Obat Flu Anda Dapat Mematikan Bagi Kucing Kesayangan Keluarga
Kelas menengah Indonesia saat ini makin peduli dengan hewan kesayangannya, termasuk anjing dan kucing. Mereka seringkali memperlakukan anjing dan kucing seperti anggota keluarga. Jika hewannya sakit flu, sering pula memberikan obat flu yang biasa diminum keluarga. Yang akan terjadi adalah seperti yang dialami Kesi.
Kesi adalah kucing domestik betina berumur satu tahun bernama Kesi datang ke Rumah Sakit Hewan Jakarta (RSHJ) di Ragunan, Jakarta Selatan. Pemiliknya melaporkan wajah kucingnya yang membengkak. Dari wawancara dokter hewan dengan pemilik Kesi diperoleh informasi bahwa karena kucingnya terlihat lesu, pemiliknya memberikan obat flu pada Kesi sehari sebelumnya.
Kasus Kesi tersebut menjadi bahan riset beberapa peneliti Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor yaitu Putu Jodie Kusuma Wijaya, Retno Wulansari, Arief Purwo Mihardi, dan Leni Maylina, serta dokter hewan praktisi di RSHJ Husnul Hamdi. Penelitian mereka dimuat dalam jurnal ARSHI Veterinary Letters edisi Mei 2018.
Dari hasil pemeriksaan fisik terhadap Kesi ditemukan kelainan seperti tingkat pernapasan meningkat, selaput lendir berwarna pucat-berlumpur, suhu tubuh rendah atau hipotermia, dan detak jantung cepat atau takikardia. Melihat kondisi tubuh Kesi, dokter hewan RSHJ punya dua kemungkinan, jika ditangani segera Kesi dapat selamat atau jika dibiarkan Kesi akan mati.
Setelah dilakukan pengobatan selama tiga hari, terlihat adanya kemajuan yang dapat diamati dari mukosa yang sudah tidak membengkak. Mukosa sudah tidak berwarna pucat lagi. Setelah empat hari pengobatan, hewan sudah diperbolehkan untuk dibawa pulang oleh dokter hewan.
Dari analisis peneliti, Kesi mengalami keracunan parasetamol. Parasetamol atau asetaminofen adalah obat flu manusia yang dapat dibeli bebas dengan berbagai merek. Masyarakat sering menyimpan obat ini di rumah. Parasetamol berfungsi sebagai obat demam atau antipiretik dan penghilang rasa sakit atau analgesik ketika flu menyerang.
Kasus seperti Kesi banyak terjadi di dunia, misalnya di India. Kasus kucing tersebut menjadi bahan penelitian dengan judul “Keracunan Parasetamol pada Kucing” oleh J B Rajesh dan kawan-kawan dari Pusat Penelitian Veteriner India di Bareilly, negara bagian Uttar Pradesh, India bagian utara. Penelitian mereka dimuat dalam jurnal International Journal of Livestock Research edisi 12 Februari 2017.
Jika gejala Kesi adalah kepala bengkak, kucing di India yang keracunan parasetamol lebih parah, yaitu berada dalam keadaan koma. Seekor kucing betina berumur tiga bulan itu dirujuk ke Poliklinik Hewan Rujukan Bareilly.
Pemilik kucing melaporkan bahwa ia telah memberikan 500 mg obat parasetamol dua kali dengan selang waktu 12 jam pagi dan sore ke kucing. Tujuan pemilik adalah untuk menghilangkan rasa sakit saat kucingnya mengeong-ngeong seperti menangis terus menerus sejak dua hari sebelumnya. Setelah dua jam menelan, kucing mulai muntah dan kemudian mencret berdarah. Kucing tidak mau makan, bahkan tidak mau menyentuh air.Akhirnya hewan koma, tidak bereaksi ketika dirangsang. Kulitnya dingin.
Namun, setelah dirawat dan dua jam pengamatan, hewan sudah diperbolehkan pulang pada hari itu juga. Pemilik dan kucing tersebut tidak datang untuk perawatan hari berikutnya.
Anjing juga dapat keracunan parasetamol, seperti yang dipelajari peneliti FKH Universitas Kairo di Giza, Mesir, Shaymaa I Salem dan kawan-kawan. Hasil penelitian mereka dimuat dalam jurnal Global Veterinaria tahun 2010 dengan judul “Studi Diagnostik Keracunan Asetaminofen pada Anjing”.
