Integrity dan ACTA Tetap Menggugat Konstitusionalitas "Presidential Threshold"
Oleh
Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Upaya untuk menghapuskan norma ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kembali bermunculan. Meski pernah kandas di Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya, para pemohon uji materi menyiapkan argumentasi-argumentasi baru agar MK bersedia menghapus ketentuan tersebut.
Hingga Senin (18/6/2018), setidaknya ada dua kelompok pemohon yang menyatakan akan menguji kembali konstitusionalitas Pasal 222 UU No 7/2017 tentang Pemilu ke MK. Pasal tersebut mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen dari perolehan suara sah nasional untuk dapat mengajukan calon presiden-wakil presiden.
Dua kelompok itu adalah 12 pemohon yang tergabung dalam Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity) dan Ketua Dewan Pembina Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Habiburokhman.
Adapun, 12 pemohon dari Integrity adalah mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Busyro Muqoddas, mantan Menteri Keuangan M Chatib Basri, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay, mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Hasan Yaha, sutradara Angga Dwimas Sasongko, dan para akademisi, yakni Faisal Basri, Rocky Gerung, serta Robertus Robet.
Sebagai catatan, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Habiburokhman pernah mengajukan uji materi serupa. Permohonan Habiburokhman yang diregistrasi dengan nomor perkara 44/PUU-XV/2017 tidak diterima. Di hari yang sama, yaitu 11 Januari 2018, MK juga menyatakan tidak dapat menerima permohonan yang diajukan Hadar dkk dalam putusan nomor 71/PUU-XV/2017.
Alasan pengujian
Kuasa hukum dari Integrity, Denny Indrayana, mengatakan, syarat ambang batas pencalonan presiden yang diadopsi dari Pasal 222 UU Pemilu telah mendegradasi kadar pemilihan langsung oleh rakyat yang telah ditegaskan dalam UUD 1945. Syarat tersebut telah menyebabkan rakyat tidak bebas memilih karena pilihannya menjadi sangat terbatas.
“Syarat demikian harus lagi-lagi diuji ke hadapan MK karena nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Denny saat dihubungi dari Jakarta.
Denny menjelaskan, setidaknya ada enam argumentasi baru yang akan dimasukan dalam permohonan pengajuan gugatan nanti.
Di antaranya, alasan pertama, pemohon menilai UU Pemilu seharusnya mengatur tata cara, bukan syarat pencalonan presiden dan wapres. Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 mengamanatkan bahwa tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut di dalam undang-undang. Namun, Pasal 222 UU Pemilu tidak mengatur mengenai tata cara, melainkan mengenai syarat seseorang menjadi calon presiden dan wakil presiden.
“Pasal 222 UU Pemilu keluar dari mandat yang seharusnya sesuai Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 hanya memberikan pengaturan tata cara. Karena itu, Pasal 222 sekaligus memanipulasi mandat aturan UUD 1945,” ujar Denny.
Alasan lain, lanjut Denny, pemohon juga menilai ketentuan mengenai ambang batas yang ada saat ini berpotensi menghadirkan calon presiden tunggal. Jika hal tersebut terjadi, maka makna demokrasi dalam pemilihan umum tidak akan tercapai.
Sementara itu, pemohon lain, Habiburokhman mengatakan, situasi politik yang terjadi akhir-akhir ini memperlihatkan aspirasi masyarakat meninggi agar terjadinya suksesi kepempimpinan nasional lewat pemilu. Ia menyebut nama Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo dan Agus Harimurti Yudhoyono, putra Susilo Bambang Yudhoyono. Namun sayangnya, aspirasi tersebut terhalang oleh syarat ambang batas presiden yang diatur saat ini dalam Pasal 222 UU Pemilu.
“Pasal 222 ini membuat kualitas demokrasi kita menurun. Jangan sampai capres atau cawapres lain berguguran sebelum bertanding. Kita harus menghormati mereka yang memiliki apsriasi mengganti presiden dan mereka yang memiliki hak politik yang sah dan dilindungi konstitusi,” tutur Habiburokhman.
Dengan demikian, ia berharap agar pemilu presiden dan wapres nanti dapat berjalan dengan baik. “Kami ingin pemilu nanti berlangsung damai, tahun poltik tidak ingin ada gesekan-gesekan dengan ada kanalisasi yang bisa mengakomodir kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Habiburokhman juga mengaku telah menyiapkan argumen baru pasca-ditolaknya uji materi ACTA terhadap pasal yang sama pada Januari 2018 lalu. Ia memastikan laporan tersebut akan diserahkan kepada MK secepatnya setelah cuti bersama Lebaran berakhir atau ketika MK kembali aktif pada Kamis (21/6/2018) pekan ini.
Dipersilakan
Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, pihaknya masih belum mengecek terkait perkembangan siapa saja yang mendaftarkan gugatan ke MK. “Nanti saya akan cek. Ini masih cuti bersama jadi pelayanan di MK juga libur,” tuturnya.
Fajar juga mempersilakan bagi mereka yang mengajukan gugatan kepada MK sejauh memiliki argumentasi yang baru.
“Namanya permintaan boleh-boleh saja, tetapi harus dengan dasar pengujian yang berbeda dan argumentasi berbeda dari perkara yang sudah diputus sebelumnya agar tidak nebis in idem. MK pun dapat saja dengan pertimbangannya sendiri memutus lebih cepat atau bergantung pada dinamika persidangan,” katanya.