Melihat dari Dekat Penghasil Ikan Salai di Belantara Hutan Gambut Riau
Di sebuah cekungan besar Sungai Serkap di dalam ekosistem Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau, terlihat dua unit gubuk kayu beratap seng di tepian. Bagian depan gubuk masih berada di atas air. Bentuknya ala panggung sederhana, namun memiliki latar depan dan belakang sangat kontras. Begitu alami.
Gubuk itu berada di tengah-tengah hutan belantara yang jarang dijamah manusia. Lokasinya sangat jauh dari pemukiman. Selama perjalanan satu jam menyusuri sungai sebelumnya, tidak nampak satu pun bangunan di sepanjang aliran air gambut berwarna coklat kemerahan itu.
Satu-satunya manusia yang terlihat di sungai itu, hanyalah seorang nelayan bernama Bachtiar (55), di lokasi sekitar 300 meter sebelum gubuk. Ia sedang memasang perangkap ikan dari atas perahu kayu tradisional.
“Itu gubuk rumah pembuat ikan salai. Kita akan singgah di situ,” kata Nyoman Iswarayoga, External Affairs Head Restorasi Ekosistem Riau (RER), memberi penjelasan kepada Kompas yang berada satu perahu dengannya dalam perjalanan menyusuri Sungai Serkap di dalam hutan ekosistem Semenanjung Kampar, Kamis (7/6/2018).
RER adalah proyek restorasi ekosistem hutan alam Semenanjung Kampar seluas 130.000 hektar yang dikelola oleh perusahaan transnasional grup Asia Pacific Resources International Limited (APRIL). Sebagian besar zona hutan restorasi itu masih terjaga utuh. Terdapat lebih 700 spesies flora dan fauna disana, termasuk hewan dilindungi seperti harimau dan trenggiling.
Tugas restorasi membiarkan bagian ekosistem hutan rawa gambut terluas di Sumatera itu tetap tumbuh secara alamiah dan mereboisasi zona yang rusak akibat pembabatan legal dan ilegal, pada masa lalu. Kawasan RER disebut-sebut sebagai hutan terbaik yang masih tersisa di Riau, diantara hutan-hutan yang luluh lantak karena perambahan.
Kami menepi di rumah pertama. Ternyata, di belakang rumah panggung itu memiliki bangunan tambahan lain di belakangnya. Ada sebuah selasar terbuat dari kayu yang menghubungkan bagian depan gubuk bangunan tambahan di belakang. Di rumah kedua yang dimiliki oleh M Nur, juga sama.
Terlihat seorang perempuan setengah baya yang berdiri di depan pintu pada rumah pertama. Ekspresinya nampak datar dan tidak merasa terganggu dengan kedatangan orang asing.
“Ada ikan salai?” tanya Edy Suprayitno, Estate Manager RER yang ikut dalam rombongan di perahu kedua. Perempuan yang memakai pakaian hoodie berwarna kuning hijau itu hanya membalas dengan anggukan. Edy ternyata sudah mengenalnya.
Perempuan itu ternyata istri Bachtiar (55), nelayan yang dijumpai tidak jauh dari gubuk itu sebelumnya. Pasangan itu merupakan penduduk Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan. Desa Pulau Muda dapat ditempuh dengan perjalanan sampan mesin selama dua jam dari lokasi itu.
Edy mengatakan, kalau ingin membeli ikan salai, rombongan dipersilakan naik untuk melihat-lihat. Beberapa orang naik dengan hati-hati melalui pelataran kayu yang berfungsi sebagai tangga. Kayu penyangga pelataran terlihat lapuk. Kalau tidak hati-hati, kayu itu akan patah dan kami akan tercebur ke dalam sungai.
Benar saja, setelah beberapa orang berhasil naik, tiba-tiba terdengar bunyi keras. Terjadi insiden. Pelataran kayu itu ambruk. Seorang anggota rombongan yang berbadan besar masuk ke dalam air. Untungnya tidak ada yang terluka.
Setelah insiden itu, suasana kembali cair. Transaksi jual beli pun dimulai. Stok ikan salai dibuka. Ada salai ikan baung, ikan silais, ikan pantau, dan dua jenis lainnya. Ikan salainya sangat segar dan terlihat berminyak.
Ternyata harga ikan awetan asap itu tidak murah. Harga salai baung dan pantau dijual Rp 150.000 per kilogram. Ikan silais yang paling mahal, Rp 200.000 sekilo.
“Di pasar, lebih mahal. Kalau disini Rp 150.000 sekilo, di pasar bisa Rp 250.000,” kata Edy.
Edy membeli satu kilogram salai ikan baung. Ikan itu pesanan orang tuanya yang asli orang Jawa. “Awalnya bapak saya tidak suka ikan salai. Tetapi setelah beberapa kali mencoba, ia menjadi ketagihan,” kata Edy tersenyum.
Kayu yang dipakai untuk mengasapi itu adalah jenis kayu malas. Kayu itu memiliki ciri khas, apabila terbakar tidak akan menyala, melainkan membara dengan sedikit asap.
