Anak Muda dalam Ancaman Intoleransi
Praksis politik yang terlalu pragmatis belakangan ini turut memicu keterbelahan anak muda. Kebanjiran informasi di media sosial membuat mereka kerap terjebak berita bohong atau hoaks yang intoleran. Padahal, kebinekaan adalah kekayaan Indonesia.
Dalam riuh kontestasi politik menjelang Pemilihan Umum 2019, polarisasi pandangan politik menjadi ancaman tertinggi dalam tataran keberagaman. Ironisnya, polarisasi itu kerap diseret ke arah yang memunculkan konflik. Di sini, anak muda menjadi target di tengah tingginya arus penyebaran informasi digital yang belum tentu benar tersebut. Mereka yang tidak memiliki latar belakang informasi yang kuat pun jatuh ke jurang intoleransi.
Ancaman polarisasi politik pernah digambarkan dalam survei nasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tentang Orientasi Sosial, Ekonomi, dan Politik Generasi Milenial. Dalam survei terhadap 600 responden pada 23-30 Agustus 2017 tersebut, ada 53,7 persen anak muda berusia 17-29 tahun menolak dipimpin orang yang berbeda agama dengan mereka.
Temuan itu dapat menjadi acuan atau deteksi dini bahwa pilihan politik menjadi masalah yang cukup serius bagi generasi milenial. Kegelisahan itu pula yang dirasakan Direktur Komunikasi Indonesia Indicator Rustika Herlambang dalam acara Satu Meja bertajuk
”Anak Muda Melawan Intoleransi!” di Kompas TV, Senin (18/6/2018). Acara dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo dengan pembicara lain, Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP) Syafiq Hasyim, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, dan dosen filsafat Universitas Indonesia, Donny Gahral Adian.
Rustika mengatakan, dalam penelitian Indonesia Indicator, dari total 142.000 akun, lebih dari 80 persen akun menggambarkan terjadi polarisasi dalam politik. ”Ada akun-akun yang mengarahkan isu antara kubu pro dan kontra. Bisa jadi ada figur influencer yang punya kemampuan membikin isu jadi pro dan kontra,” ujar Rustika.
Survei CSIS di atas sepintas terlihat hanya bicara di ranah pilihan politik. Akan tetapi, jika ditilik lebih jauh, pada era banjirnya informasi di media sosial seperti saat ini, terutama hoaks dan ujaran kebencian, satu persoalan saja bisa menjadi sangat mudah ditarik-tarik ke berbagai isu. Berdasarkan survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada 7-9 Februari 2017 terhadap 1.116 responden di Indonesia, sebanyak 44,3 persen masyarakat menyatakan menerima berita hoaks setiap hari. Bahkan, 17,2 persen menyatakan menerima hoaks lebih dari sekali sehari.
Mastel membuat peringkat jenis-jenis hoaks yang sering diterima warganet, meliputi antara lain sosial politik (91,8 persen); isu suku, agama, ras, atau antargolongan (88,6 persen); dan kesehatan (41,2 persen).
Di tengah terpaan banjir informasi, Donny menyayangkan masih ada anak muda yang belum mampu berdemokrasi dengan akal sehat. Hal ini membuat hoaks dan ujaran kebencian terus dikonsumsi, bahkan dianggap sebagai kebenaran.
”Padahal, akal sehat menjadi satu variabel penting dalam demokrasi. Jadi hoaks yang dikonsumsi secara berulang-ulang kemudian dianggap sebagai kebenaran karena akal sehat tidak memilah mana yang benar dan mana yang salah,” ujar Donny.
Budaya literasi
Kondisi ini semakin diperparah dengan budaya literasi masyarakat kita yang masih belum matang. Kecenderungan alergi atas perbedaan dan pandangan dari sebagian kalangan masyarakat akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
”Jadi, orang malas membaca dan rajin mengunggah ke media sosial. Itu problem,” kata Donny.
Kegelisahan yang sama juga dialami banyak pihak. Syafiq mengungkapkan, politik seharusnya menjadi arena bagi pertarungan gagasan. Praksis politik yang terlalu pragmatis belakangan ini telah membuat orang yang berbeda pandangan terbelah.
”Jadi, politik lebih didominasi oleh faktor-faktor yang sifatnya tidak substansial,” ujarnya.
Menurut Syafiq, hal itu disebabkan elite politik yang juga terbelah secara pandangan politik. Para elite pun kerap menggunakan hal-hal yang sifatnya pragmatis untuk merebut kekuasaan.
”Elite (agama) juga harus instropeksi untuk tidak mempermainkan posisi mereka untuk yang sifatnya pragmatis, terutama untuk tujuan-tujuan yang berhubungan dengan kekuasaan,” tutur Syafiq.
Syafiq mengingatkan, sikap netral tokoh agama sangat penting agar anak muda yang masih dalam masa pencarian jati diri tidak terjebak dalam pragmatisme politik.
”Anak muda sekarang ini pada posisi yang mengkhawatirkan dalam artian, mereka bisa dengan mudah jatuh dalam persoalan intoleransi dan radikalisme,” ujarnya.
Terkait hal itu, Dahnil Anzar mengkritik pemerintah yang dinilai lamban menghadang berkembangnya intoleransi khususnya di kalangan generasi muda. Menurut Dahnil, generasi muda patut mendapat perhatian lebih serius karena mereka merupakan asa dalam menjaga kebinekaan.
Namun, membanjirnya informasi di media sosial membuat sikap intoleransi dengan gampang meluas sehingga turut memunculkan fenomena radikalisme di dalam ranah pendidikan formal, dari sekolah sampai perguruan tinggi.
Kisah Siska Nur Azizah, satu dari dua perempuan yang ditangkap polisi di depan Markas Korps Brimob, yang diduga terlibat sebagai jaringan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), menjadi pukulan telak bagi perguruan tinggi bahwa radikalisme sangat mudah menyebar. Tak berhenti di situ, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri juga menangkap tiga alumnus Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Riau (Unri) di dalam kampus Unri, Pekanbaru, awal Juni 2018.
Dahnil menilai, seharusnya negara bersama perguruan tinggi memperkuat tindakan preventif dan tegas menindak mereka yang terduga terpapar paham radikalisme. ”Pemerintah ketika sudah bermasalah, sudah mentok konflik berhadap-hadapan, baru datang ke Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Kami disuruh menjadi tukang pemadam kebakaran. Jadi tidak bicara sejak awal,” ujar Dahnil.
Narasi perbedaan
Untuk mencegah penyebaran radikalisme, kata Dahnil, pemerintah perlu lebih serius dalam menyampaikan narasi mengenai perbedaan. Menurut Dahnil, narasi itu sangat penting di tengah bangsa yang penuh keberagaman. Terutama untuk mengajarkan seluruh anak bangsa memiliki cara pandang melihat perbedaan dengan kegembiraan dan menyatukan.
Bagi Dahnil, kunci toleransi sangat mudah, yakni akal yang sehat dan akhlak yang baik. Akal sehat membuat orang mudah berdialog dan membangun sikap berargumentasi dengan baik menyikapi perbedaan. Tentu saja hal ini penting dalam merawat toleransi.
”Jadi, jangan sampai perbedaan itu merusak Indonesia. Kita harus melihat perbedaan dengan gembira,” ujar Dahnil.
Indonesia memiliki 714 suku, 1.100 bahasa daerah, dan sedikitnya 17.000 pulau. Keberagaman yang menjadi modal bagi Nusantara ini besar dan berkemajuan. Kini, generasi muda turut berperan besar dalam merawat kebinekaan untuk kejayaan Indonesia. (Nikolaus Harbowo)