Saya Baru Mau Mudik…
Hari raya Idul Fitri sudah lewat tiga hari. Arus besar mudik pun lewat. Namun, masih ada sebagian orang yang baru berkesempatan hari ini untuk pergi ke kampung halamannya.
Sepeda motor Slamet (40) tidak seperti pada umumnya. Jok motor sport berkapasitas 150 cc pabrikan Jerman itu penuh dengan barang tas dan plastik yang berjejal dengan boks hitam yang terpasang di bagian belakang motor. Beruntung, tubuh kurus Slamet bisa muat di sisa ruang jok antara tangki bensin dan barang bawaanya.
“Orang sudah pada mau balik ke Jakarta, kalau saya baru mau jalan mudik nih. Jadi motor saya beda sendiri dari yang lain. Penuh barang,” ujar Slamet sambil terbahak di temui di sekitar Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (18/6/2018).
Orang sudah pada mau balik ke Jakarta, kalau saya baru mau jalan mudik nih. Jadi motor saya beda sendiri dari yang lain. Penuh barang
Bukan dengan sengaja, motor Slamet ingin tampil beda dengan lainnya. Menjadi petugas keamanan perusahaan swasta dengan sistem kerja piket, dia harus rela menyesuaikan jadwal libur dengan regunya. Apalagi Slamet baru bekerja kurang dari setahun di tempat kerjanya, sehingga dia harus rela memperoleh jadwal libur kurang menyenangkan, yaitu setelah lebaran.
Akhirnya saat hari raya lebaran, Slamet harus puas bersilaturahmi dan mengucapkan maaf kepada keluarganya melalui telepon video.
“Ya penginnya sih dapat jatah libur sebelum lebaran, supaya bisa mudik dan lebaran di kampung halaman. Tapi ya bagaimana lagi, baru bisa dapat libur sekarang,” ujar Slamet sambil mengucek-ucek matanya.
Tak hanya harus rela melewatkan lebaran di kampung halaman, Slamet pun harus rela mudik sendirian tanpa ditemani istri dan putri sematawayangnya. Sebab, keduanya sudah lebih dahulu mudik menggunakan kereta api menuju kampung halaman mereka yakni Bantul pada Kamis (14/6/2018) lalu.
“Istri kan mau lebaran juga bersama orangtuanya di Bantul. Jadi dia berangkat duluan. Saya juga menyusul Bantul. Kebetulan kampung halaman kami sama,” ujar Slamet.
Masih terbayang juga dalam ingatan Slamet, saat tahun lalu dia bersama anak istrinya bisa mudik bersama. Tahun lalu, Slamet masih bekerja di perusahaan lamanya, sehingga dia masih mendapatkan jadwal libur yang pas sebelum lebaran.
Slamet bercerita, saat itu mereka bertiga tidur dengan satu selimut di dalam gerbong kereta api yang berangkat senja dari Jakarta.
“Kami berangkulan biar hangat karena AC saat itu dingin. Sederhana sih, tapi saya senang saja,” ujar Slamet.
Meski demikian, Slamet tidak patah arang. Ini bukan kali pertama dia baru pulang setelah lebaran, dalam perantauannya selama 15 tahun di Jakarta. Hanya berbekal ijazah SMA, dia pergi meninggalkan cangkulnya untuk merantau ke ibu kota mencari penghidupan yang lebih baik.
Setelah lelah mengadu nasib dan memeras keringat selama setahun penuh, kerinduan bertemu orangtua dan saudara, serta tradisi sungkem saat lebaran, menjadi pendorongnya untuk pulang.
Kehabisan tiket kereta, merasa tiket pesawat terlalu mahal, dan mabuk darat ketika menumpang bus, akhirnya Slamet memilih menggunakan sepeda motor. Dia rela menempuh perjalanan lebih dari 600 kilometer dari rumah di Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten untuk pulang ke Bantul melalui jalur selatan Jawa.
Slamet memperkirakan, perjalanan akan ditempuh sekitar 9-12 jam. Mulai berangkat dari rumah sekitar pukul 13.00, ia memperkirakan tiba di Bantul sekitar tengah malam atau dini hari.
Perjalanan sejauh dan selama ini tentu membutuhkan tenaga ekstra. Padahal, Slamet baru saja menyelesaikan pekerjaannya Senin dini hari
Perjalanan sejauh dan selama ini tentu membutuhkan tenaga ekstra. Padahal, Slamet baru saja menyelesaikan pekerjaannya Senin dini hari. Namun, Slamet yakin dirinya akan baik-baik saja, sebab dia sudah tidur sekitar 6 jam, sehingga kuat untuk berkendara motor ke Bantul.
“Ya kalau mengantuk di perjalanan saya menepi. Saya tidur sebentar, meluruskan kaki, isi bensin,” ujar Slamet.
Tantangan yang mendera Slamet tidak cukup sampai disitu. Dia masih harus dihadapkan dengan pendeknya waktu bertemu dengan keluarga di kampung halaman. Praktis, Slamet hanya memiliki satu hari di Bantul yakni Selasa (19/6/2018) saja. Pada Rabu (20/6/2018), Slamet harus kembali berkendara motor pulang, sebab pada Kamis (21/6/2018) dia harus kembali masuk kerja dan anaknya kembali masuk sekolah.
“Ya saya sudah rindu sama orangtua dan saudara. Biar cuma sebentar ya tidak apalah,” ujar Slamet.
Ketimpangan
Guru Besar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Airlangga Bagong Suyanto mengatakan, mudik sesungguhnya bukan sekadar arus mobilitas sosial para migran pulang kampung untuk bersilaturahmi kembali dengan sanak- kerabat dan kenalan yang tinggal di desa. Melainkan ada masalah ketimpangan yang besar antara pedesaan dan perkotaan.
Mudik sesungguhnya bukan sekadar arus mobilitas sosial para migran pulang kampung untuk bersilaturahmi kembali dengan sanak- kerabat dan kenalan yang tinggal di desa. Melainkan ada masalah ketimpangan yang besar antara pedesaan dan perkotaan.
“Pendekatan pembangunan yang menempatkan kota besar sebagai pusat kemajuan tak pelak menyebabkan polarisasi meningkat dan desa-desa makin tertinggal, sehingga arus urbanisasi pun makin tak terbendung menyerbu kota-kota besar,” ujar Bagong. (Kompas, Kamis 14 Juni 2018).
Apabila pembangunan daerah bisa merata, orang-orang seperti Slamet tidak perlu merantau ke ibukota. Mereka juga tidak perlu sampai lelah sedemikian rupa untuk pulang ke kampung halamannya.
“Ya kalau di kampung ada suatu pekerjaan dengan gaji menjanjikan ya saya mau saja pulang,” ujar Slamet.