Lari Maraton Bersama The Fed
Semuanya berawal dari garis start di Constitution Avenue, Washington DC, Amerika Serikat. Sekitar 17.000 orang berpartisipasi dalam Rock & Roll Washington DC Marathon tahun ini.
Rock & Roll Marathon adalah seri lomba lari maraton tahunan di sejumlah kota di beberapa negara. Salah satunya adalah di Washington DC, AS. Pertama kali digelar pada 2006. Tahun ini merupakan edisi ke-13 dengan jarak 42 kilometer, dari Constitution Avenue sampai dengan RFK Stadium, E Capitol Street. Acara digelar pada 10 Maret lalu.
Sepuluh hari kemudian, Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) selaku forum pengambilan keputusan tertinggi Bank Sentral AS menggelar pertemuan selama dua hari. Hasilnya, suku bunga acuan di AS naik, dari 1,50 persen ke 1,75 persen.
Lantas, apa hubungannya antara lari maraton dan kenaikan suku bunga acuan di AS. Tidak ada. Paling-paling, kalau mau dikait-kaitkan, adalah Constitution Avenue. Rapat FOMC digelar di Gedung Eccles yang berlokasi di kawasan Constitution Avenue. Sementara garis start Rock & Roll Washington DC Marathon juga di Constitution Avenue.
The Fed sedang berlari maraton, bukan jarak pendek. Kenaikan suku bunga acuan sebagai salah satu agenda normalisasinya akan terus terjadi, minimal sampai dengan 2020.
Meski demikian, dalam konteks kenaikan suku bunga acuan di AS berikut implikasinya ke perekonomian domestik, wawasan soal lari maraton kiranya relevan untuk membaca situasi. Apa maksudnya?
Pertama-tama yang perlu digarisbawahi, The Federal Reserve selaku bank sentral AS sedang berlari maraton, bukan jarak pendek. Kenaikan suku bunga acuan sebagai salah satu agenda normalisasinya akan terus terjadi, minimal sampai dengan 2020.
Pada 2006, suku bunga acuan di AS adalah 5,25 persen. Saat AS dihantam krisis keuangan pada 2007-2008, The Fed menurunkan suku bunga acuan sampai 0-0,25 persen.
Sejalan dengan itu, The Fed menerapkan kebijakan likuiditas longgar. Caranya adalah dengan menggelontorkan dollar AS ke pasar dengan membeli obligasi pemerintah dan efek beragun kredit pemilikan rumah. Total nilainya mencapai 4,2 triliun dollar AS.
Setelah ekonomi AS berangsur-angsur membaik, The Fed secara bertahap menaikkan suku bunga acuan dan menyedot kembali likuiditas ke bank sentral.
Setelah ekonomi AS berangsur-angsur membaik, The Fed secara bertahap menaikkan suku bunga acuan dan menyedot kembali likuiditas ke bank sentral. Terakhir, The Fed per 13 Juni menaikkan suku bunga acuan dari 1,75 persen ke 2 persen. Ini adalah kenaikan suku bunga acuan di AS kedua dalam tahun ini dan ketujuh sejak krisis keuangan global pada 2008.
Tidak berhenti sampai di situ. Mengacu pada keterangan pers Gubernur The Fed Jerome Powell, 13 Juni, The Fed memproyeksikan suku bunga acuan akan naik lagi ke 2,4 persen sampai akhir tahun ini.
Selanjutnya, pada akhir 2019 dan akhir 2020, suku bunga acuan akan menuju 3,1 persen dan 3,4 persen. Ini jelas bukan lari jarak pendek, melainkan maraton.
Melihat lintasan yang panjang itu, mental dan paradigma pelari maraton menjadi resep yang pas diterapkan oleh seluruh pemangku kepentingan. Dalam hal ini, daya tahan dan konsistensi menjadi kunci. Ketepatan eksekusi di tiap tanjakan, tikungan, dan lintasan lurus, akan sangat menentukan sukses. Demikian pula sebaliknya.
Sebaliknya resep sprinter, yakni lari secepatnya mulai dari garis start dan terus berakselerasi sampai garis finis, jelas akan menuai kegagalan alias KO di tengah jalan. Di sektor keuangan, ini barangkali bisa dianalogikan sebagai respons yang reaktif.
Posisi mutakhir suku bunga acuan di AS adalah 2 persen. Sementara suku bunga acuan di dalam negeri saat ini 4,75 persen alias terpaut 2,75 persen. Sejumlah ekonom berpendapat, selisih tersebut sejatinya sudah pas untuk menahan agar investor tidak menarik dananya dari portofolio di dalam negeri. Namun, namanya investor, bisa saja berharap lebih tinggi lagi.
Akan tetapi, untuk sementara, asumsikan saja selisih itu sesuai harapan pasar. Kalau asumsi ini benar dan proyeksi kenaikan suku bunga acuan di AS konsisten sebagaimana proyeksi The Fed, suku bunga acuan domestik akan mengarah ke lebih kurang 6 persen pada akhir 2020.
