Lawan Kekerasan dengan Cinta
JAKARTA, KOMPAS — Kehidupan dinilai semakin keruh dengan kekerasan, pemaksaan kehendak, penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, dan permusuhan. Nilai-nilai sosial dan budi pekerti juga semakin merosot di masyarakat, terutama pada kalangan muda.
Di tengah kondisi seperti itu, gerakan perdamaian semakin masif berkembang untuk melawan kondisi itu melalui ajaran agama yang penuh kasih sayang dan cinta.
“Cinta adalah sesuatu yang tidak bisa ditangguhkan, tidak pula bisa ditawar-tawar. Ya, cinta memang bisa diajak berkompromi, tapi tidak terhadap kebencian dan permusuhan. Jadi, saya rasa, perkembangan dari Gerakan Islam Cinta saat ini harus terus membesar dan semakin dibutuhkan,” ujar Candra Malik, deklarator Gerakan Islam Cinta yang juga Wakil Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia pada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lesbumi PBNU), saat dihubungi di Jakarta, Selasa (19/6/2018).
Gerakan Islam Cinta (GIC) merupakan gerakan yang dideklarasikan pada 2012 oleh 40 tokoh Muslim Indonesia, seperti Haidar Bagir, Candra Malik, Lukman Hakim Saefuddin, Komaruddin Hidayat, Ahmad Syafii Maarif, Mohammad Mahfud MD, dan Zainal Abidin Bagir.Gerakan ini dibentuk sebagai respons kaum Muslim terhadap fenomena intoleransi dan radikalisme yang mengatasnamakan agama.
Berbagai langkah konkret dilakukan untuk mewujudkan cinta-kasih dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya di Indonesia. Gerakan ini juga melancarkan upaya-upaya untuk mewujudkan pergeseran paradigma agar bisa memahami serta menghayati Islam sebagai agama cinta, damai, dan welas asih (cinta kasih).
Candra menilai, sebagian besar generasi muda saat ini mengalami gegar spiritualitas karena terlalu sering mendapatkan informasi yang tidak matang, bahkan mentah mengenai Islam di media sosial. “Generasi muda yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan dan pendalaman yang cukup di bidang agama akan lebih mudah terprovokasi mengikuti gerakan kekerasan dengan janji-janji manis surgawi,” katanya.
Sebagian besar generasi muda saat ini mengalami gegar spiritualitas karena terlalu sering mendapatkan informasi yang tidak matang, bahkan mentah mengenai Islam di media sosial.
Ketua Gerakan Islam Cinta Eddy Aqdhiwijaya mengungkapkan, sebagian kaum muda memang merasa resah dengan Islam di Indonesia, terutama ketika mereka menemukan konten yang berhubungan dengan Islam di media sosial. Tidak jarang, konten yang disajikan justru bertentangan dengan nilai Islam yang damai dan penuh cinta.
“Coba cek di Google, konten yang disampaikan dan digencarkan mengenai Islam di media sosial lebih banyak soal Islam radikal, Islam ektrimis. Ini harus ditangkal,” katanya.
Mengajak masyarakat
Untuk itu, Eddy menambahkan, GIC terus aktif mengajak masyarakat terlebih kaum muda untuk mewujudkan cinta kasih dan kerukunan umat beragama melalui berbagai program edukatif, preventif, dan kreatif. Promosi mengenai konten-konten ajaran agama, termasuk ajaran Islam damai semakin gencar disampaikan. Figur-figur dan teladan yang menyuarakan Islam moderat juga semakin dihadirkan sebagai solusi melawan paham radikal.
Salah satu tokoh yang sudah melakukan upaya tersebut adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat. Saat ini, ia aktif mengadakan diskusi melalui live streaming di akun Facebook miliknya. Setiap diskusi biasanya diikuti oleh 7.000 penonton. Konten yang disampaikan dirancang secara akademis dengan substansi khazanah intelektual dan tradisi Islam yang majemuk.
“Selama ini yang dominan dibicarakan adalah wacana agama yang dibawa ke kontestasi politik. Sementara, ceramah dengan dimensi kritis intelektual sangat sedikit porsinya, apalagi di media sosial,” ujarnya.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menuturkan, gerakan-gerakan perlawanan paham intoleransi dan radikalisme, seperti Gerakan Islam Cinta, harus didukung dan diperkuat. “Islam yang sejati adalah agama penyebar cinta dan rahmat bagi alam semesta. Semua kekuatan harus saling mendukung gerakan perdamaian, tanpa melihat suku, agama, dan kecenderungan politik,” tuturnya.
Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada Zainal Abidin Bagir berpendapat, menanamkan suatu pemahaman ke kaum muda harus dimulai dengan cara yang mudah dan dilakukan di media yang sesuai, seperti melalui film dan media sosial. Selain itu, memberikan pengalaman dan perjumpaan langsung ke kaum muda dinilai lebih efektif untuk menyadarkan kaum muda. Misalnya, lewat gerakan sukarela yang melibatkan partisipasi langsung dari anak muda.
Peran pemerintah pun dibutuhkan untuk menangkal pengaruh radikal pada generasi muda. Menurutnya, ada dua cara yang bisa dilakukan, yaitu dengan tidak mempersulit perjumpaan antarmasyarakat yang berbeda latar belakang dan mengubah struktur pendidikan yang masih terkotak-kotak.
"Misalnya, melalui pendidikan agama di sekolah. Saat ini, saat anak belajar agama, mereka dipisah-pisahkan sesuai dengan agamanya. Lebih baik jika mereka ditemukan bersama agar bisa saling mengenal sehingga bisa memfasilitasi perjumpaan antarmasyarakat yang berbeda-beda. Karena anak muda, lebih efektif belajar dari pengalaman langsung bukan dari kegiatan seperti penyuluhan," katanya.