Berbeda dengan dua kasus kucing yang merupakan kasus keracunan karena ketidaktahuan pemilik, para dosen FKH Universitas Kairo meneliti 17 anjing mongrel sehat berusia satu-dua tahun yang sengaja dijadikan hewan percobaan. Ke-17 anjing itu dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama menjadi kontrol yaitu tidak diberi asetaminofen. Kelompok kedua diberi dosis maksimum asetaminofen untuk anjing yaitu 128 mg per kg. Kelompok ketiga diberi dosis beracun yaitu 200 mg asetaminofen per kg anjing.
Dari hasil penelitiannya, Salem dan kawan-kawan menyimpulkan gejala keracunan parasetamol muncul bahkan ketiga dosis parasetamol diberikan dalam dosis aman. Gejala yang muncul di antaranya anjing tidak mau makan, muntah, lesu, napas meningkat, dan badan kekuning-kuningan.
Jadi, kasus keracunan seperti kasus-kasus di atas memang dapat ditangani jika segera dibawa ke dokter hewan karena antidot untuk parasetamol, yaitu asetilsistein yang dikombinasi dengan pengobatan pendukung lainnya, telah tersedia. Jika terlambat dibawa ke dokter hewan, kucing dapat mati. Dampak keracunan lebih ringan pada anjing dibandingkan dengan kucing.
Andrew L Allen dalam laporan penelitian yang dimuat di jurnal The Canadian Veterinary Journal berjudul “Diagnosis Keracunan Asetaminofen pada Kucing” tahun 2003, menjelaskan, asetaminofen menjadi populer digunakan di banyak negara sejak diiklankan sebagai alternatif yang aman untuk aspirin beberapa tahun sebelumnya. Karena asetaminofen menjadi tersedia di banyak produk yang dijual bebas dan diresepkan, laporan keracunan asetaminofen pada anjing dan kucing menjadi lebih umum terjadi.
Penjelasan Andrew Allen tentang proses keracunan asetaminofen pada cukup teknis. Namun, intinya, pada sebagian besar hewan mamalia, asetaminofen terutama diubah menjadi produk tidak beracun di hati melalui ikatan dengan asam glukuronat dan pada tingkat yang lebih rendah, terikat dengan sulfat, dan dihilangkan oleh ginjal. Pada saat bersamaan, sebagian kecil dari asetaminofen dimetabolisme melalui jalur enzim P-450 menghasilkan produk metabolisme atau metabolit yang sangat reaktif dan beracun, yaitu N-asetil-para-benzokuinoneimin (NAPQI).
Kucing sangat sensitif terhadap efek racun NAPQI. Kucing membentuk glukoronida dengan banyak senyawa secara perlahan, atau tidak sama sekali, karena mereka memiliki lebih sedikit enzim yang memediasi ikatan. Lebih khusus lagi, kucing tidak memiliki enzim yang menghubungkan asetaminofen dengan asam glukuronat.
Kekurangan ikatan glukuronida menghasilkan lebih banyak obat yang terikat ke sulfat. Namun, jalur sulfat memiliki kapasitas yang terbatas, yang juga lebih rendah pada kucing daripada spesies lain. Setelah jalur sulfat mencapai kapasitasnya, asetaminofen dibiarkan bertahan di dalam darah.
Sel darah merah adalah sel yang paling rentan terhadap efek NAPQI pada kucing. NAPQI menyebabkan oksidasi zat besi Fe2 + menjadi zat besi Fe3 +, yang mengubah hemoglobin menjadi methemoglobin. Oksidasi hemoglobin muncul sebagai butiran kecil yang dikenal sebagai tubuh Heinz. Pembentukan tubuh Heinz menghasilkan peningkatan kerapuhan sel darah merah dan anemia hemolitik. Anemia hemolitik adalah kekurangan daarah karena hancurnya sel darah. Karena methemoglobin buruk dalam mengangkut oksigen, methemoglobemia atau methemoglobin dalam darah dan anemia hemolitik menyebabkan gangguan pernapasan, depresi, dan kelemahan yang dilaporkan oleh pemilik kucing.
Pada anjing, prosesnya juga hampir mirip, yaitu terjadi kerusakan hemoglobin dan pembentukan tubuh Heinz, kerusakan hati, dan gagal ginjal.
Pendek kata, hindari memberikan obat manusia untuk hewan kesayangan keluarga. Antarlah hewan kesayangan Anda ke dokter hewan terdekat jika sakit atau sekadar berkonsultasi tentang kesehatan hewan.