Julie al-Masri (4) berteriak kegirangan, berlari menghampiri ayahnya. Di bahunya tergantung tas bergambar kuda bertanduk di dahi yang menurut ibunya melambangkan kemerdekaan hidup baru mereka di Inggris. Mereka terbebas dari trauma perang.
Keluarga Omar al-Masri merupakan salah satu dari delapan keluarga asal Suriah yang beruntung diizinkan tinggal di Kingston, barat daya London. Omar dan istri serta dua anak mereka tak lagi waswas dengan peperangan seperti yang terjadi di negeri asalnya, Suriah, yang hingga kini belum berakhir.
”Perang menghancurkan segalanya. Benar-benar kehidupan yang berat. Tidak ada pekerjaan, tak ada makanan, tiada air,” ujar Omar (30).
Omar yang tiba di London pada November tahun lalu harus memupuk kesabaran untuk bisa hidup normal dan membangun masa depan bersama keluarganya. Setelah melarikan diri ke Lebanon dari tempat tinggalnya di Deraa, mereka masih harus menunggu lima tahun agar bisa ditempatkan di Inggris.
Omar dan istri serta dua anak mereka tak lagi waswas dengan peperangan seperti yang terjadi di negeri asalnya, Suriah.
”Kami sangat sangat gembira ketika tiba di Inggris. Saya tidak bisa menjelaskan seperti apa. Kami bahagia bahwa kami akan memulai hidup baru dengan putri-putri kami,” ucapnya. ”Sekarang Inggris adalah negara saya.”
Inggris merupakan salah satu negara yang memberikan sumbangan besar dalam krisis di Suriah. Sejak tahun 2014 hingga 2017, lebih dari 7.000 pengungsi asal Suriah mendapat izin tinggal. Yang menarik, dewan kota, lembaga sosial, dan masyarakat bersuara paling keras untuk membantu pengungsi menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya, membantu menghadapi sulitnya proses suaka yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Persoalan belum berhenti sampai di situ. Kelompok penolong mengatakan, terbatasnya kesempatan kerja serta kelangkaan tempat tinggal rawan menimbulkan masalah baru, seperti eksploitasi seksual, perlakuan semena-mena dari majikan, atau masalah gelandangan.
Pemerintah mendapat serangan karena menolak hak-hak dasar hingga dituduh menciptakan ”generasi windrush”, yakni mengundang migran karena kekurangan buruh sebagaimana yang pernah terjadi setelah Perang Dunia II terhadap orang Karibia keturunan Afrika.
Semangat warga lokal
Kingston nantinya akan menerima lagi dua atau tiga keluarga. Christine Murphy, Koordinator Refugee Action, mengatakan, hingga tahun 2020, diharapkan akan ada lagi 50 orang yang ditampung.
”Kami mempunyai kewajiban moral untuk membantu masyarakat yang paling rentan,” kata Jon Tolley, penasihat lokal. ”Kami bertekad menunjukkan bahwa pengungsi disambut baik dan tak hanya memberi serta membantu mereka, tetapi mengakui kontribusi mereka terhadap masyarakat kita, membuat kita lebih mengasihi, terbuka, dan memahami.”
Kami mempunyai kewajiban moral untuk membantu masyarakat yang paling rentan.
Menurut Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR), hampir 120.000 pengungsi tinggal di Inggris. Mereka merupakan segelintir dari orang-orang beruntung atau hanya 1 persen dari seluruh pengungsi yang ditempatkan di luar negeri.
Salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah lokal adalah menyediakan perumahan yang terjangkau dengan biaya yang disiapkan pemerintah lokal. Padahal, anggaran sangat ketat. Mau tak mau, pemda mengandalkan semangat masyarakat di Kingston, antara lain menyewakan rumah mereka di bawah harga pasar.
Rasa kemanusiaan acap kali lebih mengemuka dari sekadar materi. ”Saya mengikuti perkembangan di Suriah dan saya sedih dengan skala tragedi yang terjadi,” ujar Tony Clemson, warga yang memberikan dua kamarnya untuk pengungsi Suriah.
Banyak cara untuk membantu. Heike Gesierich-Betts, misalnya, membantu dengan cara memberikan pelajaran bahasa Inggris.
Bagi keluarga Omar, sikap dan bantuan orang-orang di tempat barunya memberikan keyakinan akan terjadinya masa transisi yang mulus. Pada Idul Fitri lalu, mereka bertemu dengan sesama warga Muslim di masjid, shalat berjemaah, dan berbagi makanan.
”Dari lubuk hati yang dalam, saya menyukai Inggris,” kata Jouhaina Omar (25). ”Semua orang di sini sangat ramah dan ringan tangan. Mereka tersenyum kepada kami dan mereka baik terhadap anak-anak kami.” (REUTERS)