Muhammad Iqbal, pakar ekologi RER, membeli ikan salai pantau yang berukuran kecil. “Hanya ikan ini yang saya tahu cara memasaknya,” kata Iqbal yang berasal dari luar Riau. Adapun Kompas membeli satu kilogram ikan silais yang berukuran lebih besar dibandingkan di pasar Pekanbaru.
Menurut Bachtiar, untuk mempersiapkan ikan salai tidak susah. Awalnya isi perut dan insang ikan dibersihkan. Ikan kemudian digarami dan diletakkan di ruang pengasapan yang terletak di bangunan di belakang gubuk.
Ruang pengasapan itu berupa kotak yang terbuat dari seng berukuran lebar 70 cm dan tinggi 160 cm. Kotak itu dibuat bertingkat dengan sekat berjaring. Dipastikan asap akan mengalir melewati tiap sekat.
Pada sekat paling bawah terdapat bara batang kayu yang mengeluarkan asap secara terus menerus. Pada tingkat pertama terdapat ikan yang paling baru, di tingkat kedua dan seterusnya ikan yang sudah lebih kering.
Kayu yang dipakai untuk mengasapi itu adalah jenis kayu malas. Kayu itu memiliki ciri khas, apabila terbakar tidak akan menyala, melainkan membara dengan sedikit asap. Bara itu tetap menyala sampai seluruh kayu habis menjadi abu. Persis seperti obat nyamuk bakar.
“Untuk menghasilkan ikan salai diasapi selama dua hari,” kata Nyonya Bachtiar.
Di beberapa daerah Riau, terdapat beberapa sentra ikan salai. Misalnya di Kecamatan XIII Koto Kampar yang menghasilkan salai ikan patin dan lele. Bedanya, ikan patin dan lele itu merupakan hasil tangkaran di kolam petani. Sementara produk Bachtiar murni dari alam liar.
Selain menjual ikan salai, Bachtiar juga menjual ikan segar yang langka di pasar. Namanya ikan tapah yang ditangkap dengan alat perangkap yang disebut bubu. Harga ikan berwarna hitam dengan daging berwarna putih bertekstur sangat lembut itu dijual seharga Rp 60.000 per kilogram. Ikan itu harus dijual dalam kondisi hidup. Kalau sudah mati dagingnya kurang enak, sehingga harganya jatuh.
Bachtiar menunjukkan beberapa keramba apungnya yang berisi tangkapan puluhan ikan tapah yang masih hidup. Ukurannya mencapai 2 sampai 4 kilogram per ekor.
Ketika ditanya berapa berat ikan tapah hasil tangkapannya, Bachtiar mengaku tidak tahu. Namun dari taksiran jumlah ikan yang terdapat pada empat keramba, beratnya dapat mencapai 50 kilogram.
Untuk menjual ikan salai dan ikan tapah itu, tidak sulit. Bachtiar mengaku ada pedagang pengumpul yang siap menampung. Bahkan, sering kali, ikan itu sudah habis terjual saat dibawa ke pasar desa.
Perjanjiannya, nelayan tidak boleh membawa alat setrum listrik atau racun. Hasil ikan yang akan dibawa keluar juga harus dilaporkan di pos jagawana.
Bachtiar dan istrinya bekerja di dalam hutan selama dua sampai tiga pekan. Setelah itu mereka akan membawa hasil tangkapan dan ikan salai, lalu pulang ke desa selama sepekan. Begitu seterusnya, kecuali pada hari-hari besar agama.
Menurut Edy, Bachtiar dan istrinya merupakan satu dari 21 anggota kelompok nelayan yang bekerjasama dengan RER memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari sungai di dalam hutan. Nelayan itu sudah ada sebelum RER dibentuk. Para nelayan diperbolehkan mengambil ikan, namun hanya menggunakan alat tangkap tradisional.
“Perjanjiannya, nelayan tidak boleh membawa alat setrum listrik atau racun. Hasil ikan yang akan dibawa keluar juga harus dilaporkan di pos jagawana. Tujuannya untuk mendata jenis ikan apa yang ditangkap dan mengetahui jumlah populasinya sepanjang tahun,” tambah Edy.
Muncul pertanyaan, mengapa nelayan harus melaporkan ikan hasil tangkapannya di pos jagawana sebelum keluar dari hutan?
Menurut Nyoman, laporan ikan itu menjadi bahan buat RER mendata populasi ikan di hutan eksosistem Semenanjung Kampar setiap bulan sepanjang tahun. Kalau nantinya data mengungkapkan kondisi jumlah ikan berkurang drastis, pihak RER berupaya mengajak nelayan untuk mengurangi produksi.
“Kami ingin nelayan tetap mendapat penghasilan, namun populasi ikan di hutan tidak terganggu. Manusia mendapat manfaat, hutan tetap lestari,” kata Nyoman.
Betul kata Nyoman. Tradisi membuat ikan salai itu merupakan salah satu budaya khas Riau. Jangan sampai, ikan habis budaya pun mati.