Ratusan warga Jawa Barat berduyun-duyun ke Ibu Kota saban tahun, saat Jakarta Fair Kemayoran diadakan. Berbekal keahlian meracik kerak telor, mereka mengadu nasib.
Oleh
J Galuh Bimantara
·6 menit baca
Siang yang terik pada Rabu (13/6/2018), di trotoar seberang pintu masuk Jakarta Fair Kemayoran (JFK) 2018, Kemayoran, Jakarta Pusat. Bagian-bagian tubuh Saepul (28) ikut bergerak seirama tangannya yang menggosok telur-telur. Bertelanjang dada, pemuda bertubuh subur asal Jawa Barat itu membersihkan telur ayam dan bebek dari noda tanah. Itu agar telur “kinclong” dan memikat pembeli saat dipajang di atas pikulan pada sore harinya di dekat area JFK.
Di ruas trotoar lainnya, pedagang kerak telor sesama Urang Sunda sedang menghadap wajan besar dan memasak serundeng, yaitu parutan kelapa tua yang diberi bumbu-bumbu untuk menjadi penyedap kerak telor nantinya.
Ada pula penjual yang sudah berpakaian rapi dan membawa pikulannya melintasi jajaran pikulan lain, siap menjemput rezeki mulai siang. Namun, sejumlah penjual masih berbaring, mungkin kelelahan usai menunggu pembeli hingga pagi buta.
Akhir Mei lalu, Saepul datang dalam kelompok berisi tujuh orang ke Jakarta, dengan menumpang mobil bak. Mereka menempuh perjalanan sekitar lima jam dari Garut, Jawa Barat.
“Ya, ini pikulan saya yang kasep (tampan),” canda Saepul ketika menunjukkan pikulannya di antara hamparan pikulan kerak telor yang lain. Candaan itu dibalas dengan ejekan dalam bahasa Sunda dari rekan seprofesi Asep yang juga tengah menyiapkan bahan dan perlengkapan berjualan.
Perasaan gembira lewat canda dan tawa adalah penawar rindu Saepul kepada istri dan anak laki-lakinya yang berusia tiga tahun di kampung halaman di Cilawu, Garut. Ia dan ratusan pedagang kerak telor lain asal Jawa Barat memilih melewati malam takbiran dan Idul Fitri dengan tetap bertahan di Ibu Kota hingga perhelatan JFK usai. Mengais rezeki di luar pagar area JFK lebih prioritas bagi mereka.
Tidak hanya soal mengorbankan Lebaran bersama keluarga. Mereka juga rela tidur di atas trotoar berdesak-desakan dengan sesama penjual kerak telor beserta pikulan-pikulan setiap malam, lebih dari sebulan lamanya. Kemungkinan terdapat 400-an orang di sana. Ini demi menghemat waktu, jarak, dan tentunya biaya, dibanding jika mengontrak rumah.
Bagi Saepul, berjualan kerak telor hanya selama JFK atau PRJ—Pekan Raya Jakarta, nama asal JFK yang tetap beken hingga sekarang—adalah profesi sampingan yang “diturunkan” dari ayahnya, Salim (55). Sejak sekitar 17 tahun lalu, ia mulai ikut sang ayah berdagang kerak telor di luar area PRJ. Dengan hanya meniru cara ayahnya membuat kerak telor, ia bisa memproduksi sendiri makanan berbahan ketan putih, telur, serundeng, ebi, dan taburan bawang goreng itu. Ia kemudian mengikuti ritme kerja para penjual kerak telor musiman: datang ke Jakarta saat PRJ dimulai, pulang ke kampung ketika PRJ usai.
Salim pun nampaknya tidak bisa lepas dari kerak telor di usianya yang sudah melebihi setengah abad. Tahun ini, ia kembali menjajal peruntungan, datang bersama anaknya dari Garut untuk berjualan makanan tersebut. Sama-sama tidur di trotoar, tetapi ia mendapat “fasilitas” berupa bilik tenda sebagai toleransi bagi dirinya yang sudah tergolong tua.
Salim mulai ikut arus menjadi urang Sunda penjual kerak telor sejak 1985, waktu PRJ masih di Monas. Awalnya, ia berkenalan terlebih dulu dengan pembuat kerak telor asli Betawi, kemudian ia menyerap ilmu dari mereka. Setelah percaya diri membuat sendiri, ia mengikuti rutinitas merantau ke Jakarta setiap perhelatan PRJ.
