JAKARTA, KOMPAS — Selama masa cuti bersama pada 11-20 Juni 2018, kualitas udara Jakarta sempat membaik dibandingkan hari biasa. Kendati demikian, perbaikan kualitas udara hanya bersifat semu sebab terjadi pada masa mudik Lebaran dan tingkat konsentrasi sejumlah polutan masih belum sesuai standar internasional.
Data Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta menunjukkan, kualitas udara Jakarta yang dipantau di lima stasiun rata-rata menunjukkan penurunan konsentrasi partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikron (PM10), sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), Ozone (O3), dan nitrogen dioksida (NO2). Data dibandingkan antara masa sebelum cuti bersama periode 4-10 Juni 2018 dengan selama cuti bersama periode 11-20 Juni.
Lima stasiun tersebut adalah DKI1 yang terletak di Bundaran HI, Jakarta Pusat; DKI2 di Kelapa Gading, Jakarta Utara; DKI3 di Jagakarsa, Jakarta Selatan; DKI4 di Lubang Buaya, Jakarta Timur; serta DKI5 di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Stasiun DKI 4, misalnya, bahkan mencatat penurunan konsentrasi PM10 dari 120,58 ug/m3 menjadi 86,72 ug/m3, SO2 dari 44,01 ug/m3 menjadi 43,16 ug/m3, CO dari 1,89 mg/m3 menjadi 1,27 mg/m3, O3 dari 82 ug/m3 menjadi 55,49 ug/m3, serta NO2 dari 41,64 ug/m3 menjadi 27,31 ug/m3.
Salah satu penyebab penurunan polusi karena banyak kendaraan bermotor keluar dari Jakarta untuk mudik.
”Salah satu penyebab penurunan polusi karena banyak kendaraan bermotor keluar dari Jakarta untuk mudik,” ujar Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jakarta Andono Warih saat dihubungi di Jakarta, Kamis (21/6/2018).
Data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan menunjukkan, jumlah sepeda motor yang keluar pada selama H-8 (7 Juni 2018) hingga H-1 (14 Juni 2018) mencapai 771.820 unit kendaraan. Adapun jumlah mobil kecil yang keluar pada masa yang sama mencapai 291.244 unit kendaraan.
Selain itu, kendaraan dari wilayah Bodetabek yang masuk ke Jakarta juga berkurang. Aktivitas pabrik dan pembangunan infrastruktur pun berhenti selama beberapa hari.
Kualitas udara akan kembali memburuk ketika masa Lebaran selesai. Jutaan kendaraan bermotor yang sempat mudik akan kembali ke Jakarta.
Namun, ia mengakui, kualitas udara akan kembali memburuk ketika masa Lebaran selesai. Jutaan kendaraan bermotor yang sempat mudik akan kembali ke Jakarta.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu, secara terpisah, mengatakan, kualitas udara Jakarta selama masa mudik Lebaran jika dilihat dari konsentrasi PM2.5 masih di bawah standar internasional yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 25 ug/m3 dalam 24 jam.
PM2.5 adalah polutan yang berukuran 2.5 mikron atau sepertiga puluh ukuran sehelai rambut manusia.
Data dari AirNow Department of State United States of America menunjukkan, konsentrasi PM2,5 mencapai lebih dari 50 ug/m3 pada 12 Juni 2018 di Jakarta Pusat serta lebih dari 45 ug/m3 di Jakarta Selatan. Kendati demikian, jumlah itu memang masih di bawah standar nasional sebesar 65 ug/m3 dalam 24 jam.
”Tidak ada penurunan konsentrasi PM2.5 pada masa Lebaran tahun ini dibandingkan Lebaran tahun lalu,” ujarnya. Kondisi itu terjadi karena sumber PM2.5 juga berasal dari sumber pencemar udara tidak bergerak, seperti industri dan PLTU yang berada dalam radius 100 kilometer dari Jakarta.
Beberapa PLTU yang ada di sekitar Jakarta dengan radius tersebut adalah PLTU Suralaya Unit 1-7 di Banten, PLTU Babelan Unit 1-2 di Bekasi, dan PLTU Palabuhanratu 1-3 di Jawa Barat. Udara selalu bergerak, dengan demikian, PM2.5 terbawa hingga ke Jakarta kendati sumbernya berada di tempat yang jauh.
Upaya pemerintah
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jakarta Isnawa Adji mengatakan, pihaknya terus berupaya mendorong perbaikan kualitas udara Jakarta. Salah satunya dengan menyosialisasikan uji emisi bagi pemilik kendaraan yang ingin memperpanjang pajak kendaraan, khususnya kendaraan beroda empat.
”Pemilik kendaraan wajib lolos uji emisi saat perpanjangan kendaraan bermotor,” ujarnya. Aturan itu tertera dalam Pasal 19 Peraturan DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Pihaknya juga berharap agar penggunaan bahan bakar gas tidak hanya terbatas pada bajaj dan sebagian bus transjakarta, tetapi juga pada truk sampah, bus sekolah, dan kendaraan operasional pejabat daerah.
Transportasi umum
Staf Divisi Kampanye Udara Bersih Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) dan Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus menyatakan, pemerintah juga harus terus mendorong pengalihan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi umum.
Ketika kereta api ringan (LRT) dan mass rapid transit (MRT) selesai, masyarakat akan memiliki pilihan transportasi yang lain.
”Ketika kereta api ringan (LRT) dan mass rapid transit (MRT) selesai, masyarakat akan memiliki pilihan transportasi yang lain,” katanya.
Namun, ketersediaan transportasi publik harus diikuti subsidi harga tiket yang sesuai dengan daya beli masyarakat. Jika kebutuhan masyarakat akan transportasi publik yang terjangkau dan murah diakomodasi, pengguna kendaraan pribadi tetap enggan berpindah.
Alfred menambahkan, pemerintah daerah juga dapat menambah kantong parkir di sekitar stasiun dan halte guna memudahkan masyarakat mengakses transportasi publik.