JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar yang berada di Rp 14.000 per dollar AS menimbulkan beban bagi pelaku industri dalam negeri. Hal ini karena komponen pembayaran yang menggunakan dollar AS mencapai sekitar 60 persen dari total biaya produksi, sementara sebagian besar produk dijual di dalam negeri.
”Tantangan kami bertambah karena biaya produksi terpengaruh dollar AS,” kata Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (22/6/2018).
Elisa mengatakan, pelaku industri keramik menggunakan dollar AS untuk membayar gas industri. Proporsi biaya energi gas mencapai sekitar 35 persen dari total biaya produksi.
”Kami juga tidak mengerti kenapa harus membayar gas industri dalam dollar AS, bukan dalam rupiah. Di mana-mana orang menjual energi dengan mata uang negara sendiri. Jepang dalam yen, Singapura dalam dollar Singapura, dan Malaysia dalam ringgit meskipun mereka toh impornya juga dalam dollar,” kata Elisa.
Beberapa material bahan baku di industri keramik—seperti untuk proses pewarnaan dan pengglasiran—juga masih harus diimpor. ”Jadi pelemahan nilai tukar menjadi sekarang Rp 14.000 per dollar AS memang berat sekali karena kalau ditotal hampir 60 persen biaya produksi industri keramik dipengaruhi nilai dollar AS,” katanya.
Menurut Elisa, kondisi menambah berat tantangan industri keramik yang selama ini juga terbebani harga gas relatif tinggi. Belum lagi adanya perbedaan harga gas yang cukup berarti antarwilayah tempat industri keramik beroperasi.
Elisa mengatakan, harga gas industri di zona Jawa bagian barat (Banten sampai perbatasan Jawa Tengah) saat ini 9,16 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Sementara harga gas industri di zona Jawa bagian timur 7,98 dollar AS per MMBTU.
”Bayangkan, masih sama-sama di Jawa saja ada selisih 1,18 dollar AS per MMBTU atau hampir 11 persen. Secara bisnis kondisi seperti ini tidak bagus,” ujar Elisa.
Menurut Elisa, akibat selisih harga tersebut, pelaku industri keramik yang sudah lama beroperasi di Jawa bagian barat menjadi sulit bersaing dengan pelaku industri keramik di Jawa bagian timur. Apalagi ketika mereka menggarap pasar yang sama, misalnya di Jawa Tengah.
”Belum lagi tingkat upah di Jawa bagian timur yang lebih rendah dibandingkan Jawa bagian barat,” kata Elisa.
Terkait hal tersebut, Asaki menginginkan ada kesatuan harga gas industri antara zona Jawa bagian barat dan Jawa bagian timur.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia Firman Bakri mengatakan, peningkatan biaya bahan baku impor akibat dollar AS menguat dapat disiasati pelaku usaha yang menyasar pasar domestik dengan mendorong penggunaan bahan lokal.
Namun, bagi pelaku industri yang menggarap pasar ekspor, kenaikan harga bahan baku dalam dollar AS dapat diseimbangkan dengan perolehan pendapatan yang juga dalam dollar AS.