan Radesky menggunakan istilah, technoference untuk kebiasaan menggunakan produk digital secara berlebih ini. Istilah yang pertama kali dipopulerkan Daniel dan Coyne (2016) ini bisa dimaknai sebagai interupsi perangkat teknologi terhadap interaksi tatap muka sehari-hari.
Daniel dan Radesky menggunakan istilah, technoference untuk kebiasaan menggunakan produk digital secara berlebih.
Responden orangtua dalam kajian ini rata-rata menggunakan perangkat digital selama sembilan jam per hari. Sepertiga dari waktu ini dihabiskan untuk telepon pintar, yang karena portabilitasnya sering digunakan selama aktivitas keluarga seperti makanan, bermain, dan waktu tidur.
Padahal, semua waktu ini sangat penting dalam membentuk perilaku sosial-emosional anak. Orangtua memiliki lebih sedikit percakapan dengan anak-anak mereka dan rentan marah ketika anak-anak mencoba mendapatkan perhatian mereka.
Mengganggu interaksi
Penelitian ini melibatkan 172 keluarga atau total 337 orangtua yang memiliki anak usia 5 tahun atau lebih muda. Orangtua menilai perilaku internalisasi anak mereka seperti seberapa sering merajuk atau betapa mudahnya perasaan mereka terluka, serta perilaku eksternal mereka, seperti betapa marah atau mudahnya frustrasi mereka. Orangtua juga melaporkan tingkat stres dan depresi mereka sendiri, dukungan yang mereka terima dari mitra mereka, dan penggunaan media untuk anak mereka.
Dalam hampir semua kasus, satu perangkat atau lebih mengganggu interaksi orangtua-anak pada tahap tertentu di siang hari.
Perangkat digital biasanya diberikan pada anak agar lebih tenang. Namun, hasil survei menunjukkan bahwa taktik ini memiliki kekurangan. Penggunaan perangkat elektronik justru menghalangi orangtua untuk memberikan dukungan emosional dan umpan balik positif kepada anak-anak mereka.
Perangkat digital ini pada akhirnya menambah tingkat stres orangtua, yang kemudian mengarah pada pelarian penggunaan lebih banyak teknologi, dan siklus terus berlanjut.
“Hasil penelitian ini mendukung gagasan bahwa hubungan orangtua penganut technoference dan perilaku anak yang sulit diatur bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi sepanjang waktu,” ujar McDaniel. “Dengan kata lain, orangtua yang memiliki anak dengan persoalan sulit diatur menjadi lebih gampang stres, di mana hal ini akan membuat mereka memberikan perangkat digital, padahal hal itu akan menambah masalah.”
Hasil penelitian ini mendukung gagasan bahwa hubungan orangtua penganut technoference dan perilaku anak yang sulit diatur bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi sepanjang waktu
Raddesky menambahkan, anak-anak yang berperilaku buruk seringkali dalam rangka mendapatkan perhatian orangtua. Pemberian perangkat digital itu akan semakin menjauhkan mereka dari kasih sayang orangtua sehingga akan terlihat semakin sulit diatur.
Dalam kajian Daniel dan Coyne (jurnal Psychology of Popular Media Culture, 2016) sebelumnya ditemukan bahwa, pasangan yang terpapar technoference juga lebih sering mengalami konflik, depresif, dan jarang merasa bahagia. Kajian tersebut dilakukan terhadap 143 pasangan. Berdasarkan dua kajian ini disimpulkan bahwa, penggunaan teknologi digital secara berlebihan, terutama saat waktunya beraktivitas dengan keluarga akan berdampak buruk secara psikis, baik terhadap anak maupun pasangan hidup.