Selama 2014-2017, Salim absen dari berjualan kerak telor karena kebutuhan ekonomi keluarganya di Garut sedang tercukupi. “Tahun ini, domba saya tinggal dua ekor di kampung. Kalau kemarin lagi banyak jadi tidak ke sini,” kata dia.
Beternak kemudian menjual domba adalah pekerjaan utamanya di kampung. Ia tidak pernah menghitung berapa penghasilan per bulannya. Yang jelas, satu domba bisa dihargai Rp 5 juta-Rp 10 juta. Jika kualitas domba bagus sebagai domba aduan, bisa bernilai Rp 25 juta seekor. “Domba beranak setelah enam bulan. Jika sudah berumur tiga bulan dan kekurangan ekonomi, bisa dijual,” kata Salim.
Adapun mata pencaharian utama Saepul yaitu berjualan siomay di sebuah kantin di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Ia tidak berdagang kerak telor di sana karena peminatnya sepi dan tidak bisa menghasilkan uang yang cukup untuk dibawa kepada keluarga. Hanya PRJ andalan untuk meraup untung dari kerak telor.
Tersebar
Jam terus berganti, dan langit menjelang gelap. Para penjual kerak telor sudah menempati titik-titik pilihan mereka, baik di pinggir trotoar maupun di atas selokan. Mereka tersebar mulai dari seberang area PRJ, Jalan Benyamin Sueb, Jalan Industri Raya, hingga Jalan HBR Motik. Dan, gelap pun tiba.
Rahmat (42), seorang penjual asal Bojongsoang, Kabupaten Bandung, masih “bersiaga” menunggu pelanggan waktu pukul sebelas malam. Pikulannya ditempatkan di dekat pagar Pasar Mobil Kemayoran. Ia berniat menjajal peruntungan hingga tidak ada lagi kendaraan yang terpantau keluar dari gerbang PRJ, meskipun itu berarti hingga berganti hari.
Sama seperti Saepul dan Salim, Rahmat adalah perantau musiman. Ia sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan di Bandung dengan bayaran Rp 130.000 per hari, jika sedang ada proyek. Untuk JFK 2018, ia tiba di Jakarta dua hari setelah pembukaan acara, berangkat berdua puluh dengan para pedagang asal Garut.
Mereka menyewa bus dengan biaya Rp 1,8 juta untuk sampai ke Ibu Kota. “Kami masing-masing membayar Rp 200.000. Sisa uang dimasukkan kas, dipakai salah satunya jika ada yang sakit,” kata Rahmat.
Ia menggeluti profesi pedagang kerak telor sejak tahun 1996, ketika ia masih menjual dengan harga Rp 5.000 per porsi. Ilmu membuat kerak telor didapatnya dari kakak ipar. Kini, sama seperti penjual lainnya, ia mematok harga Rp 20.000 per porsi dengan telur ayam dan Rp 25.000 per porsi dengan telur bebek.
Tahun sepi
Rahmat mengeluh. Ia keluar biaya Rp 1 juta untuk modal awal berjualan, antara lain guna membeli bahan bumbu serundeng. Ia juga mesti membayar Rp 500.000 ke salah satu organisasi masyarakat guna mendapatkan izin berjualan selama JFK 2018 berlangsung. Namun, hingga sekitar tiga pekan berjualan, modal belum kunjung kembali. “Tahun ini sepi dibanding tahun lalu,” ujar dia.
Padahal, 2017 lalu, ia menghabiskan modal hingga Rp 3 juta. Namun modal sudah terganti dari berjualan hanya selama sepekan. Ia masih mampu meraup Rp 4 juta lagi hingga akhir JFK 2017. Waktu itu, Rahmat bisa menjual 20-30 porsi sehari, sedangkan tahun ini, rata-rata enam porsi per hari.
Hal yang sama juga dikeluhkan Saepul dan Salim. Modal Saepul mencapai Rp 5 juta, sedangkan modal Salim Rp 1,5 juta. Hingga Selasa (12/6/2018), uang modal mereka juga belum kunjung terganti dari hasil penjualan.
Rahmat, Saepul, dan Salim seakan menghadapi situasi “maju kena, mundur kena”. Jika dilanjutkan, keuntungan belum pasti diraih. Jika berhenti, modal sudah telanjur keluar.
Namun, pesona kerak telor bagi penjual asal tanah Sunda nampaknya belum akan pupus. “Ya, kalau panjang umur masih mau coba lagi. Mudah-mudahan tahun depan ada keberuntungan,” kata Rahmat.