JAKARTA, KOMPAS - Menyusul pelantikan perwira tinggi aktif Kepolisian Negara RI sebagai penjabat sementara gubernur, Fraksi Partai Gerindra dan Partai Demokrat di DPR menggalang hak angket terhadap pemerintah. Bahkan, Demokrat mengklaim syarat usulan angket hampir terpenuhi.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon, di Jakarta, Selasa (19/6/2018), mengatakan, hak angket diajukan terkait pelantikan Komisaris Jenderal (Pol) Iriawan jadi Pjs Gubernur Jawa Barat. ”Kami siap jadi inisiator. Kementerian Dalam Negeri telah menyeret polisi ke pusaran politik praktis. Ini bertentangan dengan semangat reformasi saat koreksi dwifungsi TNI,” katanya.
Mengacu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, usulan hak angket atau hak untuk menyelidiki pelaksanaan UU atau kebijakan Presiden, harus diajukan sedikitnya 25 anggota DPR atau lebih dari satu fraksi di DPR. ”Hingga kini ada 15 anggota DPR yang ikut tanda tangan. Semuanya Demokrat. Kami ajak fraksi lain mendukung,” kata Wakil Ketua Komisi III Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani.
Menurut Erma, penunjukan Iriawan dinilai sebagai upaya memenangkan salah satu calon kepala daerah di Jabar serta awal konsolidasi Pemilu 2019. Fadli juga menambahkan, selain Pasal 28 Ayat 1 dan 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang mengatur Polri bersikap netral dan tak terlibat kegiatan politik praktis, juga melanggar UU No 16/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, serta UU 5/2014 tentang ASN. Pasal 157 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS juga dilanggar.
Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny Plate menyatakan, ikut menyesalkan pengangkatan Pjs Gubernur Jabar. ”Sejauh untuk meminta keterangan dan mendapat keterangan utuh pemerintah, Nasdem mendukung hak interpelasi atau angket terbatas,” ujarnya.
Namun, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Zainuddin Amali melihat tak ada yang salah dari penunjukan Iriawan. Dasar hukum Kemendagri dinilai tepat. Oleh karena itu, hak angket tak diperlukan. ”Hak angket itu hak sakral DPR. Jangan sedikit-sedikit angket. Apalagi kalau lemah,” katanya.
Jika hak angket tetap ingin diusulkan, tambah Zainuddin, itu hak DPR. Hanya dia yakin usulan itu bakal gugur karena sulit penuhi syarat. Pasalnya, mayoritas di DPR adalah koalisi pendukung pemerintah.
Membiarkan
Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Irham Dilmy justru menilai negara membiarkan pelanggaran UU No 2/2002 setelah penunjukan pati Polri. ”Mendagri tak bisa berpegang UU ASN dan UU Pilkada, tetapi juga harus melihat UU Polri karena yang ditunjuk pati aktif,” ujarnya.
Mendagri Tjahjo Kumolo tetap yakin, keputusannya sesuai UU, khususnya UU No 5/2014 tentang ASN dan UU 10/2016 tentang Pilkada. Ia siap jika DPR memanggilnya.
SBY pernah angkat
Adapun Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar menyatakan, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (2004-2009) juga pernah mengangkat pati TNI/Polri, yaitu Mayjen (TNI) Setia Purwaka jadi Pjs Gubernur Jawa Timur. Setia sebelumnya dijadikan lebih dahulu Irjen di Departemen Komunikasi dan Informatika. ” Jadi, tak beda dengan Iriawan, Sekretaris Utama Lemhannas,” katanya.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Leo Agustino menyatakan, pemilihan Iriawan tak melanggar aturan karena posisinya Sestama Lemhannas. ”Yang saya amati bagaimana cepatnya rotasi jabatan dari pejabat struktural Polri lalu ke Lemhannas, dan kini Pjs Gubernur. Ini jadi kecurigaan,” ujarnya.
Pengajar di Program Pascasarjana Kajian ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, juga menegaskan larangan anggota Polri terlibat politik. Namun, pengajar FISIP Unpad, Muradi, justru menilainya berbeda. Sementara Sekretaris Daerah Jabar Iwa Karniwa juga menyebutkan pengangkatan Iriawan tak ada masalah, justru membantu pemerintah Jabar.