Tentu selisih 2,75 persen itu bukan formula kaku. Ada variabel respons pasar dan fundamental ekonomi Indonesia sendiri yang juga akan sangat menentukan. Utak-atik angka itu sekadar dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa mulai tahun ini, rezim suku bunga rendah di dalam negeri sudah berakhir. Mulai tahun ini, rezim suku bunga domestik sudah mulai mendaki.
Dalam mengelola gejolak keuangan jangka pendek, Bank Indonesia memiliki dua instrumen, yakni memainkan suku bunga acuan dan melakukan operasi pasar dengan cara merogoh cadangan devisa.
Dalam mengelola gejolak keuangan jangka pendek, Bank Indonesia (BI) memiliki dua instrumen. Pertama adalah memainkan suku bunga acuan. Kedua, melakukan operasi pasar dengan cara merogoh cadangan devisa. Dengan kenaikan suku bunga acuan di AS yang bersifat maraton, kenaikan suku bunga acuan di dalam negeri dan penggunaan cadangan devisa juga harus berwawasan maraton.
Pilihan BI tampaknya adalah membiarkan rupiah melemah sampai pada nilai keseimbangan baru tertentu seraya melakukan operasi pasar pada jumlah tertentu. Sebab, suku bunga terkini sebagai jangkar, levelnya harus memiliki ruang untuk kenaikan pada periode berikutnya.
Adapun cadangan devisa sebagai modal melakukan operasi pasar jumlahnya terbatas. Sudah begitu, karena harus lari maraton, nafasnya harus panjang. Cadangan devisa tidak bisa digunakan at all cost untuk menahan agar nilai tukar rupiah rata-rata sepanjang tahun sesuai asumsi manakala fundamental ekonominya memang sudah tidak memadai untuk mencapai asumsi tersebut.
Pemerintah menargetkan rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini Rp 13.400 per dollar AS. Sementara asumsi untuk tahun depan berkisar Rp 13.700 sampai dengan Rp 14.000 per dollar AS.
Oleh sebab itu, wawasan maraton tidak melulu penting pada sisi permintaan saja, tetapi juga suplai. Tantangannya tidak sekadar mengelola penggunaannya, tetapi juga meningkatkan cadangannya sendiri. Artinya, perekonomian Indonesia harus mendatangkan cadangan devisa yang semakin banyak ke depan dengan cara-cara yang berkelanjutan.
Pariwisata merupakan solusi cepat dan konkret. Jika jumlah wisatawan mancanegara berikut waktu kunjungnya bisa ditingkatkan lebih signifikan lagi, sumbangannya akan sangat positif bagi cadangan devisa. Ini rumus klasik. Peningkatan sudah terjadi selama tiga tahun terakhir. Tantangannya adalah mempercepat lajunya.
Pariwisata merupakan solusi cepat dan konkret. Jika jumlah wisatawan mancanegara berikut waktu kunjungnya bisa ditingkatkan lebih signifikan lagi, sumbangannya akan sangat positif bagi cadangan devisa.
Potensi berikutnya sekaligus pilar utama mendapatkan cadangan devisa adalah ekspor. Tantangannya adalah ekspor tahun ini diperkirakan lebih lemah dari tahun lalu. Sementara tahun depan isu proteksionisme dan perang dagang masih memberikan ketidakpastian.
Secara struktural, ekspor Indonesia pun masih didominasi minyak sawit dan batubara. Alhasil, perekonomian Indonesia tidak banyak terkait dalam rantai pasok global. Kebijakan pemerintah mendorong investasi berorientasi ekspor sudah dimulai. Lagi-lagi, implementasilah tantangannya.
Wawasan maraton sebaiknya juga diadopsi pelaku usaha. Artinya, dunia usaha harus menarik perspektifnya ke lintasan waktu yang lebih panjang sehingga tidak reaktif. Dengan gejolak keuangan yang makin intens, lindung nilai sudah selayaknya menjadi praktik umum di kalangan dunia usaha.
Sementara dalam tren suku bunga yang mendaki saat ini, antisipasi terbaik bagi pelaku usaha adalah efisiensi biaya produksi di luar beban bunga bank. Di antaranya adalah efisiensi biaya operasional dan biaya transportasi.
Dalam banyak hal, porsi efisiensi dunia usaha berada di tangan pemerintah. Biaya logistik yang tinggi, misalnya, tanggung jawabnya lebih banyak di pemerintah, di birokrasi.
Untuk itu, selain dengan pembangunan infrastruktur, penyederhanaan perizinan-porsedur dan pemberantasan pungutan liar akan banyak memotong biaya produksi. Apalagi jika pemerintah bisa mempercepat penurunan biaya logistik secara keseluruhan.
Berlari mengejar waktu adalah hal paling berat. Kita bisa berlari melawan pelari lain. Namun kita selalu berlari melawan kondisi. Kita selalu berlari melawan diri kita sendiri. Dan, yang bisa kita lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin.
”Berlari mengejar waktu adalah hal paling berat. Kita bisa berlari melawan pelari lain. Namun kita selalu berlari melawan kondisi. Kita selalu berlari melawan diri kita sendiri. Dan, yang bisa kita lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin.” Demikian lebih kurang ungkapan Tyler Andrews, juara Rock & Roll Washington DC Marathon 2018.