Sebagai salah satu pos terbesar di APBD, anggaran pengadaan tanah dan lahan terserap kurang dari 20 persen. Efektivitas anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan warga DKI Jakarta pun dipertanyakan.
Oleh
Irene Sarwindaningrum/Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dengan total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2018 sebesar Rp 77,11 triliun, anggaran pengadaan lahan dan tanah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencapai sekitar Rp 5,15 T.
Anggaran itu terbagi empat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang mempunyai anggaran terbesar pengadaan lahan. Keempatnya adalah Dinas Kehutanan, Dinas Sumber Daya Air (SDA), Dinas Bina Marga, serta Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman.
Bahkan, 87 persen atau Rp 1,95 T anggaran Dinas Kehutanan untuk pengadaan lahan dan tanah. Adapun Dinas SDA mendapat Rp 1,8 T atau sekitar 58,8 persen.
Dinas Bina Marga memperoleh alokasi pengadaan lahan Rp 600 miliar atau 29,48 persen. Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman mengalokasikan Rp 799,99 miliar atau 27,28 persen dari total anggaran untuk kegiatan serupa.
Hingga 19 Juni 2018, serapan empat SKPD untuk pengadaan lahan dan tanah masih di bawah 20 persen. Artinya, pengadaan lahan berjalan lambat.
Seperti disebutkan Kepala Dinas SDA DKI Teguh Hendarwan sebelumnya, rendahnya serapan anggaran di dinas yang dipimpinnya, disebabkan pembebasan lahan masih seret karena masalah administrasi lahan.
Padahal pengadaan lahan ini vital untuk awal berbagai proyek prioritas, seperti antisipasi banjir dengan normalisasi kali, pembangunan waduk, hingga pengadaan ruang terbuka hijau.
Sepanjang 2018, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) belum melanjutkan normalisasi Kali Ciliwung karena menunggu pembebasan lahan oleh Pemprov DKI.
Blessmiyanda, Plt Badan Pelayanan Penyediaan Barang dan Jasa (BPPBJ) DKI Jakarta, menyontohkan, ada anggaran rumah susun 2018 yang tidak bisa dieksekusi karena ketidaksiapan lahan. Menurutnya, hal itu terjadi setiap kali dinas lemah dalam perencanaan anggaran.
Melongok pada laman resmi Bappeda DKI, penyerapan anggaran yang rendah dimulai dari triwulan pertama 2018. Sampai Maret 2018, realisasi penyerapan Belanja Langsung (BL) Maret 2018 sebesar Rp 1,78 triliun atau 5,93 persen.
Realisasi Maret 2018 minus 3,37 persen dari target Rp 2,80 triliun atau 9,3 persen. Apabila dibandingkan belanja langsung pada periode yang sama tahun lalu (year on year/YoY), penyerapan BL Maret 2018 mengalami peningkatan 0,36 persen dibanding penyerapan BL 2017 yaitu 5,56 persen.
Untuk belanja Barang Jasa pada Maret 2018 sebesar Rp 1,23 triliun atau 10,28 persen. Angka ini naik 0,09 persen dibandingkan periode yang sama 2017.
Belanja Modal pada Maret 2018 tercatat Rp 107,6 miliar atau sebesar 0,72 persen. Penyerapan Belanja Modal turun 0,17 persen dibandingkan Maret 2017.
Penyerapan Belanja Modal yang rendah disinyalir terkait kegiatan pembebasan tanah yang tidak jalan, antara lain di Dinas Kehutanan, Dinas SDA, dan Dinas Bina Marga. Hal itu terus berlangsung hingga 20 Juni 2018.
Naik drastis
Koordinator Kawal Jakarta Idris Ahmad mengatakan, rendahnya penyerapan anggaran pengadaan lahan sudah dapat diduga sebelumnya. Sebab perencanaannya terindikasi buruk. Salah satunya terlihat dari penggelembungan anggaran dalam waktu sangat singkat saat pembahasan Rencana APBD (RAPBD).
“Waktu pembahasan RAPBD 2018 Desember lalu, anggaran pengadaan lahan naik sampai Rp 2,3 triliun hanya dalam waktu dua pekan saja. Ini artinya, penganggaran ini tidak ada perencanaan dan sasaran lahan yang pasti. Seharusnya, dipastikan dulu lahan mana yang akan dibebaskan dan kondisinya sudah clear and clean,” katanya.
Dengan anggaran pembebasan lahan yang cukup besar di dinas-dinas itu, terlihat adanya pemaksaan menaikkan anggaran. Disebutkan Idris, anggaran pembebasan lahan di Dinas Kehutanan ataupun Dinas SDA, dipaksakan naik tanpa tahu pasti status lahan yang diincar, apakah bisa dibeli atau tidak, serta kejelasan peruntukannya. Ini mengindikasikan perencanaan anggaran yang tidak matang.
Menurut Idris, anggaran yang sangat besar tapi tak terserap itu sangat tidak efektif. Kondisi ini juga ganjil dengan banyaknya aset lahan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang belum dimanfaatkan.
Idris mengingatkan, serapan rendah di semester pertama biasanya akan diikuti lonjakan penyerapan anggaran di akhir tahun. Hal ini perlu diwaspadai. Sebab, lonjakan di akhir tahun bisa menjadi celah para makelar yang mengincar anggaran pemerintah dengan memanfaatkan waktu yang sangat mepet.
“Ini bisa jadi lahan yang dibeli ternyata bermasalah, status tanah tidak jelas, ataupun tak sesuai dengan rencana peruntukan. Sudah beberapa kali terjadi,” ujarnya.
Program untuk warga
Direktur Centre For Budget Analysis Uchok Sky Khadafi berpendapat, ketimbang mengalokasikan anggaran besar ke kegiatan yang tidak bisa terserap optimal, Pemprov sebaiknya mengalokasikan anggaran untuk program lain yang langsung menyentuh kesejahteraan warga.
Idris menyontohkan, program yang langsung menyentuh masyarakat itu di antaranya subsidi untuk Kartu Jakarta Pintar (KJP), subsidi pangan, hingga meningkatkan premi BPJS kelas 3 warga DKI.
Adapun kenaikan anggaran lahan ini berkontribusi pada menggelembungnya target pemasukan asli daerah (PAD). PAD ini digunakan untuk membiayai rencana anggaran itu, termasuk pembebasan lahan. Artinya, pemerintah harus menggenjot PAD, salah satunya dari pajak.
“Kalau tak terserap, ini akan jadi dosa besar pemerintah, yaitu pajak yang ditarik dari warga tak dikembalikan ke warga,” kata Uchok.
Nirwono Joga, pengamat perkotaan, berpendapat, normalisasi kali membutuhkan relokasi atau pembebasan lahan. Karena perlu relokasi, gubernur–wakil gubernur mesti jelas memberi solusi, warga yang dipindah akan ditempatkan di rusun yang disiapkan.
“Kalau tema HUT DKI tahun ini adalah adil, maju, dan bahagia, semestinya Gubernur dan Wakil Gubernur DKI juga mesti melihat adil itu juga untuk semua termasuk adil terhadap tata ruang. Gubernur dan Wakil Gubernur seharusnya tidak membolehkan warga tinggal di bantaran kali. Kalau mau bicara adil ya mereka harus tinggal di tempat yang layak dan tegakkan aturan. Jangan sebaliknya tidak gusur karena bela warga kecil,” tegas Nirwono.
Karena kurang dukungan dari pemimpin untuk program prioritas seperti normalisasi kali, Dinas SDA yang seharusnya memulai pembebasan lahan, terkesan ragu-ragu melakukan pembebasan lahan.